UNSUR
FLORA DALAM SAMPIRAN PANTUN
SUATU
KAJIAN EKOLINGUISTIK
(ELEMENTS OF FLORA
IN THE POEM AFFILIATION A STUDY
ECOLINGUISTICS)
Oleh: Sahril
Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara
Jalan Kolam (Ujung) Nomor 7, Medan
Estate, Medan
Naskah masuk:..., disetujui:..., revisi akhir:...
Abstract
Pantun
is one of the cultural work that lingers to this day. Medium poem is language.
In language poem consists of affiliation and contents. In the long
poem using vocabulary dominant flora in affiliation. Vocabulary flora used,
generally scarce. To see the flora elements, this research uses eco linguistic
theory. This study was conducted on 40 text rhyme. Furthermore, after the data
obtained flora vocabulary, then tested on 20 respondents. The method used is
qualitative method. Based on the methods and theories used, the purpose of this
study is to see where the vocabulary of the flora in the rhyme. What is known
by the public or not? Based on the results of the study, found 45 species of
flora of 40 texts analyzed rhyme. Of the 45 species of flora, there are 10
(22.22%) species of flora are no longer known by the public.
Key words: ecolinguistic-vocabulary flora-poem affiliation
Abstrak
Pantun
merupakan salah satu karya budaya yang tetap hidup sampai saat ini. Medium
pantun adalah bahasa. Secara bahasa pantun terdiri atas sampiran dan isi. Pada
pantun lama dominan menggunakan kosakata flora dalam sampiran. Kosakata flora
yang digunakan, umumnya yang sudah langka. Untuk melihat unsur flora tersebut,
maka penelitian ini menggunakan teori ekolinguistik. Penelitian ini dilakukan
terhadap 40 teks pantun. Selanjutnya setelah data kosakata flora didapat, lalu
diujikan pada 20 orang responden. Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif. Berdasarkan metode dan teori yang dipakai, tujuan penelitian ini
adalah untuk melihat keberadaan kosakata flora dalam pantun tersebut. Apakah
masih diketahui oleh masyarakat atau tidak? Berdasarkan hasil penelitian,
ditemukan 45 jenis flora dari 40 teks pantun yang dianalisis. Dari 45 jenis
flora itu, terdapat 10 (22,22%) jenis
flora yang tidak diketahui lagi oleh masyarakat.
Kata kunci: ekolinguistik-kosakata
flora-sampiran pantun
1.
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Pantun
merupakan jenis puisi Melayu yang tertua dan popular. Pantun
dikatakan popular karena mempunyai bentuk struktural yang ringkas dan
bersahaja. Keunikannya telah menarik para peneliti asing, membuat kajian
tentang pantun. Di antaranya, R.J. Wilkinson dan R.O. Winstedt (1961),
Pijnappel (1883), H.C.
Klinkert (1868), dan
banyak lagi.
Winstedt (1961)
berpendapat bahwa pantun dicipta pada abad ke-15, tetapi masih tidak dapat
dibuktikan dengan jelas. Namun diakui bahwa pantun adalah milik dan ciptaan asli
masyarakat Melayu tradisional. Tahun terciptanya pantun tidak dapat dipastikan.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua
bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua
baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris
masyarakat pendukungnya), dan biasanya tidak punya hubungan dengan bagian kedua
yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris
terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Pada bagian sampiran, biasanya
merupakan kiasan atau metafora dan kiasan yang diambil berasal dari alam.
Sedangkan pada bagian isi, adalah makna yang ingin dicapai dari pantun itu
sendiri. Boleh jadi, ada kaitan sampiran dan isi. Namun tidak jarang tak ada
kaitan, selain maknanya belaka.
Mempelajari pantun agaknya juga
menuntun kita untuk memahami dan merasakan konsistensi metafora dalam puisi.
Ada satu acuan metafora, yang diutarakan dengan lambang-lambang yang konsisten.
Alur berpikir penutur pantun tidak meloncat-loncat dalam lambangnya, sehingga
pendengar pantun mudah memahami maksud dari tuturan tersebut.
Hooykaas (1965) adalah salah seorang
dari sarjana yang meyakini ada kaitan tersembunyi antara sampiran dan isi.
Namun tidak sedikit yang berpendapat bahwa antara sampiran dan isi hanya
dihubungkan oleh kesejajaran bunyi.
Penelitian ini, tidaklah membahas
pada polemik antara fungsi sampiran dan isi dalam pantun. Akan tetapi, mengkaji
teks sampiran yang berkaitan dengan unsur tumbuhan atau flora. Diketahui bahwa
umumnya pada teks pantun Melayu tradisional, sampiran tersebut diambil dari
kosakata-kosakata yang berkaitan dengan ekologi. Unsur ekologi yang selalu
muncul, antara lain nama tumbuh-tumbuhan, nama hewan, nama geografis, dan yang
bersifat alam lainnya.
1.2
Masalah
Masalah dalam penelitian ini
adalah mengkaji: (1) Bagaimanakah
bentuk citra makna dan citra bunyi mencitrakan sejumlah kosakata flora dalam
sampiran pantun? (2) Bagaimanakah inter-relasi sampiran
pantun yang berunsur kosakata flora merefleksikan isi pantun? (3) Apakah
masyarakat masih mengenal kosakata flora yang ada dalam sampiran pantun
tersebut?
1.3
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengkaji bentuk citra makna dan citra bunyi yang mencitrakan kosakata
flora dalam sampiran pantun. Selanjutnya mengkaji hubungan sampiran pantun yang
berunsur kosakata flora dalam merefleksikan isi pantun. Terakhir adalah mengkaji
tingkat kebertahanan kosakata flora dalam sampiran pantun pada masyarakat
pendukungnya.
1.4
Metode
Berangkat dari masalah dan tujuan
penelitian ini, maka penulis mengkaji 40 teks pantun yang memiliki unsur
kosakata flora di dalam sampirannya. Teks pantun dipilih secara acak. Diutamakan
teks pantun yang banyak diucapkan oleh masyarakat Melayu, khususnya masyarakat
Melayu Sumatera Timur (Pesisir Timur Provinsi Sumatera Utara).
Selanjutnya setelah data kosakata flora dalam sampiran pantun
terkumpul, penulis menetapkan 20 responden. Responden terdiri atas 10 orang
generasi tua dan 10 orang generasi muda (umur 17—25 tahun). Penulis menanyakan
kepada responden, apakah mereka mengenal jenis flora tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan ancangan ekolinguistik. Data penelitian adalah berupa kosakata.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi perpustakaan, angket, wawancara, dan
observasi. Dalam pengumpulan data, peneliti sebagai instrumen kunci dilengkapi
dengan panduan observasi, panduan wawancara, dan alat perekam elektronik.
Peneliti melakukan seleksi data, identifikasi data, klasifikasi data, dan
kategorisasi data yang didasarkan pada pandangan emik. Analisis data dilakukan
dengan mengacu pada teori ekolinguistik menurut Haugen, Saussure, Lundo dan
Bundasgaard.
2.
Kerangka Teori
2.1
Ekolinguistik
Teori
yang digunakan untuk mengkaji masalah bahasa dan ekologi adalah ekolinguistik.
Melalui ekolinguistik akan menjelaskan fenomena bahasa dengan parameter
ekologi. Seorang tokoh paradigma linguistik, Einer Haugen (1972) telah
mengkombinasikan bahasa dengan ekologi. Dijelaskan bahwa ekologi bahasa adalah
ilmu yang mempelajari inter-relasi antara bahasa yang ada dalam kognitif
manusia dan dalam komunitas yang multilingual. Semenjak itu, ekolinguistik
sebagai cabang ilmu linguistik yang mengembangkan hubungan antara bahasa dan
ekologi yang telah didirikan dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan
pendekatan, dan metode yang berbeda pula (Jorgensen dan Bendoricchio, 2001).
Ekologi
merupakan ilmu yang muncul akhir abad IX di Europa dan Amerika. Ilmu ekologi
kelihatannya tidak hanya lingkungan manusia sebagai objek kajiannya, tetapi
mempelajari banyak hal yakni kompleksitas interaksi sejumlah komponen abiotik
seperti udara, air, dan komponen biotik seperti plants, animals. Ekologi
manusia membangun interaksi antara manusia dan lingkungannya, dengan menambah
kompleksitasnya. Ekologi manusia dibatasi oleh alam dan budayanya. (Merchant, 1992).
Selanjutnya,
konsep ekologi menurut Thohir, (dalam Mbete, 2009:2) adalah ilmu yang mempelajari
semua jenis makhluk hidup termasuk manusia (dengan budaya dan bahasanya dan
kaitannya dengan “lingkungannya”. Selanjutnya yang dimaksud dengan lingkungan
manusia atau lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang berada di sekitar
manusia, baik yang berwujud benda mati maupun jasad-jasad atau
organisme-organisme dan di dalamnya ada manusia.
Secara
umum Louis dan Calvet (2006), mendefinisikan ekologi sebagai ilmu yang
mempelajari relasi antara organisme dan lingkungannya, sedangkan ekologi bahasa
adalah ilmu yang mempelajari bahasa dan lingkungannya. Dalam hal ini, relasi
antara bahasa itu sendiri, antara bahasa dan masyarakat.
Beberapa
konsep tentang ekologi bahasa (ekolinguistik) di atas dapat digarisbawahi bahwa
dalam ekolinguistik mengandung beberapa konsep interaksi yang penting yakni
keberagaman (diversity), intra-relasi
(intrarelations), inter-relasi (interrelations), ekstra-relasi (extrarelations) bahasa, ekologi, dan
kombinasi dari komponen relasi tersebut. Kemudian adanya independensi (saling
ketergantungan satu sama lain) antara bahasa dan lingkungannya. Bahasa
mempunyai relasi dengan ekologi yang cukup tinggi dan sulit dipisahkan.
Keberagaman atau kebervariasian bentuk leksikon, bentuk gramatika, bentuk
teks, budaya dengan ekologinya, mencerminkan interaksi atau relasi suatu bahasa
dan ekologinya. Seperti yang dinyatakan Derni (2008) bahwa ekolinguistik adalah
ilmu yang mempelajari bahasa dengan lingkungan yang memiliki intrarelasi, inter-relasi,
ekstrarelasi dan kombinasi satu sama lain di antara unsur-unsur tersebut.
Yang
mendasari kajian ekolinguistik dalam penelitian ini adalah mengacu pada citra
bentuk (signifie) dan citra makna (signifient)
yang dikemukakan oleh seorang tokoh linguistik modern, Ferdinand de Saussure
(1993). Menurut Ferdinand de Saussure, citra bentuk (signifie) dan citra makna (signifient) mengandung makna referensial
yang realitas di sekitar kita.
Teori
ekolinguistik untuk menjelaskan inter-relasi antara
bahasa dengan pemikiran manusia dan komunikasi multilingual
dengan parameter ekologi yakni interaksi dan inter-relasi
(interrelationships), lingkungan (environment) dan
keberagaman/kebervariasian (diversity)
(Fill dan Mühlhüsler, 2001:1).
Teori tersebut didasari pada prinsip
interaksi, dan keberagaman/kebervariasian (diversity).
Bentuk interaksi antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau
bahasa dan kebudayaan dapat dilihat pada level inter-relasi leksikon. Sedangkan
bentuk keberagaman (diversity) dapat
dilihat pada tatanan kebervariasian leksikon yang dihasilkan oleh suatu bahasa
tersebut. Apakah kebervariasian leksikon terjadi dalam pikiran manusia (human mind), dalam komunitas yang
realitas, sistem bahasa, ataupun inter-relasi antara pembicara. Karena
menurut Fill dan Mühlhüsler, (2001:6) kebervariasian terjadi karena faktor
adaptasi terhadap lingkungan, sedangkan Glausiusz dalam Fill dan Mühlhüsler,
(2001:6) kebervariasian bahasa (leksikon) terjadi karena proses evolusi.
Ekolinguistik merupakan sebuah
teori yang mengaitkan linguistik dengan ekologi. Ekologi dalam ilmu linguistik
memainkan peran yang sangat penting. Pentingnya ekologi dalam ilmu linguistik
terutama untuk kebertahanan bahasa. Karena ada suatu asumsi bahwa keerosian
bahasa terjadi disebabkan oleh keerosian lingkungan. Berangkat dari pemikiran
filosofis tersebut maka lingkungan menjadi salah satu kajian penting dalam ilmu
linguistik. Sebaliknya, fakta telah menunjukkan bahwa lingkungan tanpa bahasa
adalah mati. Tanpa bahasa, seseorang tidak mungkin bisa mengungkapkan kerahasiaan
alam tersebut kepada orang lain. Segala sesuatu yang akan dilakukan harus
menggunakan bahasa. Melalui bahasa, kita dapat mengonstruksikan pengalaman atau
mengekspresikan atau mengklasifikasikan dunia nyata yang ada di sekitar
kita. Bagaimanapun bahasa merupakan hasil konfigurasi pikiran manusia
dengan ekologinya. Melalui bahasa akan tergambar cara berpikir seseorang
tentang sesuatu yang ada dalam dunia nyata termasuk budaya. Pengkodean
masing-masing budaya tentu mengalami perbedaan atau bervariasi. Bentuk
pengkodeannya bisa terjadi melalui lexicalize,
gramaticalize, textualize, dan culturalize.
Perbedaan pengkodean dapat dilihat pada tingkat kekayaan leksikon, gramatikal,
teks, dan budaya.
Beberapa
konsep ekolinguistik yang digunakan untuk mengupas tuntas perubahan timbal
balik antara lingkungan dan bahasanya bisa menjelaskan bahwa pergeseran nilai,
norma-norma dan kultur yang ada dalam masyarakat bisa menyebabkan perubahan dan
tekanan dalam bahasa sebagai akibat dari tekanan terhadap lingkungan yang turut
terjadi sebelumnya. Konsep dimaksud meliputi konsep ekolinguistik kritis,
keberlanjutan ‘sustainability’, konsep masyarakat berisiko, parameter
ekolinguistik, leksikon, serta konsep ideologi. Adapun kerangka teori meliputi
penjabaran kajian ekolingistik, yang merupakan kajian interdisipliner yang
melihat tautan antara ekologi (ekosistem) dan linguistik (ilmu bahasa).
Penelitian ini melibatkan kajian-kajian lain, di antaranya sosiologi,
antropologi, psikologi dan ilmu politik. Pendalaman kajian ekolinguistik
diupayakan dengan cara memasukkan kearifan-kearifan ekologis lokal dalam bahasa
tersebut. Unsur-unsur bahasa dimaksud adalah eko-fonologi, eko-morfologi, eko-sintaksis
dan eko-semantik yang menjadi bagian dari wacana lingkungan (Muhlhausler, 1995
dalam Al Gayoni, 2009: 6). Lebih lanjut dalam kajian ini dijelaskan mengenai
hubungan secara dialektika antara bahasa dan dominasi/kekuasaan bahasa serta
dengan dominasi manusia (Lundo dan Bundasgaard, 2000:10). Keterkaitan ketiga
unsur tersebut tergambar dalam diagram berikut.
|
|
 |
Gambar 1: Diagram
dimensi bahasa dalam ekolinguistik (Lundo dan Bundasgaard, 2000)
Diagram dari
dominasi sosial di atas menunjukkan bahwa bahasa merupakan kesatuan dari ketiga
dimensi tersebut yang tidak dapat dipisahkan dengan kedua dimensi yang lain.
Dimensi-dimensi yang berada di luar konteks namun memberikan andil yang sangat
signifikan dalam diagram ini adalah: (a) dimensi ideo-logical yang
mengacu pada individual and collective mental, cognitive, ideological and
psychic systems; (b) dimensi socio-logical yang mengacu pada cara
kita mengkoordinasi inter-relasi kita untuk menjaga kolektivitas secara pribadi
maupun individu; (c) dimensi bio-logical yang menyangkut kolektivitas
dan koeksistensi antara kita manusia dengan spesies yang lain. Proses material
transitif efektif konstrua, yang menjadi inti pembahasan dalam kajian eko-sintaksis
adalah pilihan yang paling tidak sesuai, meskipun sangat kongruen. Tetapi
banyak pilihan untuk transitivitas juga tidak sesuai dalam tingkatan berbeda,
dan menunjukkan proses serta tindakan manusia di dunia dengan melakukan:
(1) Pembagian dalam partisipan
agen, yang terkena dampak (affected
partisipan) dan sirkumstan
(circumstance) yang pada umumnya tidak sesuai dengan
teori saintifik modern atau khususnya teori Gaia.
(2) Pembagian khusus
sebagai agen dan yang terkena dampak
(affected partisipan),
yang tidak sejalan dengan pengertian bahwa sesuatu sedang aktif terjadi atau
dengan umpan balik di dalam teori Gaia. Pembagian ini menunjukkan
hubungan satu arah antara sebab dan akibat yang salah. Dalam istilah yang lebih
panjang, agen akan selalu terkena dampak oleh konsekuensi dari perbuatannya.
(3) Pembagian ke dalam partisipan
agen atau yang terkena dampak (affected) pada satu sisi dan
unsur-unsur lokasi keadaan (sirkumstansial)
pada sisi lainnya dapat secara salah menyatakan bahwa lingkungan, ditunjukkan
dengan unsur-unsur lokasi sirkumstansial, tidak memiliki kekuatan atau tidak
terkena dampak.
(4) Kategorisasi suatu
kejadian menjadi proses-proses dan benda-benda/hal-hal, yang ragu-ragu
memberikan pemahaman terhadap fisika modern.
2.2
Sampiran Pantun
Sebuah pantun terdapat dua bagian,
yakni sampiran dan isi. Untuk sampiran itu harus mencerminkan sesuatu yang bisa
dicerna atau merupakan bagian yang sebenarnya dari yang dimasukkan ke dalam
bait pantun. Sampiran jangan asal dibuat, dalam sampiran itu mencerminkan
tingkat pendidikan seorang pemantun. Sementara untuk bagian isi, itu bisa
menyesuikan dengan sampiran. Sekarang ini, banyak pemantun dalam membuat
sampiran pantun yang salah, seperti Dari Medan
ke Tanjungpura, Singgah sebentar di Tebingtinggi.
Bagi masyarakat Sumatera Utara, tentu hal ini sangat tidak masuk akal, kalau
singgah di Binjai, mungkin masuk akal. Karena Medan dan Tanjungpura berada di
barat, sementara Tebingtinggi berada di timur.
Ada dua pendapat mengenai hubungan
antara sampiran dan isi pantun. Pendapat pertama dikemukakan oleh Klinkert (1868)
yang menyebutkan bahwa, antara sampiran dan isi terdapat hubungan makna.
Pendapat ini dipertegas kembali oleh Pijnappel (1883)
yang mengatakan bahwa, hubungan antara keduanya bukan hanya dalam tataran
makna, tetapi juga bunyi. Bisa dikatakan jika sampiran sebenarnya membayangkan
isi pantun. Pendapat ini dibantah oleh van Ophuysen
yang mengatakan bahwa, sia-sia mencari hubungan antara sampiran dan isi pantun.
Menurutnya, yang muncul pertama kali di benak seseorang adalah isi, baru
kemudian dicari sampirannya agar bersajak. Dalam perkembangannya, Hooykas
(1965) kemudian memadukan dua pendapat ini dengan mengatakan bahwa, pada pantun
yang baik, terdapat hubungan makna tersembunyi dalam sampiran, sedangkan pada
pantun yang kurang baik, hubungan tersebut semata-mata hanya untuk keperluan
persamaan bunyi. Pendapat Hooykas ini sejalan dengan pendapat Tenas Effendy
yang menyebut pantun yang baik dengan sebutan pantun sempurna atau penuh, dan
pantun yang kurang baik dengan sebutan pantun tak-penuh atau tak-sempurna.
Karena sampiran dan isi sama-sama mengandung makna yang dalam (berisi), maka
kemudian dikatakan, “sampiran dapat menjadi isi, dan isi dapat menjadi
sampiran.” (lihat http://lubisgrafura.wordpress.com).
Menurut
Sutan Takdir Alisjahbana (1961) fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan
irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami
karena pantun merupakan sastra lisan, sehingga pada umumnya sampiran tidak
berhubungan dengan isi, terkadang bentuk sampiran membayangkan isi.
Sampiran
pantun adalah bahasa tersirat, dibuat bukan sekadar untuk kebutuhan persamaan
rima, sehingga terkadang tanpa memperhatikan pertalian atau hubungan antara
sampiran dengan isi. Sampiran yang baik, merupakan pembayang yang dibuat dengan
mempertimbangkan persajakan dan rima. Jumlah kata dan suku kata serta hubungan
yang munasabah dengan isi juga merupakan hasil dari pilahan dan pilihan kata
yang selektif, sehingga membentuk suatu ungkapan yang padu dan sepadan.
William
Marsden (1812) dalam bukunya Grammer of
The Malayan Language (1812), berpendapat; dua baris pertama yakni sampiran
merupakan kiasan terhadap dua baris berikutnya yakni isi pantun. Pendapat ini
didukung pula oleh John Craufurd (1852) dalam bukunya Grammer and Dictionary of The Malayan Language (1852). William
Marsden berkesimpulan, atas sampiran sebagai kiasan terhadap isi, dipakai
dengan teliti oleh orang Melayu. Sedangkan John Craufurd melihat hubungan
sampiran dengan isi, bagaikan teka-teki, yakni teka-teki pengertian, karena
kiasan yang dikandungnya.
Abbe
P. Favre (1876) dalam bukunya Grammair de
la language Malaise (1876) menyatakan; dua baris pantun yang mula-mula
sampiran) berfungsi sebagai lambang terhadap dua baris berikutnya (maksud/isi),
bukan untuk menentukan maksud atau isi pantun. Pendapat ini didukung oleh W.R.
van Hoevell dan L.K. Harmsen (1885),
mengatakan bahwa; dua baris pertama pada pantun sering menyatakan suatu yang
bukan-bukan, sebab yang dipentingkan di situ hanyalah keindahan bunyi.
Sampiran
merupakan cerminan artikulasi pikiran pemantun. Keberadaan sampiran pada pantun
jadi penentu luas dan dalamnya makna yang dikandung. Bahasa sampiran adalah
bahasa cerdik pandai, yang dibuat pemantun karena mampu menangkap simbol alam
makro untuk menuntun penyempurnaan kemanusiaan manusia sebagai alam mikro
melalui maksud tersirat dari kata yang tersurat.
Secara
estetika, pantun berkaitan dengan kata santun, bantun, lantun, dan runtun.
Menurut Tenas Effendy (2007), kata pantun tersebut merupakan singkatan dari
kata sopan dan santun, yang diambil dari suku kata akhirnya, yaitu ‘pan’ dan
‘tun’, maka menjadi pantun.
Kata
santun, lengkapnya sopan-santun, mengandung makna: tutur kata, budi bahasa,
budi pekerti, prilaku/kelakuan, perangai, tindakan yang baik. Dengan demikian
kata pantun mengandung makna: susunan tutur kata yang menggambarkan kebaikan
budi bahasa, budi pekerti, prilaku/kelakuan dan perangai penuturnya.
Kata
bantun (memukul dengan tujuan mendapat hasil). Membantun (memukul) dengan
kata-kata jauh lebih berarti dan beradab jika dibanding memukul dengan tangan,
apalagi bila memukul tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan maksud yang
baik. Dengan pantun kita dapat membantun/memukul (memberi nasehat dengan
cermat, memberi pelajaran dengan bijak, menyindir dengan kias, mencontohkan
dengan tamsil dan ibarat.
Kata
lantun mempunyai arti mengucapkan/menyanyikan dengan irama. Rangkai kata yang
lazim dilantunkan adalah kalimat bersajak dan berima. Pantun sangat
memungkinkan untuk dilantunkan, paling tidak diucapkan dengan nada bicara yang
khas. Dari segi persajakan dan rima (persamaan bunyi) selain untuk keperluan
pelantunan juga sebagai kaidah baku yang membedakan pantun dengan pribahasa,
kata berirama, pepatah, petatah-petitih, gurindam, syair, nazam, rubayat,
matsnawi dan nazam.
Kata
runtun (tidak terputus, sambung bersambung, berturut-turut secara teratur)
mengandung makna menggambarkan hubungan antara sampiran/pembayang dengan
maksud/isi pantun tersusun menurut urutan pilihan kata yang selektif disertai
keteraturan irama serta rima antara sampiran dan isi pada setiap bait.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Kosakata Flora
Berdasarkan
40 bait pantun yang diteliti, ditemukan beberapa unsur tumbuhan (flora), yaitu:
pisang emas, ubi, nenas, mumbang, kelapa, limau
purut, bunga selasih, sirih, pinang, padi, sagu/rumbia,
asam kandis, paria, bambu/buluh, betik, berangan, teruntum, halia, kuini, jambu, serai, bunga melati, bunga
rampai, bunga tanjung, bunga
seroja, kepayang, nipah, mengkudu,
durian, kunyit, kurma, cempedak, keladi,
nangka, putik pauh, delima batu, kemiri,
manggis, buah
bidara, kangkung, duri, pegaga, mengkuang, kedondong, dan benalu. Unsur kosakata flora ini terbagi ke
dalam kelompok buah, bunga, daun, akar, pohon, pokok, dan batang.
Dari 45 jenis kosakata flora yang ditemukan dalam sampiran pantun ini. Berdasarkan
jawaban responden generasi tua, ada beberapa jenis flora yang sudah tidak
diketahui dan tidak ada lagi ditanam di wilayah Melayu, tetapi mereka masih
ingat jenis flora tersebut. Di antaranya: bunga
selasih, sagu/rumbia, asam kandis, teruntum, kepayang, nipah, delima batu, bidara, pegaga,
dan mengkuang. Selanjutnya dari jumlah flora
yang tidak diketahui itu ditanyakan kepada 10 responden generasi muda, semua
responden menjawab tidak tahu. Dengan demikian terdapat 10 (22,22%) jenis flora
yang tidak dikenal lagi, akhirnya lambat-laun kosakata ini pun akan punah.
Unsur kosakata flora yang hadir dalam sampiran pantun ini berfungsi
untuk memadankan kata pada isi pantun. Padanan kata itu, seperti berikut ini.
Pada kelompok buah, yaitu: pisang emas [utang-emas],
ubi [budi], nenas [emas-panas], mumbang [sayang], kelapa [cinta], limau
purut [ribut], pinang [datang], padi [kami-hati-budi], kandis
[manis], paria [bercinta], betik [cantik], berangan [gerangan], jambu
[madu], durian [hujan], nangka [mata], pauh
[jauh], delima batu [negri satu], bidara [bicara], rumbia
[dunia], pegaga [surga], kedondong
[gunung], kepayang [merancang].
Pada kelompok bunga, yaitu: selasih [kasih], teruntum
[sekuntum], melati [hati-besi], seroja
[manusia]. Pada kelompok daun, yaitu: kurma
[mana], cempedak [tidak], kangkung
[jantung], mengkuang
[dagang]. Pada kelompok akar/umbi,
yaitu: Akar bambu [terbakar], halia [dunia], kunyit [duit], keladi [budi], benalu [malu]. Pada kelompok pohon/pokok/batang, yaitu: kepayang [terbang melayang], kemiri [seni], manggis [menangis], kurma
[bersama], mengkudu [namaku], batang
padi [tak mati], sagu mentah [sepatah], serai [bercerai], nipah [sudah], duri [sendiri], dan buluh
[musuh].
3.2
Citra Makna
dan Bunyi di balik kosakata flora
Menurut Chaer (2007:348), signifié adalah
pengertian yang muncul dalam pikiran kita. Secara sederhana, signifie
digambarkan sebagai makna. Signifiant adalah citra bunyi yang memberikan
pengertian. Signifiant dan Signifie Ferdinand de Saussure (dalam Chaer,
2007:348) mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signe atau signe lingustique)
dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant dan komponen signifie. Yang dimaksud signifiant adalah citra bunyi atau kesan
psikologis yang timbul dalam pikiran kita. Sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran
kita. Untuk lebih jelas, ada yang menyamakan signe itu sama
dengan kata; signifie sama dengan ’makna’; dan signifiant sama
dengan bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu. Hubungan antara signifiant
dengan signifie sangat erat, karena keduanya merupakan kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan.
Dalam kajian ini
dianalisis unsur citra makna (signifie)
dan citra bunyi (signifiant) dari
sampiran pantun yang diambil dari unsur kosakata tumbuhan. Bagaimana
inter-relasinya dalam mencitrakan pada isi pantun. Akan tetapi, tidak
keseluruhan pantun yang dianalisis. Terfokus pada beberapa teks pantun saja.
Pisang
emas dibawa berlayar
Masak sebiji di dalam peti
Utang emas dapat dibayar
Utang budi dibawa mati
Menurut
penelitian ahli obat herbal, ternyata pisang emas atau musa acuminata
colla
merupakan obat untuk mabuk laut. Oleh sebab
itu, pemilihan ungkapan ‘pisang emas dibawa berlayar‘, ini merupakan
inter-relasi yang sangat tepat dalam kehidupan nyata. ‘masak sebiji di dalam
peti’, memang pisang emas tidak pernah masak secara bersamaan, masaknya satu
per satu. Inter-relasi yang muncul sebenarnya adalah realitas kehidupan nyata.
Sehingga tepat jika direlasikan dengan isi pantun ‘utang emas dapat
dibayar/Utang budi dibawa mati’. Ini juga merupakan realitas kehidupan yang
dijalani oleh umat manusia. Tidak pernah orang mampu membayar utang budi,
tetapi jika utang harta (emas) dapat dibayar. Kata ‘pisang’ dan ‘peti’ pada
sampiran adalah untuk mencitrakan kata ‘utang’ dan ‘mati’ pada isi.
Dari
segi citra bunyi, pemilihan kata ‘pisang emas’, pada kalimat sampiran /pisang
emas dibawa berlayar/ adalah untuk menghubungkan pada kata ‘utang emas’ yang terdapat pada baris
ketiga /utang emas dapat dibayar/ yang merupakan isi dari pantun
tersebut. Citra bunyi dalam hal ini, terdiri atas dua bagian. Posisi bunyi yang
diambil sebagian untuk rima akhirnya saja, yaitu hanya bunyi ‘ang’ pada kata
‘pisang’ untuk inter-relasi pada kata ‘utang’. Kemudian bunyi yang diambil
seluruhnya, yaitu ‘emas’.
Dari
segi ekolinguistik, umumnya responden mengetahui kosakata ‘pisang emas’.
Berdasarkan jenis, ketika diminta untuk membedakan antara ‘pisang emas’ dan
‘pisang banten’. Saat ditunjukkan gambar kedua pisang tersebut, umumnya para
responden generasi muda tidak mampu membedakan. Empat responden memilih ‘pisang
banten’ untuk menyebut ‘pisang emas’. Hal ini dikuatirkan, dari segi kosakata
mereka tahu, tetapi tidak mampu menunjukkan bendanya.
Sudah puas
kutanam ubi
Nenas
juga dipandang orang
Sudah
puas kutanam budi
Emas
juga dipandang orang
Ubi
adalah tanaman yang banyak tumbuh di bumi Melayu, sehingga sudah menjadi menu
makanan biasa sehari-hari. Akan tetapi, nenas merupakan tanaman yang pada
mulanya didatangkan dari negeri Belanda. Secara sosial, harga nenas lebih mahal
daripada harga ubi. Oleh sebab itu inter-relasi ‘ubi’ pada ‘budi’ dan ‘nenas’
pada ‘emas’ sangat tepat. Budi merupakan
sesuatu yang abstrak, tidak ada bentuk wujudnya, tetapi mempunyai nilai yang
tinggi. Sementara emas adalah logam mulia yang selalu dicari oleh semua orang.
Kata
‘ubi’ dan ‘nenas’ pada sampiran adalah untuk mencitrakan kata ‘budi’ dan ‘emas’
pada isi pantun. Citra bunyi yang dibangun hanya pada posisi rima akhir dari
kata ‘ubi’ yang menginter-relasikan bunyi ‘i’ pada kata ‘budi’. Begitu juga
untuk kata ‘nenas’, yaitu bunyi ‘as’ pada kata ‘emas’. Sebenarnya citra bunyi
‘bi’ pada kata ‘ubi’ dan bunyi ‘di’ pada kata ‘budi’ nyaris sama ketika
dilisankan.
Keberadaan kosakata ‘ubi’ dan
‘nenas’, para responden generasi muda masih menguasai dan mengetahuinya. Begitu
juga dari segi bendanya, yaitu ‘ubu’ dan ‘nenas’, para responden dapat
menunjukkannya kepada penulis.
Coba-coba menanam
mumbang
Moga-moga tumbuh
kelapa
Coba-coba bertanam
sayang
Moga-moga menjadi
cinta
Kata ‘mumbang’ dan ‘kelapa’
adalah untuk mencitrakan kata ‘sayang’ dan ‘cinta’ pada isi pantun. Mumbang
adalah putik buah kelapa. Pilihan kata ini sangat tepat pasangannya, kata
‘mumbang’ memang ada pada pohon kelapa, sementara untuk kata ‘sayang’ dan
‘cinta’ memang merupakan pasangan dalam kehidupan umat manusia.
Inter-relasi citra bunyi pada
kedua kata ini juga hanya mengambil dari rima akhir bunyi kata tersebut, yaitu
‘mumbang’ berelasi pada ‘sayang’. Di sini hanya bunyi ‘ang’. Pada kata ‘kelapa’
hanya diambil bunyi ‘a’ untuk kata ‘cinta’. Namun dalam tuturan lisan bunyi
‘pa’ pada kata ‘kelapa’ dan bunyi ‘ta’ pada kata ‘cinta’ terkadang nyaris sama
kedengarannya.
Kosakata ‘mumbang’, semua responden generasi muda
tidak mengetahuinya, tetapi untuk ‘kelapa’ masih diketahui. Dalam hal ini, dari
segi ekolinguistik untuk kosakata ‘mumbang’ dikuatirkan akan menngalami kepunahan.
Hal ini dikarenakan, para responden generasi muda hanya mengenal istilah putik
kelapa.
Limau purut lebat dipangkal
Sayang selasih condong uratnya
Angin ribut dapat ditangkal
Hati yang kasih apa obatnya
Kata ‘purut’ dan ‘selasih’ adalah
untuk mencitrakan kata ‘ribut’ dan ‘kasih’ pada isi pantun. Selasih atau
basilikum (ocimum) adalah
segolongan terna yang dimanfaatkan daun, bunga, dan bijinya sebagai rempah-rempah serta penyegar
(tonikum). Sementara untuk limau purut dalam kehidupan masyarakat tradisional
Melayu selalu dihubung-kaitkan dengan perdukunan atau tabib. Ketika hendak
mengobati seseorang, sang dukun selalu memilih limau purut sebagai medianya
dalam mengobati penyakit seseorang.
Penempatan
inter-relasi dari segi makna untuk kedua kata ini sangat tepat, di mana kata
‘limau purut’ untuk mencerminkan kata ‘angin ribut’, sementara kata ‘selasih’
untuk mencitrakan kata ‘kasih’. Citra bunyi kedua kata ini hanya terfokus pada rima
akhir dari kata tersebut, ‘purut’ untuk ‘ribut’ berlaku peran bunyi ‘ut’. Kata
‘selasih’ untuk ‘kasih’ berlaku peran bunyi ‘sih’.
Kosakata ‘limau
purut’ dan ‘selasih’ memang untuk nama diketahui oleh responden generasi muda, akan tetapi mereka tidak mampu menunjukkan
jenis benda itu. Mengingat karena para responden sudah tidak dapat menunjukkan
bendanya, maka dikuatirkan lambat-laun kosakata ini juga mengalami kepunahan.
Tuailah padi antara masak
Esok jangan layu-layuan
Intailah kami antara nampak
Esok jangan rindu-rinduan
Menuai buah padi memang harus
sebelum padi itu masak betul, karena apabila sudah masak betul, butir padinya
akan jatuh. Di samping itu, apabila dituai setelah masak betul, dikuatirkan
tangkai padi itu akan layu, sehingga sukar untuk memotongnya dengan tuai.
Sampiran pantun ini memiliki inter-relasi wawasan pengetahuan masyarakat Melayu
dalam bidang pertanian.
Kata ‘tuai’ dan ‘padi’ dalam
sampiraan /tuailah
padi antara masak/ adalah
untuk mencitrakan kata ‘intai’ dan ‘kami’ pada isi pantun /intailah kami
antara nampak/. Sehingga citra bunyi dari
pantun ini sangat baik. Posisi kata ‘padi’ yang menginter-relasikan kata ‘kami’
berada pada rima awal. Bunyi rima yang diambil hanyalah bunyi ‘i’ antara kata
‘padi’ dan ‘kami’.
Kosakata ‘padi’ masih dikenal oleh responden generasi
muda. Begitu juga dengan benda ‘padi’ tersebut. Namun untuk kosakata ‘tuai’,
dari segi benda mereka tidak mengenalnya. Fenoemana di tengah masyarakat pun,
tidak dijumpai lagi kegiatan menuai padi. Padi dipanen tidak lagi dengan
memakai tuai, tetapi dengan memakai arit. Sehingga dari segi ekolinguistik,
kosakata ‘tuai’ akan mengalami kepunahan.
Hendak dulang diberi dulang
Dulang berisi sagu mentah
Hendak pulang kuberi pulang
Tinggalkan pantun barang sepatah
Kata ‘sagu mentah’ pada sampiran
baris kedua /dulang
berisi sagu mentah/ adalah
untuk mencitrakan kata ‘barang sepatah’
pada isi pantun /tingalkan pantun barang sepatah/. Sagu adalah tepung atau olahannya yang
diperoleh dari pemrosesan teras batang rumbia atau "pohon sagu" dalam
istilah Latinnya metroxylon
sagu rottb. Tepung sagu memiliki karakteristik fisik yang mirip
dengan tepung tapioka.
Inter-relasi ‘sagu mentah’ pada
‘barang sepatah’ sangat tepat dari segi citra makna. Istilah ‘barang sepatah’
merupakan sebuah pesan merendah dalam masyarakat Melayu yang diperuntukan
kepada seseorang yang dihormati.
Posisi kata ‘mentah’ yang
menginter-relasikan kata ‘sepatah’ berada pada rima akhir. Bunyi rima yang
diambil adalah bunyi ‘tah’ antara kata ‘mentah’ dan ‘sepatah’.
Kosakata ‘sagu’ responden generasi muda masih ada
yang tidak mengetahuinya, sementara untuk jenis bendanya, semua responden generasi
muda tidak mampu untuk memperlihatkannya. Penulis memperlihatkan antara pohon
sagu/rumbia dengan pohon nipah, para responden generasi muda tidak mampu menunjukkan
mana pohon sagu tersebut. Sehingga dari segi ekolinguistik, kosakata ‘sagu’ lambat-laun
akan mengalami kepunahan.
Asam kandis mari diiris
Manis sekali rasa isinya
Dilihat manis dipandang manis
Lebih manis hati budinya
Buah asam kandis memang rasanya manis, sehingga
pemilihan kosakata ‘kandis’ untuk mencitrakan kata ‘manis’ pada isi pantun sangat
tepat. Inter-relasi makna ‘kandis’ pada ‘manis’ mencitrakan suatu kesesuaian
untuk isi pantun /dilihat manis
dipandang manis/.
Posisi kata ‘kandis’ yang menginter-relasikan kata
‘manis’ berada pada rima awal. Bunyi rima yang diambil adalah bunyi ‘is’ antara
kata ‘kandis’ dan ‘manis’.
Kosakata ‘asam kandis’ para responden generasi muda
tidak ada yang mengetahuinya. Begitu juga dari segi bendanya, mereka tidak
mampu untuk menunjukkannya. Sehingga dari segi ekolinguistik, kosakata ‘asam
kandis’ dikuatirkan lambat-laun akan mengalami kepunahan juga.
Kalau kutahu paria pahit
Tidak kugulai dalam belanga
Kalau kutahu bercinta sakit
Tidak kumulai dari semula
Kata ‘paria’dan ‘belanga’ adalah untuk mencitrakan
kata ‘bercinta’ dan ‘semula’ pada isi pantun. Ada keterkaitan antara kata
‘paria’ dan ‘belanga’, karena untuk menggulai ‘paria’ wadahnya pada zaman
dahulu adalah ‘belanga’, sejenis wadah untuk memasak yang terbuat dari tanah
liat.
Posisi kata ‘paria’ pada sampiran /kalau kutahu paria
pahit/ yang menginter-relasikan kata
‘bercinta’ pada isi pantun /kalau kutahu bercinta sakit/ berada pada rima tengah, yaitu hanya untuk
mengisi bunyi ‘a’.
Kosakata ‘paria’ responden generasi muda masih
mengetahuinya, sementara untuk jenis bendanya, semua responden generasi muda
tidak mampu untuk memperlihatkannya. Ini diketahui ketika penulis
memperlihatkan antara buah paria dan buah petula. Sehingga dari segi
ekolinguistik, kosakata ‘paria’ ini dikuatirkan juga akan mengalami kepunahan.
Akar bambu dibuat tali
Anaklah kucing dalam perahu
Terbakar rindu di dalam diri
Terbakar hati orang tak tahu
Kata ‘akar bambu’ pada sampiran pantun /akar bamboo dibuat
tali/ adalah untuk mencitrakan
kata ‘terbakar rindu’ pada isi pantun /terbakar rindu di
dalam diri/. Inter-relasi ‘akar bambu’ pada
‘terbakar rindu’, merupakan penempatan kata yang sepadan dalam hal citra bunyi.
Posisi kata ‘akar’ yang menginter-relasikan kata ‘terbakar’ dan kata ‘bambu’
untuk inter-relasi kata ‘rindu’. Posisi bunyi rima yang diambil adalah bunyi ‘kar’
dan bunyi ‘u’ yang berada di rima awal.
Kosakata ‘bambu’ para responden generasi muda masih
mengetahuinya. Begitu juga dari segi bendanya. Saat ditunjukkan antara gambar
pohon bambu dan pohon tebu, mereka dapat membedakannya, mana bambu dan mana
tebu.
Tumbuh betik di tepi halaman
Pokok berangan pokok teruntum
Sungguh cantik bunga di taman
Bolehkah gerangan petik sekuntum
Kata ‘betik’, ‘berangan’ dan ‘teruntum’ adalah
untuk mencitrakan kata ‘cantik’, ‘gerangan’ dan ‘sekuntum’ pada isi pantun.
Inter-relasi yang muncul di sini hanya terfokus pada citra bunyi, yaitu ‘betik’
untuk ‘cantik’, ‘berangan’ untuk ‘gerangan’, dan ‘teruntum’ untuk ‘sekuntum’. Dengan
bunyi rima yang diambil adalah masing-masing bunyi ‘tik’, ‘rangan’, dan
‘untum’.
Kosakata ‘betik’ masih diketahui, begitu juga
bendanya. Tetapi untuk kosakata ‘berangan’ dan ‘teruntum’ umumnya responden generasi
muda tidak mengetahuinya. Sehingga dari segi ekolinguistik, untuk kosakata
‘berangan’ dan ‘teruntum’, dikuatirkan akan mengalami proses kepunahan. Apa
lagi di tengah masyarakat, tumbuhan ini sudah sangat langka. Tidak ada lagi
masyarakat yang menanam tumbuhan ini.
Halia ini tanam-tanaman
Ke barat juga akan condongnya
Dunia ini pinjam-pinjaman
Akhirat juga akan sungguhnya
Kata ‘halia’ pada sampiran /halia ini
tanam-tanaman/ adalah untuk mencitrakan kata
‘dunia’ pada isi pantun /dunia ini pinjam-pinjaman/. Inter-relasi ‘halia’ pada ‘dunia’, merupakan
penempatan kata yang sepadan dalam hal citra bunyi. Posisi kata ‘halia’ yang
menginter-relasikan kata ‘dunia’. Posisi bunyi rima yang diambil adalah bunyi
‘ia’ yang berada pada rima awal.
Kosakata ‘halia’ masih diketahui oleh responden generasi
muda. Akan tetapi dari segi bendanya, ada dua responden yang tidak mampu
membedakan saat penulis memperlihatkan antara ‘halia’ dan ‘kunyit’. Dari segi
ekolinguistik ini juga mengkuatirkan, karena generasi muda hanya mengenalnya
dengan kata ‘jahe’ dalam bahasa Indonesia. Sementara dalam bahasa Melayu
disebut ‘halia’.
Buah kuini jatuh tercampak
Jatuh menimpa bunga selasih
Biar bertahun dilambung ombak
Tidak ku lupa pada yang kasih
Kata ‘selasih’ adalah untuk mencitrakan
kata ‘kasih’ pada isi pantun. Tetapi pada kata ‘kuini’ ternyata tidak ada
fungsinya untuk mencitrakan pada isi. Inter-relasi ‘selasih’ pada ‘kasih’
sangat tepat dari segi citra bunyi. Posisi kata ‘selasih’ pada sampiran /jatuh menimpa bunga
selasih/ yang menginter-relasikan kata
‘kasih’ pada isi pantun /tidak kulupa pada yang kasih/ berada pada rima akhir. Bunyi rima yang diambil
adalah bunyi ‘asih’ antara kata ‘selasih’ dan ‘kasih’.
Kosakata ‘selasih’ responden generasi
muda masih mengetahuinya, sementara untuk jenis bendanya, semua responden generasi
muda tidak mampu untuk memperlihatkannya. Ini diketahui ketika penulis
memperlihatkan antara selasih dan ketumbar. Sehingga dari segi ekolinguistik
keberadaan kosakata ‘selasih’ berpotensi untuk terancam punah.
3.3
Inter-relasi Bahasa dan Benda
Untuk
melihat dari segi kajian ekolinguistik, penelitian ini menguji kemampuan
responden, khususnya responden generasi muda Melayu yang berjumlah 10 orang
terhadap kosakata dan fisik atau benda dari flora yang muncul di dalam sampiran
pantun. Hal ini dilakukan berkaitan dengan pengujian kebertahanan kosakata
tersebut di tengah masyarakat, khususnya oleh generasi muda.
Nama Flora
|
Linguistik
|
Fisik/Benda
|
Tahu
|
Taktahu
|
Tahu
|
Taktahu
|
Pisang
emas
|
10
|
0
|
6
|
4
|
Ubi
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Nenas
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Mumbang
|
0
|
10
|
0
|
10
|
Kelapa
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Limau
purut
|
10
|
0
|
0
|
10
|
Selasih
|
10
|
0
|
0
|
10
|
Padi
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Sagu
|
5
|
5
|
0
|
10
|
Kandis
|
0
|
10
|
0
|
10
|
Paria
|
8
|
2
|
0
|
10
|
Bambu/buluh
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Betik
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Berangan
|
0
|
10
|
0
|
10
|
Teruntum
|
0
|
10
|
0
|
10
|
Halia
|
10
|
0
|
8
|
2
|
Jambu
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Serai
|
10
|
0
|
2
|
8
|
Melati
|
10
|
0
|
4
|
6
|
Kepayang
|
0
|
10
|
0
|
10
|
Nipah
|
5
|
5
|
0
|
10
|
Mengkudu
|
10
|
0
|
8
|
2
|
Durian
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Kunyit
|
10
|
0
|
6
|
4
|
Pauh
|
6
|
4
|
0
|
10
|
Tanjung
|
10
|
0
|
5
|
5
|
Cempedak
|
10
|
0
|
5
|
5
|
Keladi
|
10
|
0
|
7
|
3
|
Nangka
|
10
|
0
|
5
|
5
|
Delima
batu
|
4
|
6
|
0
|
10
|
Kemiri
|
10
|
0
|
3
|
7
|
Manggis
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Bidara
|
0
|
10
|
0
|
10
|
Seroja
|
7
|
3
|
2
|
8
|
Kangkung
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Rumbia
|
6
|
4
|
0
|
10
|
Mengkuang
|
0
|
10
|
0
|
10
|
Kedondong
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Benalu
|
10
|
0
|
0
|
10
|
Berdasarkan tabel
di atas, terlihat ada kosakata dan bendanya tidak diketahui oleh responden generasi
muda itu sama sekali, yaitu kosakata ‘mumbang’, ‘kandis’, ‘berangan’,
‘teruntum’, ‘kepayang’, ‘bidara’, ‘mengkuang’. Selanjutnya ada yang mengetahui
dari segi linguistiknya, tetapi sama sekali tidak tahu dari segi jenis
bendanya, yaitu ‘limau purut’, ‘selasih’, ‘sagu’, ‘paria’, ‘nipah’, ‘pauh’,
‘delima batu’, ‘rumbia’, dan ‘benalu’. Berikutnya separuh dan lebih separuh
dari responden generasi muda tidak mengetahui dari segi jenis bendanya, yaitu
‘serai’, ‘bunga melati’, ‘bunga tanjung’, ‘cempedak’, ‘nangka’, dan ‘bunga
seroja’.
Fenomena
ini menunjukkan bahwa dari segi ekolinguistik keberadaan kosakata flora
tersebut, berpotensi untuk terancam akan punah. Hal ini dikarenakan di wilayah
tersebut tidak lagi ditemukan jenis flora tersebut. Di sisi lain, terjadi
pergeseran kegiatan ekonomi masyarakat, yaitu dari kegiatan pertanian menjadi
kegiatan lainnya, seperti jualan, pegawai, dan lainnya. Begitu juga dengan
luasnya lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Umumnya responden yang berdomisili
di kota, di mana rumah mereka tidak mempunyai halaman yang luas untuk menanam
jenis flora.
4.
Penutup
4.1
Simpulan
Masyarakat
yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah, masyarakat Melayu yang
tinggal di Kota Medan yang memiliki ragam bahasa yang unik. Pemakaian kosakata
yang berkaitan dengan bahasa Melayu sudah sangat langka. Apalagi dikaitkan
dengan penamaan unsur flora yang sudah langka ditemukan dari lingkungan
geografis mereka.
Dalam pandangan ekolinguistik, pandangan green
grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk menyelaraskan
kalimat/klausa yang ada pada sampiran pantun ini dengan alam, yaitu unsur
tumbuhan.
Dalam sampiran pantun, ketahanan khazanah
lingual kosakata flora berpotensi untuk mengalami kepunahan. Hal ini disebabkan
masih banyak kosakata flora dari bahasa Melayu yang tidak diketahui lagi oleh
generasi muda Melayu. Fenomena ini diakibatkan, jenis tumbuhan (flora) tersebut
tidak ada lagi ditanam oleh masyarakat. Sehingga para generasi muda tidak
mengenalnya lagi.
4.2
Saran
Masyarakat setempat mengenal kosakata unsur flora yang hadir
dalam sampiran pantun itu hanya dalam bahasa Indonesia, serta memadukan dengan
bahasa yang berkembang saat ini. Ekolinguistik di sini bisa diungkap dengan
menangkap istilah-istilah kosakata flora tersebut. Dengan penelitian ini, bisa
dijadikan acuan kepada peniliti yang lain untuk mengkaji ekolinguistik dari
segi flora di Indonesia yang sangat banyak jenisnya dengan kondisi geografis
yang berbeda-beda. Obyek kajian ekolinguistik di Indonesia tidak akan ada
habisnya.
Berdasarkan temuan dari hasil penelitian ini, kiranya unsur
kosakata flora yang hadir dalam sampiran pantun ini perlu untuk terus
diinventaris dalam kamus khusus. Begitu juga dengan keberadaan jenis flora yang
sudah langka, kiranya perlu untuk diadakan upaya penanaman kembali. Pemerintah
perlu membuat kebun percontohan yang berisi tumbuhan langka. Sehingga para
generasi muda tetap bisa mengenalnya.
Daftar
Pustaka
Buku
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1961. Puisi Lama. Djakarta: Pustaka Rakjat.
Amat Juhari Moain. 2008. Pemilihan Kata dalam
Pantun Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Aminah Haji Noor. 2006. Pantun Melayu: Warisan
Bangsa. Kuala Lumpur: Iqra' Publications.
Anwar Ridhwan dan E.U. Kratz. 2004. Hati Mesra:
Pantun Melayu Sebelum 1914: Suntingan Hans Overbeck. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik
Umum. Bandung: Rineka Cipta.
Craufurd, John. 1852. Grammer and Dictionary of The Malayan Language. London: Smith, Elder. (edisi fotokopi)
Daillie, Francois-Rene.
1988. Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Dwi Susilo, Rachmad K.
2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press.
Effendy,
Tenas. 2007. Khazanah Pantun Melayu Riau. Kuala Lumpur: Dawama Sdn.Bhd.
Fill,
Alwin. Peter Mühlhaüsler. 2001. The
Ecolinguistic Reader. Langguage, Ecology dan Environtmen. Continuum London
and New York. (edisi fotokopi)
Halliday,
M.A.K.1978. Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of
Language and Meaning. London : Edward Arnold. (edisi
fotokopi)
Haugen,
Einar. 1972. The Echology of Language. Stanford, CA: Stanford University
Press. (edisi fotokopi)
Hooykaas,
C. 1965. Perintis Sastra. Kuala Lumpur: Oxford University
Press.
Iskandar,
Teuku. 1995. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei:
UBD.
Jorgensen,
S.E and G. Bendoricchio. 2001. Fundamentals
of Ecological Modelling. Third Eddition. Elsevier Science Ltd. The
Boulevard, Longford Land Kidlington, Oxford OX5 1GB, UK. (edisi fotokopi)
Louis
dan Jean Calvet. 2006. Towards An
Ecology of World Languages. Polity Press. 65 Bridge Street Cambridge CB2
1UR, UK. (edisi fotokopi)
Lundo, A.V.& Bundasgaard, J. (eds). 2000. Dialectical
Echolinguistics: Three Essays for The Symposium 30 years of Language and
Ecology. Odense: University of Odense. (edisi
fotokopi)
Marsden, William. 1812. Grammer of The Malayan Language. London:
The Author. (edisi fotokopi)
Mat
Piah, Harun. 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre
dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Merchant,
Carolyn. 1992. Livable World :Timber
Company You Are Selling Our Home. New York : Routledge. An Imprint of
Routhledge, Chapman & Hall.Inc 29 West 35th Street NY 10001.
(edisi fotokopi)
Mbete, Aron Meko. 2009. “Refleksi Ringan Tentang
Problemantika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolingistik”. Makalah
Seminar Nasional Budaya Etnik III, USU Medan, 25 April 2009.
P. Favre, Abbe. 1876. Grammaire de la Language Malaise.
Imprimerie Imperiale Et Royale. (edisi ebook)
R.J. Wilkinson dan R.O.
Winstedt. 1961. Pantun Melayu. Singapura: Malaya Publishing House.
(Edisi ebook)
Saussure, Ferdinand
de. 1993.
Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Internet
Al
Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Konsep Sosio Ekologis Masyarakat Gayo dalam
Pemeliharaan Ekosistem. www.gayoline.com (24 Desember 2009) diakses 1 Desember
2014.
Derni, Ammaria. 2008. The Ecolinguistic Paradigm: An
Integrationist Trend in Language Study. Tlemcen: Abou Bekr Belkaid
University Algeria The International Journal of Language Society
and Culture. www.educ.utas.edu.au/users/tle/JOURNAL/ diakses 1 Desember 2014.
Ranggung lantaikanlah di bamban
Padi dan banto punyo buah
Tanggung dan rasakanlah di badan
Hati dan mato punyo ulah