Minggu, 10 Mei 2020

MENGULIK MUASAL BAHASA MELAYU BERJEJAK DI BARUS

MENGULIK MUASAL BAHASA MELAYU
BERJEJAK DI BARUS [1]
Oleh: Sahril [2]
Balai Bahasa Sumatera Utara, Kemendikbud
Di Barus ada sebuah desa yang bernama Kampung Mudik. Lokasi desa ini persis di samping Sungai Aek Sirahar yang ilirnya langsung ke laut Samudra Indonesia. Konon menurut informan, Bapak H. M. Akhyar Habeahan, (saat penulis melakukan penelitian, 2020) nama Kampung Mudik ini sudah lama adanya, yaitu pada masa hidupnya Syekh Hamzah al-Fansuri atau Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri pergi belajar menuntut ilmu ke beberapa negara di jazirah Arab, lalu pulang ke tanah air melalui Barus dan kapalnya bersandar di Sungai Aek Sirahar. Saat itu Hamzah Fansuri menyebutnya tempat dia mudik. Jadi istilah mudik itu sudah ada semenjak Hamzah Fansuri, akhirnya masyarakat menamakan kampung itu dengan Kampung Mudik.
Masih menurut informan H.M. Akhyar Habeahan, di Kampung Mudik ini dahulu banyak bertapak para ulama kelahiran Barus maupun ulama yang berasal dari jazirah Arab. Hal ini memungkinkan, karena jarak antara Kampung Mudik dengan kompleks Pemakaman Mahligai hanya berjarak lebih kurang satu kilometer saja. Di kompleks Pemakaman Mahligai ini bersemanyam pusara salah seorang ulama yaitu Syekh Rukunuddin yang wafat pada 13 Syafar 48 Hijriah.
Di atas Sungai Aek Sirahar saat ini telah dibangun sebuah jembatan yang diberi nama Jembatan Hamzah al-Fansuri. Jembatan ini menghubungkan antara Desa Kampung Mudik dengan Desa Bunga Tanjung. Jembatan ini diresmikan pada 31 Desember 2019 yang lalu, merupakan jembatan termegah di Tapanuli Tengah, panjangnya 100 meter dengan menghabiskan biaya 52 miliar. Secara umum, jembatan ini juga menghubungkan dua kecamatan yang terpisah, yaitu Kecamatan Barus dan Kecamatan Andam Dewi.
Pentasbihan nama jembatan ini dengan nama Jembatan Hamzah al-Fansuri merupakan penghormatan atas tokoh ulama, tasawuf, dan sastra kelahiran Barus, yaitu Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri telah dianugerahi Bintang Parama Dharma oleh Presiden Susilo Bambang Yudhiono pada tanggal 12 Agustus 2013 di istana negara dalam acara Penganugerahan Bintang Maha Putra dan Tanda Jasa.
Bahasa Melayu, yang sudah menjadi bahasa publik sejak abad ketujuh. Saat itu, bahasa Melayu disebut sebagai bahasa Kunlun. Menurut Kong Yuan Zhi (Bahasa Kunlun dalam Sejarah Bahasa Melayu, 1993) dalam (Mat & Sulaiman, 2007), bahasa ini dipergunakan dalam keseharian masyarakat bersama-sama dengan bahasa Sansekerta. Bahasa Melayu kemudian terus berkembang. Dari masa Kemaharajaan Sriwijaya hingga menyebar ke sebagian kawasan Asia Tenggara, terutama Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Perkembangan paling penting bahasa Melayu terjadi pada periode 1530–1880. Pascakedigdayaan Sriwijaya runtuh, kerajaan-kerajaan Melayu pun mulai menguat. Selepas Palembang, berjejak di Barus abad XVI lanjut ke Aceh perkembangan bahasa Melayu terus berkembang, karya-karya Hamzah Fansuri membuktikan bahwa bahasa Melayu sudah mulai digunakan dalam karya sastra, khususnya syair.
Syekh Hamzah al-Fansuri merupakan figur penting dalam sejarah kebudayaan Melayu-Indonesia. Kemasyhurannya meliputi banyak bidang, yakni kesusastraan, tasawuf, dan dakwah Islam. Namun, sedikit sekali yang dapat memastikan detail riwayat hidup sang perintis tradisi penulisan syair berbahasa Melayu itu. Pendapat pertama menyatakan bahwa Hamzah Fansuri berasal dari Barus. Pendapat lainnya menyatakan hal yang berbeda.
Argumen yang pertama merujuk, antara lain, pada gelar (takhallus) yang melekat di belakang namanya. Menurut (W. Abdulhadi, 1995), Fansur merupakan sebutan orang-orang Arab terhadap Barus. Adapun Barus merupakan sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang kini terletak antara Singkil (Aceh) dan Sibolga (Sumatera Utara).
Argumen yang kedua diajukan (Al-Attas, 1966), menurutnya, silsilah Hamzah Fansuri dapat dilihat dari sajaknya sendiri, yang berbunyi “Hamzah nin asalnya Fansuri/Mendapat wujud ditanah Shahr Nawi….” Melalui karyanya itu, lanjut Al-Attas, Hamzah Fansuri hendak mengungkapkan bahwa keluarganya memang berasal dari Barus, tetapi dirinya sendiri lahir di Syahr Nawi, yakni Ayuthia, ibu kota Kerajaan Siam yang berdiri pada 1350. (Schimmel & al-Attas, 1973)
Pendapat itu disanggah GWJ Drewes, seorang orientalis Belanda. Seperti disebutkan (Fang, 2011), kata-kata “mendapat wujud” dalam penggalan sajak itu tidak berarti yang bersangkutan lahir di kota tersebut, tetapi di sanalah Hamzah Fansuri mendapatkan ajaran Wujudiah. Drewes menerangkan bahwa Syahr Nawi pada paruh kedua abad ke-16 merupakan kota dagang yang ramai dikunjungi para musafir India, Persia, Turki, dan Arab. Tidak mengherankan bila banyak ulama muslim terkemuka yang menetap di sana. Hamzah Fansuri pernah menyambangi kota pelabuhan itu. Setelah memeroleh ajaran wujudiah di sana, dia pun mengembangkannya di Aceh.
Satu hal yang umumnya disepakati adalah ketokohan Hamzah Fansuri tidak lepas dari konteks Barus. Wilayah itu sering disinggahi para saudagar dan musafir dari mancanegara. Bahkan, menurut Abdul Hadi, signifikansinya sudah tercantum dalam naskah sejarah Yunani kuno yang ditulis pada abad kedua sebelum Masehi (sM). Misalnya, catatan Prolomeus yang menyatakan bahwa rombongan kapal Firaun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus untuk mendapatkan kamper (kapur barus), bahan yang amat diperlukan untuk pembuatan mumi (Drakard, 2003).
Hingga abad ke-16, Barus masih menjadi salah satu tujuan favorit para pedagang dari negeri-negeri jauh. Berbagai komoditas yang bernilai tinggi diperniagakan di sana, misalnya, benzoin putih, kamfer, kayu cendana, gaharu, jahe, kayu manis, timah, dan emas. Situasi kota yang kosmopolitan seperti itu memunculkan masyarakat kelas menengah yang haus ilmu pengetahuan. Dapat dipastikan bahwa di Barus pada masa itu telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan, yang di dalamnya para murid belajar ilmu-ilmu agama dan berupaya menguasai berbagai bahasa asing (Guillot, 2002).
Sepanjang hayatnya, Hamzah Fansuri tidak hanya fasih berbahasa Melayu, tetapi juga Jawa, Siam, Hindi, Arab, dan Persia. Dua yang paling akhir itu, menurut Abdul Hadi, merupakan bahasa penting pada abad ke-16, termasuk mengenai tasawuf Islam. Abdul Hadi menduga bahwa di Barus pada masa itu telah berkembang suatu dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya dapat dianggap contoh terbaik ragam bahasa Melayu Barus.
Sampai kini, tidak ada keterangan yang pasti tentang tahun kelahiran dan wafatnya Hamzah Fansuri. (Al-Attas, 1966) memperkirakan bahwa tokoh tasawuf itu hidup pada suatu masa sebelum pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1588-1604) dan wafat sebelum 1607, awal kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Argumennya didasarkan pada salah satu sajak karangan Hamzah Fansuri yang berjudul “Ikatan-ikatan ‘Ilmu’l-Nisa”. Di dalam karya itu, dikatakan bahwa sang penyair diperintahkan oleh Sultan Alauddin untuk mengarang sebuah sajak atau setidak-tidaknya mendedikasikan karya itu untuk penguasa tersebut. Raja Kesultanan Aceh yang ke-10 itu bergelar Shah Alam. Rakyat Aceh menyebutnya sebagai Sayyid al-Mukammal. Sajak Hamzah Fansuri mengindikasikan hal tersebut berbunyi: “Shah ‘Alam raja yang ‘adil/Raja Qutub sempurna kamil/Wali Allah sempurna wasil/Raja ‘arif lagi mukammil.” (hlm. 32-33)
Sementara itu, (W. Abdulhadi, 1995) mengaitkan masa hidup Hamzah Fansuri dengan keadaan Barus dalam kaitannya dengan dinasti Aceh. Untuk diketahui, pada permulaan abad ke-17 pamor kota tersebut mulai merosot. Penyebabnya adalah bahwa Kerajaan Aceh Darussalam di utara terus berkembang, sang raja-rajanya berambisi menjadikan Aceh satu-satunya kedaulatan di Pulau Sumatra. Di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh berhasil menaklukkan Barus. Namun, kota itu tidak dibangunnya sehingga fungsinya sebagai pelabuhan dagang kian sepi. Akhirnya, pada awal abad ke-18, wilayah yang sebelumnya ramai itu sudah jarang dikunjungi. (hlm. 11-12)
Abdulhadi juga mengutip keterangan François Valentijn, seorang misionaris Belanda yang berkunjung ke Barus pada 1706. Di dalam catatannya, sarjana yang mengagumi keindahan bahasa Melayu itu memuji Hamzah Fansuri sebagai “seorang yang sangat terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu karena syair-syair dan puisi-puisinya yang menakjubkan.” Maka dari itu, ada kesan bahwa pada masa hayatnya Hamzah Fansuri masih mengalami zaman akhir kegemilangan Kota Barus sekaligus menyaksikan pula ekspansi Aceh Darussalam.
Besarnya kiprah Hamzah Fansuri membuat (W. M. Abdulhadi, 2004)  menggelarinya “Bapak Bahasa dan Sastra Melayu.” Sebutan itu boleh jadi tidak berlebihan sebab ulama-sufi itulah yang pertama kali menulis karangan ilmiah dalam bahasa Melayu. (hlm. 193)
Pakar sastra Indonesia (Teeuw, 1994) mendaulat Hamzah Fansuri sebagai “Sang Pemula Puisi Indonesia.” Tentu saja, Indonesia yang dibayangkannya tidak hanya sebatas negara bahwa yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Teeuw hendak mengetengahkan, di dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri sudah terdapat ciri-ciri kesusastraan modern. Artinya, Hamzah Fansuri memelopori suatu gebrakan kesusastraan di Nusantara--jauh sebelum kolonialisme Barat datang. (hlm. 224-249)
Lebih lanjut, Teeuw menemukan adanya ciri-ciri modernitas dalam karya Hamzah Fansuri, semisal Syair XXIII yang dikutip Drewes. Pertama, ciri modernitas itu adalah individualitas. Puisi Hamzah Fansuri tidak anonim seperti umumnya terjadi pada karya-karya sastra Melayu Lama. Anonimitas biasanya sebagai cara pengarang merendahkan hati di hadapan sidang pembaca. Pengarang tidak menganggap diri sebagai tokoh, tetapi sebagai wakil masyarakat kesastraan sehingga merasa tidak perlu disebut atau diingat namanya. Sebaliknya, Hamzah Fansuri dengan terang mengemukakan dirinya sebagai pengarang syair-syairnya, tidak hanya di kolofon (catatan pada akhir teks naskah), tetapi bahkan di dalam kandungan sajak-sajaknya sendiri.
Kedua, ciri modernitas berupa inovasi. Hamzah Fansuri tidak sekadar mengambil alih model sastra sufi Persia dalam menciptakan syair Melayu. Dia juga melakukan penyesuaian model itu dengan keistimewaan bahasa dan tradisi sastra Melayu. Pada akhirnya, hal itu memunculkan pembaruan.
Ketiga, ciri modernitas menggunakan kata asing. Hamzah Fansuri sangat piawai menyertakan kata-kata atau istilah dari bahasa asing—utamanya Arab dan Persia. Dua bahasa itu biasa menjadi medium dakwah Islam di nusantara. Dengan menyerap kata-kata bahasa itu, Hamzah Fansuri memperkaya khasanah bahasa Melayu.
Menurut catatan perajalan Hamilton (1688) dalam (Zainuddin, 1961), di sekitar wilayah samudra Indonesia berbatasan dengan Aceh ada Kerajaan Hindu yang kecil (tidak diketahui nama kerajaan itu). Penghasilan kerajaan ini adalah belerang, kapur barus, dan kayu cendana. Di sekitar kerajaan itu ada perkampungan orang Hindu yang disebut Kampung Panei berdekatan dengan Kampung Batee (mungkin Batak). Mata pencaharian penduduknya adalah tukang membuat parang, membakar kapur, membuat periuk, dan bertanam bawang. Pelabuhannya berada pada suatu teluk yang genting. (hlm. 42)
Berdasarkan catatan sejarah di atas, di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kecamatan Tarabintang ada sebuah desa yang dikenal sebagai desa perajin pembuat parang, yaitu Desa Sihas Toruan. Desa ini berbatasan langsung dengan wilayah Barus. Lalu di Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki hutan kemenyan.
Berdasarkan ruang geografis etnisitas yang disusun oleh (Collet, 1925), Cunningham (1958) dalam (Perret, 2010), Reid (1979) dalam (Starosta, S., Pawley, A. K., & Reid, 1981) dan Sibeth (1991) dalam (Sibeth, A., Kozok, U., & Ginting, 1991), di pesisir barat Sumatera Utara terdapat kelompok masyarakat yang bukan merupakan bagian dari etnis Batak.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatra dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa (Ikram, 2008).
Pada saat itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno (Sriwijaya) lebih dominan penggunaan kosakata Sanskerta dengan aksara Palawa. Baru setelah masuknya Islam melalui Barus, perlahan bahasa Melayu mengadopsi kosakata Arab dan Persia. Khususnya, sangat menonjol ditemukan pada karya-karya Hamzah Fansuri.
Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap 23 bait teks syair Hamzah Fansuri ditemukan setidaknya ada 71 kosakata Melayu dan saat penulis mengkonfirmasi pada masyarakat Melayu Barus, khususnya di Kampung Mudik, kosakata tersebut masih dipergunakan. Berikut kosakata yang hadir dalam teks syair tersebut.
Kosakata
Teks syair
ajami [bisu],
nentiasa [senantiasa]
Hamzah miskin orang `uryani
seperti Isma`il jadi qurbani
bukannya `ajami lagi `arabi
 nentiasa washil dengan yang baqi
alang-alang [tanggung, setengah-setengah, sedang],
upama [umpama],
dagang [niaga]
hidup dalam dunia upama dagang
datang musim kita ’kan pulang
la tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang
anak jamu,
ungags [burung],
yogya [baik]
dengarkan hai anak jamu
unggas itu sekalian kamu
`ilmunya yogya kau ramu
supaya jadi mulia adamu
angga [tanduk rusa, bercabang],
cawang [cabang]
ingat-ingat hai anak dagang
nafsumu itu lawan berperang
anggamu jadikan sarang
citamu satu jangan bercawang
astana [istana],
tudung [tempat perlindungan],
lurung [belok],
tulung [tolong, bantu]
astananya di puncak gunung
jalannya banyak berlurung-lurung
pada rahmatnya kau minta tulung
supaya dapat ke dalam tudung
Baharu [baru]
sabda ‘Ali yang mahatahu
la a’budu rabban lam arahu
wama ra’aytu syay’an, lama dan baharu
illa ra ‘aytu ‘llaha fihi aku
bidai [jalinan bilah bambu sebagai kerai, tirai penutup pintu],
bisai [bagus, elok],
pingai [kuning muda]
unggas itu terlalu pingai
warnanya sempurna bisai
rumahnya tiada berbidai
duduknya da’im di balik tirai
galuh-galuh [perak, intan],
labuh [berdiam],
nin [ini],
taruh [letak]
dunia nin jangan kau taruh-taruh
supaya dekat mahbub yang jauh
indah sekali akan galuh-galuh
ke dalam api pergi berlabuh
helah [dalih, berdalih],
‘ibadat [ibadah],
ma’lum [maklum],
sembah[sujud]
bayt al-`athiq itulah bernama ka`bah
`ibadat di dalamnya tiada berhelah
tempatnya ma`lum di tanah mekkah
akan qiblat islam menyembah allah
Henang [ragu, gemetar],
menang [bahagia],
petang [senja],
suluh [pelita],
terang [bercahaya]
suluhnya terlalu terang
harinya tiada berpetang
jalannya terlalu henang
barang mendapat dia terlalu menang
Huwa [senjata memburu tikus],
Nafi [ingkar]
ketahui olehmu hai anak dagang
rupamu itu seperti bayang-bayang
menafikan diri jangan kau sayang
supaya dapat kepada huwa kau datang
Iram [sejenis kain],
padam [mati],
payung [payung]
ketahui hai anak adam
engkaulah haqiqat `alam
`isyqi-mu jangan kau padam
supaya dapat berpayung iram
Isai [isi],
ripai [rebana],
tirai [kain pemisah ruangan]
syari`at akan tirainya
tariqat akan bidainya
haqiqat akan ripainya
ma`rifat akan isainya
Jalis [ambisi yang membaja],
Labis [banyak],
Palis [berpaling],
sauh [jangkar]
fawq al-markab yogya kau jalis
sauhmu da’im baikkan habis
rubing syari`at yogya kau labis
supaya jangan markabmu palis
Jeling [melihat],
Karang [batu terjal di tengah laut],
Kemudi [kendali, alat pengendali],
Mamang [ragu, nanar, kabur matanya],
sawang [langit, angkasa]
jika hendak engkau menjeling sawang
ingat-ingat akan ujung karang
jabat kemudi jangan kau mamang
supaya betul ke bandar kau datang
Kekang [kendali, larang],
Serang [menangkal],
tatkala [ketika, waktu]
adamu itu yogya kau serang
supaya dapat negeri yang henang
seperti `ali tatkala perang
melepas duldul tiada berkekang
Markab [kapal, bahtera],
rubing [dinding tambahan pada pinggir perahu]
fawq al-markab yogya kau jalis
sauhmu da’im baikkan habis
rubing syari`at yogya kau labis
supaya jangan markabmu palis
Nantiasa [senantiasa],
satir [tidak dapat mengendalikan nafsu]
hamzah nin `ilmunya zhahir
ustadhnya sayyid `abd al-qadir
mahbubnya terlalu hadir
dengan dirinya ‘nantiasa satir
Pepak [lengkap]
hamzah fansuri anak dagang
da’im bersuhbat dengan hulubalang
penuh dan pepak tahu berperang
barang kerjanya jangan kau larang
Sahir [tukang tenung],
Sakir [terima kasih, suka cita],
takir [wadah tempat makanan dari daun pisang],
zahir [lahir]
kekasih itu bukannya sahir
ke tengah pekan datangnya zahir
berjual arak di dalam takir
itulah ‘asyiq mabuknya sakir
Sakin [yakin, tentu]
pada dunia nin jangan kau amin
lenyap pergi seperti angina
kuntu kanzan tempat yang batin
di sana da’im yogya kau sakin
Sandang [pikul]
kitab allah dipersandangnya
ghayb allah akan tandangnya
`alam lahut akan kandangnya
pada da’irah hu tempat pandangnya
Sangkaran [rumah],
taulan [teman]
arasy allah akan pangkalannya
habib allah akan taulannya
bayt allah akan sangkarannya
menghadap tuhan dengan sopannya
Kedatangan Islam yang membawa abjad Arab, tatabahasa, dan perbendaharaan katanya di samping pendidikan Islam, telah meningkatkan taraf bahasa Melayu sebagai alat pengucapan intelektual dan sekaligus menjadi bahasa perantaraan di Nusantara. Ini karena, sebelum kedatangan Islam tidak ada satu bahasa pun yang layak memainkan peranan yang penting selain dari bahasa Melayu.
Kehadiran muslim asing di nusantara bagaimana pun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di nusantara (Ricklefs & Ricklefs, 1991). Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di nusantara berasal dari tulisan di batu nisan. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang muslim asing. Bukti pertama muslim pribumi nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marcopolo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota muslim, dan bukti pertama tentang dinasti muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam (Widjojoatmodjo, 1942). Kehadiran sekolah pemikiran Syafi’i, yang kemudian mendominasi nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh’hab yang digunakannya adalah Imam Syafi’i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.
Berbagai teori perihal masuknya Islam ke Indonesia terus muncul sampai saat ini. Fokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Seperti banyak diketahui jika daerah penghasil batu kapur yaitu Barus (Sibolga-Sumatera Utara) sudah digunakan oleh para Firaun di Mesir untuk proses pemakaman mumi Firaun. Berdasarkan hal tersebut membuktikan jika jauh sebelum Islam datang, masyarakat nusantara sudah berhubungan dengan dunia luar. Ada kemungkinan Islam sudah masuk di nusantara terjadi pada masa Kenabian atau masa hidupnya Nabi Muhammad Saw. Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat, India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Kalau ahli sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, (HAMKA, 1975) berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan dalam satu diagram mengenai muasal bahasa Melayu tersebut.
Penutup
Menelusuri awal muasal bahasa Melayu itu tidak terlepas dari masuknya Islam ke nusantara yang bermula dari dan bertapak di Barus. Ada tiga teori dirumuskan mengenai masuknya Islam ke nusantara, yaitu teori Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Terlepas dari ketiga teori ini, semuanya mengacu pada suatu daerah yaitu Barus.
Bermula mendarat di Barus, lalu menyebar sebentar di Kerajaan Haru, kemudian bertapak dan berkembang di Aceh, selanjutnya menyeberang ke Malaka.
Bahasa Melayu yang sudah mulai ada pada masa Sriwijaya (dapat disebut sebagai bahasa Melayu Tua yang hanya terpengaruh dari bahasa Sanskerta). Barulah setelah kedatangan Islam, perkembangan bahasa Melayu selanjutnya begitu hebat. Percampuran bahasa ini yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, selanjutnya dipengerauhi oleh kosakata Arab dan Persia.
Lahirlah karya-karya tulis dalam bentuk aksara Jawi yang berkaitan dengan agama, politik, tata negara, dan sastra. Sekian abad ini terus berlanjut, sehingga bahasa Melayu menjadi lingua franca. Menjadi bahasa komunikasi manusia di nusantara ini. Bahkan di bagian timur Indonesia dijadikan sebagai bahasa utama bagi misionaris. Kitab Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (masih dalam penyelidikan apakah Injil yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu itu menggunakan aksara Jawi atau Latin).
Akhirnya, mengingat dan melihat perkembangan bahasa Melayu yang sudah merebak ke seantero nusantara, maka pihak kolonial Belanda berinisiatif untuk menyusun bahasa Melayu dalam aksara Latin. Muncullah van Ophijsien, yang kala itu masih menjadi guru di Padangsidimpuan. Saya yakin bahwa van Ophijsien banyak terpengaruh dari kondisi bahasa Melayu yang berkembang di Aceh, yang jika dirunut bermula dari Barus.
Maka dapat disimpulkan, bahwa awal mula bahasa Melayu modern itu berasal dari Barus, bukan dari Malaka. Kita harus menyambungkan mata rantai itu: Barus—Aceh—Malaka. Lalu kita terputus dengan Malaka, saat hendak dilahirkan jadi Indonesia, yaitu hadirnya van Ophijsien (1901) untuk Indonesia (Hindia Belanda) dan Wilkinson (1904) untuk Malaysia (Malaya).
Finalnya, muncullah Tabrani, Sanusi Pane, M. Yamin, dan Jamaluddin Adi Negoro yang menjadikan Bahasa Indonesia dilahirkan dari Bahasa Melayu (Bahasa Melayu Balai Pustaka, bukan Bahasa Melayu Riau). 
Daftar Pustaka
Abdulhadi, W. (1995). Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Mizan.
Abdulhadi, W. M. (2004). Islam, Cakrawala Estetik dan Budaya. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban,.
Al-Attas, S. M. N. (1966). The Mysticism of Hamzah Fansuri. University of London.
Collet, O. J. (1925). Terres et peuples de Sumatra (pp. 503-520). Amsterdam: Elsevier.
Drakard, J. E. (2003). Sejarah raja-raja Barus: dua naskah dari Barus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Ecole Francaise d’Extreme-Orient.
Fang, L. Y. (2011). Sejarah Kesusastraan Melayu Kelasik. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. https://doi.org/10.1080/07408170500216480
Guillot, C. (2002). Lobu Tua, Sejarah Awal Barus (Vol. 1). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
HAMKA. (1975). Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ikram, A. (2008). Bahasa Melayu Penyebar Budaya. Naskah-naskah sebagai saksi persebaran Bahasa. ATL, 1(1).
Mat, Z., & Sulaiman, M. (2007). Interaksi budaya India & Cina ke atas pengukuhan bahasa dalam Tamadun Melayu. Jurnal Pengajian Umum.
Perret, D. (2010). Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Ricklefs, M. C., & Ricklefs, M. C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300. Pac. Aff.
Schimmel, A., & al-Attas, S. M. N. (1973). The Mysticism of Hamzah Fansuri. Die Welt Des Islams. https://doi.org/10.2307/1570049
Sibeth, A., Kozok, U., & Ginting, J. R. (1991). The Batak: Peoples of the island of Sumatra: Living with ancestors. Thames and Hudson.
Starosta, S., Pawley, A. K., & Reid, L. A. (1981). The evolution of focus in Austronesian. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan= National Center for Language Development, Ministry of Education and Culture.
Teeuw, A. (1994). Indonesia: antara kelisananan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Widjojoatmodjo, R. . (1942). Islam in the Netherlands East Indies. The Journal of Asian Studies, 2(1), 48–57.
Zainuddin. (1961). Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Iskandar Muda.
Sumber Bacaan
Adelaar, K.A. (1988). More on Proto-Malayic. Dalam: Mohd. Thani Ahmad dan Zaini Mohammed Zain (peny.) Rekonstruksi dan cabang-cabang Bahasa Melayu induk, pp.59-77. Seri monograf sejarah bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ahir, D.C. (1995). A Panorama of Indian Buddhism: Selections from the Maha Bodhi journal, 1892-1992. Sri Satguru Publications. hlm. 612. 
Alexanderll, James. (2006). Malaysia Brunei & Singapore. New Holland Publishers. hlm. 8.
Alwi, Hasan, Dendy Sugono, dan Anton M. Moeliono. (1999). Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Asfiati, M. P. (2014). Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Analisa tentang Teori-teori yang Ada). Jurnal Thariqah Ilmiah Vol, 1(02).
Basarshah, Tuanku Luckman Sinar. (2009). Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Yayasan Kesultanan Serdang.
Bellwood, P. (1993). Cultural and biological differentiation in peninsular Malaysia: the last 10,000 years. Asian Perspectives 32:37-60.
Deka, Phani. (2007). The great Indian corridor in the east. Mittal Publications. hlm. 57.
Eliot, J., Bickersteth, J. (2000). Sumatra Handbook. Footprint.
Florey, Margaret. (2009). Endangered Languages of Austronesia-Oxford linguistics. London: Oxford University Press.
Gerini, Gerolamo Emilio. (1974). Researches on Ptolemy's geography of eastern Asia (further India and Indo-Malay archipelago. Munshiram Manoharlal Publishers. hlm. 101.
Gopal, Lallanji. (2000). The economic life of northern India: c. A.D. 700-1200. Motilal Banarsidass. hlm. 139.
Guillot, C. (2008). Barus seribu tahun yang lalu (No. 9). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Harcourt, Houghton Mifflin. (2001). "South and Southeast Asia, 500-1500". The Encyclopedia of World History. hlm. 138.
Hidayatullah, Moch. Syarif. (2012). Bustān al-Kātibīn: Pengaruh Tata Bahasa Arab dalam Tata Bahasa Melayu. Jurnal Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012.
Hudaya, R. (2012). Pengaruh Terpaan Tayangan Televisi Malaysia Terhadap Adopsi Budaya Masyarakat Sambas (Studi Pada Desa Temajok, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas) (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
Hudson, A.B. (1970). A note on Selako: Malayic Dayak and Land Dayak languages in West Borneo. Sarawak Museum Journal 18:301-318.
I-Tsing (2005). A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671-695). Asian Educational Services. hlm. xl – xli. 
Jack, W. (1820). The Malayan Miscellanies.
Kompas. (2009). “Balai Pustaka, Berbenah Setelah Satu Abad”. Kompas daring, 25 November 2009.
Kridalaksana, H. (1991). Masa Lampau bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyajarta: Penerbit Kanisius.
Meuraxa, Dada. (1973). Sejarah Kebudayaan Suku-Suku di Sumatera Utara. Medan: Sasterawan.
Milner, A. (2012). "Identity Monarchy": Interrogating Heritage for a Divided Malaysia. Southeast Asian Studies, 1(2), 3-212. 
Mukerjee, Radhakamal. (1984). The culture and art of India. Coronet Books Inc. hlm. 212.
Nasanius, Yassir. (2007). Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya: kedelapan belas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pande, Govind Chandra. (2005). India's Interaction with Southeast Asia: History of Science, Philosophy and Culture in Indian Civilization, Vol. 1, Part 3. Munshiram Manoharlal. hlm. 266.
Saputra, A., & Sair, A. (2014). Kerjasama Kerajaan Sriwijaya Dengan Dinasti Tang Pada Tahun 683-740 M. Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, 3(2).
Sarkar, Himansu Bhusan. (1970). Some contributions of India to the ancient civilisation of Indonesia and Malaysia. Calcutta: Punthi Pustak. hlm. 8.
Sinar, Tuanku Luckman. (1990). dalam Dirasatul Ulya, yang berjudul “Perkembangan Islam di Kerajaan – Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”. Medan: Pendidikan Tinggi Purna Sarjana Agama Islam, 1990, hlm 9.
Sumanti, Solihah Titin dan Taslim Batubara. (2019). Dinamika Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Utara (Menelusuri Jejak Masjid Kesultanan Serdang). Yogyakarta: Atap Buku.
Suprayitno. (2012). Islamisasi Di Sumatera Utara: Studi Tentang Batu Nisan di Kota Rantang dan Barus. MIQOT Vol. XXXVI No. 1 Januari-Juni 2012, hlm. 154-173.
Supriyadi, Dedi. (2016). Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Tumanggor, R. (1999). Sistem kepercayaan dan pengobatan tradisional: studi penggunaan ramuan tradisional dalam pengobatan masyarakat Barus suku bangsa Batak Tapanuli Tengah Sumatera Utara.
Tuuk, H. N. V. D. (1856). Iets over de Hoog-Maleische bijbelvertaling [Something about the High Malay Bible translation]. Tijdschrift van het Delftsch Instituut, 171-83.
Wolters, O.W. (1999). History, culture, and region in Southeast Asian perspectives. Singapore: Cornell University Southeast Asia Program Publications. hlm. 33. 
Wolters, O.W. (2017). Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII. Jakarta: Komunitas Bambu.





[1] Disampaikan pada Kajian Daring (Kadar) Balai Bahasa Sumatera Utara, dengan tema “Bedah Legenda Barus: Bahasa dan Sastra Pembentuk Karakter Anak Bangsa”, Rabu, 6 Mei 2020, pukul 10.00-12.00 WIB melalui Aplikasi Pertemuan Webex.
[2] Peneliti Ahli Muda, Bidang Linguistik Terapan, Balai Bahasa Sumatera Utara, Kemendikbud