NILAI BUDAYA DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM CERITA
RAKYAT SUMATERA UTARA:
Suatu Kajian Model Skema Aktan dan Skema
Fungsi Greimas
Sahril
Balai Bahasa
Provinsi Sumatera Utara
Abstrak
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi secara objektif tentang nilai budaya.
Cerita rakyat sebagai salah satu sastra lisan yang turun-temurun dan mengandung
amanat yang mendidik untuk generasi berikutnya cerita rakyat merupakan suatu
cerita khayal dan fantasi yang kejadiannya tidak benar-benar terjadi.
Kejadian-kejadian yang diceritakan dalam cerita rakyat cenderung sebagai
pelajaran tingkah laku. Cerita rakyat selalu menyelipkan unsur nasihat dan
moral bagi pendengarnya. Cerita rakyat diceritakan terutama untuk hiburan,
melukiskan kebenaran moral, dan berisikan pelajaran berharga, atau bahkan
sindiran terhadap ketidakadilan. Teori yang digunakan sebagai dasar
pengembangan instrumen adalah teori sastra lisan dan dongeng Aarne dan Stith
Thomson, James Danandjaja, dan teori tentang nilai budaya Kluckhohn. Di samping
itu teori struktural juga dipakai untuk melihat struktur cerita rakyat. Data
penelitian ini adalah cerita rakyat Sumatera Utara yang terdiri atas empat
cerita rakyat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dan pendekatan sosiologis, dengan metode deskriptif, dan teknik
analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua belas nilai
budaya dalam cerita rakyat Sumatera Utara.
Kata kunci: nilai budaya, Sumatera Utara, cerita rakyat.
ABSTRACT
This study aims to obtain an objective description of cultural values. Folklore as one of the oral literature of hereditary and contain a mandate to educate the next generation of folklore is an imaginary and fantasy stories that happened did not really happen. The events are recounted in folklore as lessons tend behavior. Folklore always tuck advice and moral element to the listener. Folklore is told primarily for entertainment, illustrate moral truths, and contains valuable lessons, or even satire against injustice. Theory is used as the basis for the development of the instrument is the theory of oral literature and fairy tale Aarne and Stith Thompson, James Danandjaja, and theories about cultural values Kluckhohn. In addition, the structural theory is also used to look at the structure of folklore. The data of this study is the folklore of North Sumatra which consists of four folklore. The approach used in this study is a qualitative approach and a sociological approach, with descriptive methods, and techniques of content analysis. The results showed that there were twelve cultural values in the folklore of North Sumatra.
Keywords: cultural values, North
Sumatra, folklore.
A.
Pendahuluan
Cerita
rakyat dalam kajian ilmu folklore,
cerita rakyat atau dalam pengertian besar folklor dijelaskan William R. Bascom
(dalam Danandjaja, 2007)[i]
dibagi dalam tiga golongan besar yaitu: mitos, legenda, dan dongeng. Sejak
dahulu hingga saat ini cerita rakyat yang ada dan berkembang di masyarakat
adalah cerita yang diwariskan secara turun temurun dari generasi sebelumnya,
maka tidak menutup kemungkinan apabila suatu kejadian ataupun kisah yang
dialami pada saat ini, diceritakan kembali secara berulang-ulang telah menjadi
bagian yang tak bisa terpisahkan dari sekelompok masyarakat, sehingga menjadi
cerita rakyat di masa yang akan datang.
Di
dalam cerita rakyat dari berbagai daerah terdapat kesamaan pada
kesatuan-kesatuan cerita (tale types) atau unsur-unsur kesatuan cerita (tale
motifs). Peran penting cerita rakyat terletak pada kemampuannya
mengkomunikasikan tradisi, pengetahuan, serta adat istiadat, atau menguraikan
pengalaman-pengalaman manusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi
sosial. Hal ini dapat membuat seseorang dapat mengenal dan mempelajari kebudayaan
lain yang berada di sekitarnya.
Hingga
saat ini, cerita rakyat menghadapi tantangan untuk tetap tumbuh dan berkembang
di masyarakat, serta beberapa tantangan untuk berinovasi terutama dalam cara
penyajian untuk bersaing dengan cerita-cerita fiksi dari luar negeri. Selain
itu, tantangan tersebut juga datang dari derasnya arus informasi yang membuat
persaingan cerita rakyat yang ada di Indonesia dengan cerita luar negeri
menjadi begitu ketat. Banyak orangtua yang telah meninggalkan budaya untuk
menceritakan dongeng sebelum tidur yang sarat akan muatan lokal dan nilai-nilai
luhur dengan alasan sibuk. Hal ini tanpa disadari sedikit demi sedikit telah
membuat anak-anak lupa akan tokoh-tokoh cerita dari budaya yang dekat dengan
mereka.
Cerita
rakyat adalah gambaran otentitas masyarakat yang mencerminkan perilaku dan
budaya masyarakat setempat. Cerita rakyat yang merupakan bagian dari budaya
Indonesia yang harus tetap dilestarikan, tentunya dengan penyesuaian dengan
budaya terkini terutama dalam cara penyampaian agar bisa tetap diminati oleh
anak-anak Indonesia sebagai sarana pembelajaran budaya dan nilai-nilai kearifan
lokal.
Penyampaian
cerita rakyat sesuai fungsinya haruslah dibarengi dengan penekanan- penekanan
tertentu. Hal ini menjadi perlu dilakukan agar kandungan nilai moral yang ada
dalam cerita rakyat dapat ditangkap oleh anak. Sehingga tidak hanya menjadi
hiburan semata namun juga sebagai sarana pembelajaran untuk mengenal budaya
setempat tempat mereka tinggal. Tentunya dengan memilah-milah cerita mana yang
sesuai dengan usia sang anak. Beragam cerita dari luar negeri dapat dengan
cepat diakses, hal itu patut juga dikenalkan kepada anak agar mereka tahu
keragaman budaya terutama yang ada di luar ruang lingkup mereka. Maka dari itu,
sangatlah penting membentuk pondasi tentang nilai-nilai kebudayaan terhadap
anak-anak Indonesia agar mereka tidak lupa akan kebudayaan yang mereka miliki,
khususnya budaya lisan melalui cerita rakyat.
Dimulai
dengan ruang lingkup terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Bagi anak-anak
mendengarkan dongeng atau cerita yang diceritakan oleh orang tuanya dapat
menjadi petualangan imajinasi yang sangat seru, mengingat dunia imajinasi anak
yang sangat luas. Selain sebagai sarana untuk mendekatkan hubungan antara orang
tua dan anak, interaksi dalam bercerita juga bisa menjadi sarana pelajaran
untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak tanpa terkesan menggurui, yang
dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi yang mendengar.
Dalam
budaya teks dan budaya audio visual yang modern dan canggih, tradisi lisan pada
saat ini menghadapi tantangan untuk melakukan inovasi dan kreasi terhadap
cerita rakyat. Dengan era informasi yang sudah demikian berkembang seperti
sekarang. Fakta bahwa anak-anak lebih menggemari cerita dari komik atau film
kartun Jepang misalnya, menandakan bahwa cerita dari luar negeri begitu
ekspansif.
Keluarga
ataupun orang tua haruslah menyadari pentingnya mengenalkan kembali cerita
rakyat Indonesia kepada anak-anak mereka agar cerita rakyat Indonesia yang
keberdaannya pada zaman modern ini tidak dianggap sebagai mitos lama, khayalan
klise, atau dongeng yang ketinggalan zaman oleh anak-anak di zaman sekarang
yang seleranya telah berubah dan lebih beragam karena arus informasi yang
mereka terima begitu deras di era globalisasi saat ini.
Semakin
ekspansifnya cerita dari luar negeri saat ini, cerita rakyat Indonesia
menghadapi beberapa permasalahan, antara lain adalah:
-
Berkurangnya
peran orang tua sebagai mediator kepada anak-anaknya untuk menceritakan cerita
rakyat sebagai alat pengenalan terhadap budaya.
-
Cerita
rakyat Indonesia bersaing dengan cerita fiksi luar negeri yang lebih ekspansif
sehingga tokoh-tokoh cerita tersebut lebih diminati oleh anak-anak saat ini.
Dari
masalah serta fenomena yang ada, dalam penelitian ini maka dirumuskan
permasalahan yaitu:
1)
Bagaimana
struktur cerita rakyat Sumatera Utara berdasarkan model
skema aktan dan skema fungsi dari Greimas?
2)
Nilai
budaya apa saja yang terkandung di dalam cerita rakyat Sumatera Utara?
Tujuan
akhir dari penelitian ini adalah untuk menemukan nilai budaya cerita rakyat Sumatera
Utara melalui model skema aktan dan skema fungsi dari
Greimas.
B.
Landasan Teori
Sebagai sebuah
karya sastra, sastra lisan memiliki unsur-unsur sastra, seperti struktur yang meliputi
fakta cerita (alur, tokoh, dan latar) dan tema. Dalam menganalisis alur,
peneliti mencoba menganalisis dengan model skema aktan dan skema fungsi dari
Greimas. Skema tersebut menjadikan karya sastra terwujud dalam
tindakan-tindakan tokoh. Sementara fakta cerita lainnya, peneliti mencoba
dengan teori struktur faktual yang dikemukakan Stanton.
Struktur dalam
karya sastra memiliki peranan penting. Salah satu pentingnya struktur adalah
menjadi pembentuk suatu karya, dalam prosa misalnya. Seperti yang dituliskan
Kurniawan (2009: 67)[ii], bahwa struktur merupakan
suatu konstruksi yang abstrak dan terdiri atas unsur-unsur saling berkaitan
dalam suatu susunan. Dengan demikian, setiap karya sastra senantiasa terbentuk
atas struktur yang menjadikannya hidup dan menarik bagi penikmat sastra. Hal
itu disebabkan unsur-unsur yang membangun karya sastra menjadi saling
berkaitan. Unsur-unsur pembangun karya sastra tersebut menurut Stanton (2007:
22--37)[iii]
di antaranya adalah fakta-fakta cerita yang meliputi alur; karakter (tokoh);
dan latar; dan tema. Ketiga fakta cerita tersebut menjadi unsur yang padu dalam
membangun suatu karya sastra, yang pada hakikatnya dapat juga menggambarkan isi
kehidupan dengan adanya tokoh sebagai pelaku; ruang dan waktu sebagai latarnya;
dan alur sebagai rangkaian kehidupan yang dilalui tokoh dari satu ruang ke
ruang lainnya. Sementara tema dalam cerita, berhubungan atau sejajar dengan
makna pengalaman manusia sehingga mudah diingat.
Aktan
merupakan pelaku tindakan, dan tidak sama dengan tokoh. Analisis tokoh lebih
menekankan pada sifat dan ciri lainnya pada tokoh, sedangkan analisis aktan
lebih pada mengemukakan tindakan-tindakan tokoh (Greimas dalam Zaimar, 2008:
327)[iv].
Oleh karena itu, dalam model analisis dengan skema aktan dan skema fungsi ini
lebih pada analisis alur cerita rakyat. Hal itu dapat dilihat dari fokus aktan
pada tindakan-tindakan tokoh yang merujuk pada alur cerita.
Berikut ini skema aktan Greimas
(dalam Zaimar, 2008: 327).
Pengirim → Objek →Penerima
↑
Penolong → Subjek ← Penentang
Bagan: Skema Aktan Greimas
Dalam aktan pun tidak hanya berupa
tindakan manusia, tetapi bisa juga makhluk lain, benda mati, dan sesuatu yang
abstrak seperti cinta. Dalam bagan skema aktan tergambar adanya pengirim sebagai pemilik karsa dan dapat
mendorong subjek untuk melakukan
tindakan mencari objek yang akan
diserahkan kepada penerima. Usaha subjek ini pun mendapat beragam
rintangan dari penentang. Namun
demikian, biasanya ada penolong
sebagai solusinya.
Berikut ini
skema fungsi Greimas yang merupakan kelanjutan dari skema aktan di atas.
Tabel 1: Skema Fungsi Greimas
Situasi Awal
|
Transformasi
|
Situasi
Akhir
|
||
Cobaan Awal
|
Cobaan Utama
|
Tahap
Kegemilangan
|
||
Skema fungsi
itu memperlihatkan tahapan-tahapan yang dilalui dan menampilkan cerita dari
sisi aktan-subjek mulai dari awal sampai akhir, tentunya dengan tiga tahap
transformasi yang dilalui (cobaan awal, cobaan utama, dan tahap kegemilangan).
Aktan-subjek bisa saja mencapai kegemilangan, begitu pun sebaliknya (Greimas
dalam Zaimar, 2008: 327--328).
Nilai budaya
biasanya mendorong suatu pembangunan spiritual, seperti tahan menderita,
berusaha dan bekerja keras, toleransi terhadap pendirian atau kepercayaan orang
lain, dan gotong-royong (Djamaris, 1994: 6)[v].
Dengan demikian, nilai budaya tersebut dapat dimanfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari karena masih sesuai dengan kehidupan kekinian.
Selain itu,
nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam
pikiran sebagian besar dari masyarakat yang dianggapnya bernilai, berharga, dan
penting dalam hidup sehingga menjadi pedoman pada kehidupannya
(Koentjaraningrat, 2009: 153)[vi].
Dengan demikian, nilai budaya dapat menjadikan tumbuhnya nilai-nilai baik bagi
diri sendiri dan yang lainnya, seperti berusaha; bekerja keras; toleransi; dan
gotong royong. Hal itu menjadikan nilai budaya bermanfaat sebagai pedoman dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragam macam budayanya.
Pendidikan
karakter bukan sesuatu hal yang baru. Pada hakikatnya pendidikan karakter telah
dilakukan manusia dengan cara yang berbeda-beda. Pendidikan karakter pun pada
prinsipnya tidak diajarkan, tetapi dibiasakan; harus bersama-sama baik pendidik
maupun peserta didik; harus diciptakan lingkungan yang kondusif; dan harus
terus menerus berproses (Mulyana, 2010:4)[vii].
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter berpusat pada
pembinaan hal yang baik dan benar terhadap pribadi peserta didik melalui
keteladanan bersama. Hal itu diharapkan pendidikan karakter tumbuhnya manusia
yang berkepribadian mulia.
Dalam penelitian
ini, nilai-nilai budaya yang digali dari cerita rakyat akan dicari kontribusi
atau kaitannya terhadap konsep pendidikan karakter yang telah dibahas di atas,
kemudian akan dijadikan bahan ajar sastra serta proses pembelajarannya dengan
memanfaatkan keunggulan lokal dari cerita rakyat sebagai wahana mendidik.
C.
Metode
Penelitian
Dalam penelitian cukup banyak metode
yang dikenal, akan tetapi penggunaan suatu metode harus sesuai dengan objek
penelitian dan tujuan penelitian. Adapun jenis metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif dan kualitatif.
Data dalam penelitian ini adalah
struktur instrinsik cerita rakyat. Sedangkan yang menjadi sumber data adalah
cerita rakyat Sumatera Utara, yaitu: cerita rakyat dari etnis Karo, cerita
rakyat dari etnis Pakpak, cerita rakyat dari etnis Simalungun, dan cerita
rakyat dari etnis Nias.
Sesuai dengan sifat penelitian ini yaitu
penelitian kualitatif, maka peneliti melakukan analisis terhadap data-data yang
ada dengan mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep
yang dikaji secara khusus (Semi, 1993)[viii].
Langkah-langkah dalam menganalisis
cerita rakyat Sumatera Utara adalah sebagai berikut:
1.
Tahap
deskripsi yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan persoalan
setelah itu dilakukan tahap pendeskripsian. Karena, dalam penelitian ini data
yang terkumpul berupa satuan semantis seperti kata-kata, frasa, klausa,
kalimat, dan paragraf, juga gambar, dan hasilnya berupa kutipan-kutipan dari
kumpulan data tersebut yang berisi tindakan, pikiran, pandangan hidup, konsep,
ide, gagasan yang disampaikan pengarang/pencerita melalui cerita yang
disampaikan.
2.
Tahap
klasifikasi: data-data yang telah dideskripsikan kemudian dikelompokkan menurut
kelompoknya masing-masing sesuai dengan permasalahan yang ada.
3.
Tahap
analisis: data-data yang telah diklasifikasikan menurut kelompoknya
masing-masing dianalisis menurut struktur kemudian dianalisis lagi dengan
pendekatan strukturalisme.
4.
Tahap
interpretasi data: upaya penafsiran dan pemahaman terhadap hasil analisis data.
5.
Tahap
evaluasi: data-data yang sudah dianalisis dan diinterpretasikan sebelum ditarik
kesimpulan begitu saja. Data-data harus diteliti dan dievaluasi agar dapat
diperoleh penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
6.
Penarikan
Simpulan: Penelitian ini akan disimpulkan dengan teknik induktif yaitu
penarikan kesimpulan berdasarkan dari pengetahuan yang bersifat khusus, untuk
menentukan kesimpulan yang bersifat umum.
D.
Pembahasan dan
Analisis Data
1. Skema Aktan dan Fungsi Greimas
Cerita Rakyat Karo
Sesuai dengan
skema aktan dan fungsi greimas sebagaimana yang dipaparkan Greimas (dalam
Zaimar, 2008: 327). Oleh karena itu, dalam cerita rakyat Beru Sibou dapat
dilukiskan skemanya sebagai berikut.
Tabel 2: Skema Fungsi Greimas
Cerita Rakyat Beru Sibou
Situasi Awal
|
Transformasi
|
Situasi
Akhir
|
||
Cobaan Awal
|
Cobaan Utama
|
Tahap
Kegemilangan
|
||
Kehidupan satu keluarga yang memiliki dua orang
anak yaitu Tare Iluh sebagai abang dan Beru Sibou sebagai adik, mereka
tinggal di suatu desa
|
-
Meninggalnya ayah mereka
-
Meninggalnya ibu mereka
-
Mereka diasuh oleh bibi mereka
|
-
Tare Iluh pergi merantau
-
Tare Iluh bermain judi
-
Tare Iluh terlilit utang
-
Tare Iluh dipasung
|
-
Beru Sibou pergi mencari Tare
Iluh
-
Beru Sibou memanjat pohon
|
Beru Sibou menjelma menjadi pohon enau
|
Berdasarkan
skema aktan Greimas, pengirim dalam
cerita rakyat ini adalah situasi awal, yaitu keluarga Tare Iluh. Subjek yang melakukan tindakan adalah
Tare Iluh dan Beru Sibou yang mendapat berbagai masalah atau rintangan. Posisi penantang adalah masyarakat yang tidak
bisa menerima prilaku Tare Iluh. Akhir cerita datang penolong, yaitu Beru Sibou yang menjelma menjadi pohon enau.
Di dalam cerita rakyat Karo Beru Sibou, ditemukan, empat elemen alur, sebagaimana menurut
Klarer (1998: 42)[ix],
yaitu exposition, complication, climax, dan resolution.
Exposition, adalah elemen
di mana suatu cerita dimulai untuk memperkenalkan kondisi yang ada pada saat
itu dan tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Pada cerita rakyat Beru Sibou, dikisahkan kehidupan
keluarga Beru Sibou bersama abangnya Tare Iluh dan kedua orang tuanya.
Selanjutnya cerita beranjak pada complication,
yakni merupakan suatu indikasi permasalahan yang mulai dan akan muncul dalam
cerita. Dalam cerita rakyat Beru Sibou
dikisahkan, pertama meninggalnya ayah
Beru Sibou, kemudian meninggalnya ibu Beru Sibou, kedua bersaudara ini yaitu
Beru Sibou dan Tare Iluh diasuk oleh bibinya, dilanjutkan dengan Tare Iluh
pergi merantau.
Climax, adalah
ketika dimana si tokoh utama menghadapi atau mendapatkan permasalahan yang
serius dan rumit; lalu sang tokoh diharuskan memecahkan masalah yang
dihadapinya. Dalam cerita rakyat Beru
Sibou dikisahkan bagaimana kondisi Tare Iluh di perantauan, yaitu Tare Iluh suka bermain judi, karena selalu
kalah Tare Iluh berutang sama orang lain, kemudian karena Tare Iluh tidak bisa
membayar utangnya, Tare Iluh dipasung oleh masyarakat di tempat dia merantau.
Karena tidak ada kabar berita dari abangnya, maka Beru Sibou pergi menyusul
untuk mencari abangnya Tare Iluh.
Resolution, adalah
ketika si tokoh berhasil mengatasi masalah yang ada atau masalah yang timbul
berangsur-angsur selesai dan kondusif. Dalam cerita rakyat Beru Sibou dikisahkan bagaimana Beru Sibou mencari abangnya,
kemudian bertemu dengan seorang tua dan menanyakan kondisi abangnya. Si orang
tua menyuruh Beru Sibou memanjat pohon. Beru Sibou memanjat pohon dan bernyanyi
sambil memanggil abangnya Tare Iluh. Akan tetapi usahanya itu sia-sia, akhirnya
Beru Sibou menjelma menjadi pohon enau.
Sebagaimana menurut Perrine (1987: 42)[x],
ada dua watak tokoh yang bisa didefinisikan yaitu tokoh dengan watak
protagonis dan antagonis. Dalam cerita rakyat Beru Sibou, watak protagonis diperankan oleh Beru Sibou dan watak
antagonis diperankan oleh Tare Iluh.
Kedua tokoh di atas merupakan saudara kandung, yang
semenjak kecil ditinggal mati kedua orang tuanya. Mereka diasuh oleh bibi
mereka sampai dewasa. Kedua bersaudara ini saling kasih sayang antara abang dan
adiknya. Karakter Tare Iluh sebagai abang dari Beru Sibou, sangat bertanggung
jawab terhadap adiknya, dia mempunyai ambisi ingin membahagiakan adiknya,
tetapi ambisinya ingin cepat kaya dengan cara bermain judi.
Karakter Beru Sibou adalah sebagai adik yang sangat
menyayangi abangnya. Ia rela mengorbankan raga dan nyawanya demi menyelamatkan
abangnya.
Menurut
Stanton (2007: 35), latar dapat dibagi menjadi latar tempat (ruang) dan waktu
terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Berdasarkan pendapat tersebut, latar
dalam cerita rakyat Beru Sibou yaitu
terjadi di suatu desa yang terletak di Tanah Karo, sementara latar waktu,
sebagaimana cerita rakyat yang bersifat legenda terjadi pada masa lampau dan
tidak ada keterangan waktu yang pasti.
Menurut
(Esten, 1987:22)[xi], (Kusdiratin, 1985:59)[xii],
(Sudjiman, 1992:51)[xiii],
(Aminuddin, 1984:91)[xiv],
dan (Ginarsa, 1985:5)[xv], Tema
merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra, berupa masalah
yang menjadi pokok pembicaraan atau yang menjadi inti topik dalam suatu
pembahasan, sebagai gagasan yang mendasari
karya sastra, ide yang mendasari suatu cerita, merupakan makna karya sastra
secara keseluruhan.
Berdasarkan
pendapat di atas mengenai tema dan rangkaian cerita, yaitu dikisahkan ada dua
tokoh sentral yaitu Beru Sibou dan Tare Iluh. Maka dapat ditemukan temanya,
yaitu “Pengorbanan demi persaudaraan”. Tema ini ditunjukkan oleh tokoh Beru
Sibou, di mana dia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi membebaskan abangnya
dari pasungan masyarakat, karena dia terlilit utang akibat permainan judi.
2.
Skema
Aktan dan Fungsi Greimas Cerita Rakyat Pakpak
Sesuai dengan
skema aktan dan fungsi greimas sebagaimana yang dipaparkan Greimas (dalam
Zaimar, 2008: 327). Oleh karena itu, dalam cerita rakyat Puteri Raja dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh dapat
dilukiskan skemanya sebagai berikut.
Tabel 3: Skema Fungsi Greimas
Cerita Rakyat
Puteri
Raja dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh
Situasi Awal
|
Transformasi
|
Situasi
Akhir
|
||
Cobaan Awal
|
Cobaan Utama
|
Tahap
Kegemilangan
|
||
- Pemuda
pergi menuju suatu desa, yang dihuni banyak masyarakat, dipimpin seorang raja
yang arif dan bijaksana.
- Raja
negeri itu mempunyai seorang puteri yang cantik dan rupawan, baik tutur
katanya.
- Di
pinggir desa mengalir sebuah sungai yang menjadi tempat pemandian puteri
raja.
- Suatu
hari sampailah pemuda yang berkelana tadi di sebuah muara sungai, yang
mempunyai tiga cabang arah sungai. Salah satu cabang airnya merah dan di
tengah airnya keruh dan banyak buih-buih menandakan adanya yang mandi di di
hulu sungai.
- Si
pemuda pun memutuskan mengikuti arus sungai yang di tengah.
- Si
pemuda bersembunyi di tempat tersebut.
- Putri
raja datang untuk mandi, ditemani oleh dayang-dayangnya.
|
- Si
pemuda keluar dari tempat sembunyian-nya dan putri terkejut.
- Esok
paginya seperti biasanya putri raja pun pergi ke tempat pemandiannya tapi
alangkah terkejutnya putri raja melihat pemuda kemarin sudah ada di situ
duduk memainkan serulingnya dengan merdu.
|
- Sang
putri mengajak pemuda ke tempat orang tuanya.
- Sang
raja menjamu pemuda tersebut di istana dengan meriah, dan memperkenal-kan
dengan permaisuri serta pejabat negeri tersebut.
- Raja
mengizinkan pemuda tersebut tinggal di negeri itu
|
- Raja
menjodohkan putrinya dengan pemuda itu.
- Raja
menghadiahi banyak harta berupa sawah, rumah bahkan pengawal dan
dayang-dayang.
- Sifat
menantu raja berubah, suka peminum dan suka berfoya-foya serta penjudi.
- Putri
raja mengambil keputusan dan memanggil burung peliharaannya.
- suaminya
memainkan seruling.
- Putri
sempat bimbang dan sampai tiga kali hinggap di pohon.
|
Sang putri pun terbang bersama burung
peliharaannya dan tak pernah kembali dan tinggallah suamiya dengan penyesalan
yang terlambat.
|
Melalui skema
aktan Greimas, cerita rakyat ini dapat dilukiskan sebagai berikut. Pengirim dalam adalah tokoh pemuda yang pergi merantau.
Sementara yang menjadi subjek sekaligus
sebagai posisi penerima yaitu
kehidupan rumah tangga tokoh pemuda dengan putri raja. Posisi penantang adalah putri raja yang tidak
menerima tabiat dari suaminya. Di akhir cerita datang penolong, yaitu Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh, yang membawa
dan menyelamatkan tokoh putri raja dari kehidupan tokoh pemuda.
Di dalam cerita rakyat Pakpak Puteri Raja dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh, ditemukan,
empat elemen alur, sebagaimana menurut Klarer (1998: 42), yaitu exposition,
complication, climax, dan resolution.
Exposition, adalah elemen
di mana suatu cerita dimulai untuk memperkenalkan kondisi yang ada pada saat
itu dan tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Pada cerita rakyat dari Pakpak
ini dikisahkan bahwa kondisi kehidupan
si Pemuda yang pergi merantau kemudian bertemu dengan sebuah sungai yang
bercabang tiga. Lalu si Pemuda menyusuri salah satu cabang sungai yang airnya
keruh, karena diyakini bahwa di hulu sungai itu ada kehidupan manusia. Di sisi
lain, dikisahkan juga tentang Putri Raja yang cantik itu mandi di tempat pemandiannya. Dilanjutkan
dengan kisah pertemuan si pemuda dengan si putri raja, cerita beranjak
pada complication, yakni merupakan
suatu indikasi permasalahan yang mulai dan akan muncul dalam cerita, yakni
kisah si Pemuda yang diizinkan dan diterima oleh raja untuk tinggal di negeri
si Putri dengan upaca perkenalan yang meriah. Raja menghadiahi harta untuk si pemuda. Kemudian si pemuda nikah dengan
putri raja. Selanjutnya, ternyata tabiat si pemuda ketahuan oleh si itrinya,
yaitu suka berfoya-foya, minum-minuman keras, dan suka berjudi.
Climax, adalah
ketika dimana si tokoh utama menghadapi atau mendapatkan permasalahan yang
serius dan rumit; lalu sang tokoh diharuskan memecahkan masalah yang
dihadapinya. Pada cerita rakyat Puteri
Raja dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh dikisahkan Putri raja merasa
kecewa dan sakit hati melihat tingkah laku suaminya dan menjadi putus asa
melihat sifat suaminya. Karena merasa sudah putus asa, Putri memanggil burung
peliharaannya, Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh untuk membawanya pergi dari
kehidupan suaminya itu. Mengetahui bahwa istrinya hendak pergi meninggalkan
dirinya, si Pemuda memainkan seruling
agar istrinya tidak meninggalkannya. Akibatnya, si Putri sempat bimbang dan
menyuruh burungnya untuk hinggap di pohon kelapa, tetapi akhirnya Si putri
tetap pergi meninggalkannya lalu berpesan kepada suaminya, “Suamiku
tercinta, apa boleh buat sudah nasib dan rezeki badan kita berpisah, kala
engkau rindu padaku, carilah nyiur keppal, nyiur gading dan nyiur ijo dan
minumlah airnya sebagai penawar rindumu dan dikala engkau sakit, buatlah
buahnya sebagai obat”.
Resolution, adalah
ketika si tokoh berhasil mengatasi masalah yang ada atau masalah yang timbul berangsur-angsur
selesai dan kondusif. Dikisahkan dalam cerita rakyat Puteri Raja dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh, bahwa si putri tetap pergi meninggalkan suaminya, sang
putri terbang bersama burung peliharaannya dan tak pernah kembali dan tinggallah
si pemuda dengan penyesalan yang terlambat.
Sebagaimana
menurut Perrine (1987: 42), ada
dua watak tokoh yang bisa didefinisikan yaitu tokoh dengan watak protagonis dan
antagonis. Dalam cerita rakyat Puteri
Raja dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh, watak protagonis diperankan oleh
Putri Raja yang menjadi istri si Pemuda dan watak antagonis diperankan oleh si
Pemuda yang menadi suami Putri Raja.
Karakter Putri
Raja adalah seorang istri yang baik, menghormati dan menyayangi suaminya.
Bahkan sampai di saat sudah putus tekadnya untuk meninggalkan suaminya ia masih
berpesan, “Suamiku tercinta, apa boleh buat sudah nasib dan rezeki badan kita
berpisah, kala engkau rindu padaku, carilah nyiur keppal, nyiur gading dan
nyiur ijo dan minumlah airnya sebagai penawar rindumu dan dikala engkau sakit,
buatlah buahnya sebagai obat”.
Sementara
karakter Si Pemuda adalah suka berfoya-foya, bermain judi, dan minum-minuman
keras, tidak peduli terhadap keluarganya.
Menurut
Stanton (2007: 35), latar dapat dibagi menjadi latar tempat (ruang) dan waktu
terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Berdasarkan pendapat tersebut, latar
dalam cerita rakyat Puteri Raja dan
Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh yaitu terjadi di suatu desa, sungai,
tempat pemandian, istana, dan pohon kelapa. Sementara latar waktu, sebagaimana
cerita rakyat yang bersifat legenda terjadi pada masa lampau dan tidak ada
keterangan waktu yang pasti.
Menurut
(Esten, 1987:22), (Kusdiratin, 1985:59), (Sudjiman, 1992:51),
(Aminuddin, 1987:91), dan (Ginarsa, 1985:5), Tema
merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra, berupa masalah
yang menjadi pokok pembicaraan atau yang menjadi inti topik dalam suatu
pembahasan, sebagai gagasan yang mendasari
karya sastra, ide yang mendasari suatu cerita, merupakan makna karya sastra
secara keseluruhan.
Berdasarkan
pendapat di atas mengenai tema dan rangkaian cerita, yaitu dikisahkan ada dua
tokoh sentral yaitu Si Pemuda dan Si Putri. Maka dapat ditemukan temanya, yaitu
“Penyesalan yang datang terlambat”. Tema ini ditunjukkan oleh tokoh Si Pemuda,
di mana dia sangat menyesal telah berbuat tidak baik, sehingga istrinya
tercinta pergi meninggalkan dirinya.
3.
Skema
Aktan dan Fungsi Greimas Cerita Rakyat Simalungun
Sesuai dengan
skema aktan dan fungsi greimas sebagaimana yang dipaparkan Greimas (dalam
Zaimar, 2008: 327). Oleh karena itu, dalam cerita rakyat Putri Ular dapat dilukiskan skemanya sebagai berikut.
Tabel 4: Skema Fungsi Greimas
Cerita Rakyat Putri Ular
Situasi Awal
|
Transformasi
|
Situasi
Akhir
|
||
Cobaan Awal
|
Cobaan Utama
|
Tahap
Kegemilangan
|
||
Kisah tentang kecantikan seorang putri, kecantikan
putri ini sampai terkabar kepada seorang Raja Muda yang tampan. Raja Muda
berkeinginan menjadikan sang putri
menjadi permaisurinya.
|
-
Raja Muda mengutus rombongan untuk meminang putri
yang cantik itu.
-
Rombongan Raja Muda diterima oleh raja, ayah si
putri yang cantik.
|
- Sang
Raja menerima pinangan Raja Muda dan direncanakan dua belan setelah pinangan
ini akan diadakan upacara perkawinan dengan meriah.
- Rombongan
Raja Muda pulang ke negerinya.
|
- Sang
Putri bersama dayang-dayangnya mandi di tempat pemandian sang Putri.
- Sehabis
mandi, sang Putri berjemur dengan duduk di atas batu dekat pemandian itu.
- Tiba-tiba
datang angin yang kencang dan membuat sebuah ranting yang kering jatuh tepat
menimpa hidung sang Putri.
- Hidung
sang Putri sompel.
- Sang
Putri merasa bersalah tidak bisa menjaga amanah orang tuanya dan juga takut
kalau Raja Muda tidak jadi menikahinya,
|
- Sang
Putri berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, agar dirinya dihukum.
- Akhirnya
doa sang Putri dikabulkan Tuhan.
- Sang
Putri berubah menjadi seekor ular.
|
Cerita rakyat
Putri Ular memiliki skema aktan Greimas, yaitu pengirim kecantikan seorang putri, yang menjadi objek, sehingga tokoh raja muda sebagai penerima. Subjek adalah situasi kegundahan putri karena mendapat rintangan
atas bencana yang menimpa dirinya. Posisi penantang
adalah putri sendiri yang tidak bisa menerima keadaan atas petaka yang menimpa
dirinya. Penolong, yaitu saat putri
diubah menjadi seekor ular, karena permintaannya sendiri kepada Yang Maha
Kuasa.
Di dalam cerita rakyat Simalungun Putri Ular, ditemukan, empat elemen alur, sebagaimana menurut
Klarer (1998: 42), yaitu exposition, complication, climax, dan resolution.
Exposition, adalah elemen
di mana suatu cerita dimulai untuk memperkenalkan kondisi yang ada pada saat
itu dan tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Pada cerita rakyat Putri Ular, kisah diawali tentang
kecantikan seorang putri, kecantikan putri ini sampai terkabar kepada seorang
Raja Muda yang tampan. Raja Muda berkeinginan menjadikan sang putri menjadi permaisurinya. Selanjutnya
cerita beranjak pada complication,
yakni merupakan suatu indikasi permasalahan yang mulai dan akan muncul dalam
cerita. Dalam cerita rakyat Putri Ular.
Dikisahkan, persiapan rombongan dari kerajaan Raja Muda untuk meminang putri
yang cantik itu. Rombongan Raja Muda diterima oleh raja, ayah si putri yang
cantik. Sang Raja menerima pinangan Raja Muda dan direncanakan dua belan
setelah pinangan ini akan diadakan upacara perkawinan dengan meriah. Rombongan
Raja Muda pulang ke negerinya.
Climax, adalah
ketika dimana si tokoh utama menghadapi atau mendapatkan permasalahan yang
serius dan rumit; lalu sang tokoh diharuskan memecahkan masalah yang
dihadapinya. Dalam cerita rakyat Putri
Ular dikisahkan sang Putri bersama dayang-dayangnya mandi di tempat
pemandian sang Putri. Sehabis mandi, sang Putri berjemur dengan duduk di atas
batu dekat pemandian itu. Tiba-tiba datang angin yang kencang dan membuat
sebuah ranting yang kering jatuh tepat menimpa hidung sang Putri. Hidung sang
Putri sompel.
Resolution, adalah
ketika si tokoh berhasil mengatasi masalah yang ada atau masalah yang timbul
berangsur-angsur selesai dan kondusif. Dalam cerita rakyat Putri Ular dikisahkan karena sang Putri merasa bersalah tidak bisa
menjaga amanah orang tuanya dan juga takut kalau Raja Muda tidak jadi
menikahinya, maka dia berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, agar dirinya dihukum.
Akhirnya doa sang Putri dikabulkan Tuhan. Sang Putri berubah menjadi seekor ular.
Sebagaimana
menurut Perrine (1987: 42), ada
dua watak tokoh yang bisa didefinisikan yaitu tokoh dengan watak protagonis dan
antagonis. Dalam cerita rakyat Putri Ular,
yang muncul hanyalah satu tokoh saja yang berperan yaitu tokoh Putri Raja.
Putri Raja ini memiliki wajah yang sangat cantik, tetapi dia mudah berputus
asa. Saat hidungnya luka dan sompel akibat ditimpa ranting kayu yang jatuh, dia
putus asa. Lalu memohon kepada Tuhan untuk member hukuman pada dirinya, karena
telah melanggar amanah kedua orangtuanya. Dia juga memiliki karakter yang cepat
merasa malu. Dia merasa malu apabila nanti dilihat oleh Raja Muda bahwa
wajahnya tidak cantik lagi.
Menurut
Stanton (2007: 35), latar dapat dibagi menjadi latar tempat (ruang) dan waktu
terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Berdasarkan pendapat tersebut, latar
dalam cerita rakyat Putri Ular yaitu
terjadi di suatu kerajaan, tetapi tidak disebutkan nama dan di mana tempat
kerajaan itu bertahta. Sementara latar waktu, sebagaimana cerita rakyat yang
bersifat legenda terjadi pada masa lampau dan tidak ada keterangan waktu yang
pasti.
Menurut
(Esten, 1987:22), (Kusdiratin, 1985:59), (Sudjiman, 1992:51),
(Aminuddin, 1987:91), dan (Ginarsa, 1985:5), Tema
merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra, berupa masalah
yang menjadi pokok pembicaraan atau yang menjadi inti topik dalam suatu
pembahasan, sebagai gagasan yang mendasari
karya sastra, ide yang mendasari suatu cerita, merupakan makna karya sastra
secara keseluruhan.
Pada cerita
rakyat Putri Ular, dapat disimpulkan
bahwa temanya adalah “Sifat keputusasaan mengakibatkan penderitaan pada diri
sendiri”. Hal ini dapat dilihat pada
tokoh sentralnya yaitu sang Putri yang cepat merasa putus asa di saat hidungnya
sompel.
4.
Skema
Aktan dan Fungsi Greimas Cerita Rakyat Nias
Sesuai dengan
skema aktan dan fungsi greimas sebagaimana yang dipaparkan Greimas (dalam
Zaimar, 2008: 327). Oleh karena itu, dalam cerita rakyat Dewi Bibit dapat dilukiskan skemanya sebagai berikut.
Tabel 5: Skema Fungsi Greimas
Cerita Rakyat Dewi Bibit
Situasi Awal
|
Transformasi
|
Situasi
Akhir
|
||
Cobaan Awal
|
Cobaan Utama
|
Tahap
Kegemilangan
|
||
Kisah mengenai saudara kembar Siraso dan Silögu
yang merupakan anak dari Raja Balugu Silaride Ana’a di
Teteholi Ana’a.
|
- Siraso
suka mendatangi para petani saat menabur bibit hingga tanaman petani menjadi
subur.
- Silögu
suka mendatangi para petani saat memanen hingga bulir-bulir padi jadi banyak
dan bernas.
|
- Kedua
saudara kembar ini saling menyukai.
- Silögu
berkelana mencari jodoh yang mirip saudaranya, tapi tak berhasil.
- Siraso
diturunkan ayahnya ke bumi.
- Silögu
pulang dan mengetahui Siraso telah meninggal.
|
- Silögu
berjalan ke hulu sungai, dan tiba di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang
wanita yang mirip adik kembarnya. Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip
abang kembarnya.
- Silögu
dan Siraso akhirnya menikah.
|
Setelah menjadi pasangan suami-istri barulah
Silögu dan wanita itu (yang ternyata adalah Siraso) mengetahui bahwa mereka
saudara kembar. Apa boleh buat, Maha Sihai Si Sumber Bayu telah menjodohkan
mereka.
|
Pengirim
adalah situasi awal mengenai saudara kembar Siraso dan Silogu. Subjeknya adalah keinginan saling
memiliki. Dari sini menanjak menuju objek,
yaitu petualangan untuk mencari pasangan hidup. Penerima adalah kehidupan yang saling menunjang dan perhatian
terhadap masyarakat. Dalam perjalanan terjadilah penentang, yaitu keinginan yang kuat untuk saling memiliki dalam
kebersamaan antara saudara kembar. Akhirnya, muncullah penolong, yaitu keizinan dewa untuk bersatunya saudara kembar ini
dalam ikatan suami istri.
Di dalam cerita rakyat Nias Dewi Bibit, ditemukan, empat elemen alur, sebagaimana menurut
Klarer (1998: 42), yaitu exposition, complication, climax, dan resolution.
Exposition, adalah elemen
di mana suatu cerita dimulai untuk memperkenalkan kondisi yang ada pada saat
itu dan tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Pada cerita rakyat Dewi Bibit, kisah diawali dengan Buruti Siraso
(Siraso) adalah putri dari Raja Balugu Silaride Ana’a di Teteholi Ana’a. Balugu
Silaride Ana’a adalah keturunan lebih dari sepuluh setelah Balugu Luo Mewöna.
Siraso memiliki saudara kembar laki-laki bernama Silögu Mbanua (Silögu). Di
Teteholi Ana’a, Siraso rajin mendatangi rakyat saat penaburan bibit sehingga
tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang Silögu gemar mendatangi rakyat saat
panen sehingga bulir-bulir panenan banyak dan bernas. Selanjutnya cerita
beranjak pada complication, yakni
merupakan suatu indikasi permasalahan yang mulai dan akan muncul dalam cerita.
Dalam cerita rakyat Dewi Bibit
dikisahkan, Ketika memilih jodoh, Siraso mengidamkan suami yang mirip
kembarannya, demikian pula Silögu ingin beristri seorang wanita persis Siraso.
Untuk mencari jodohnya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso diturunkan
ayahnya ke muara sungai Oyo. Anak kembar itu dipisah agar tidak terjadi incest
(kawin sumbang). Dari muara sungai Oyo, Siraso meneruskan perjalanan ke hulu,
tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua, dan bermukim di
situ.
Climax, adalah
ketika dimana si tokoh utama menghadapi atau mendapatkan permasalahan yang
serius dan rumit; lalu sang tokoh diharuskan memecahkan masalah yang
dihadapinya. Dalam cerita rakyat Dewi
Bibit dikisahkan setelah setahun berkelana Silögu pulang. Di rantau dia
tidak menemukan idamannya, di Teteholi Ana’a dia juga tidak bertemu
kembarannya. Menurut ayahnya, Siraso telah meninggal dunia. Betapa
gundah-gulana hati Silögu. Akhirnya, Silögu mohon diturunkan ke bumi. Silögu
kebetulan diturunkan di muara sungai Oyo. Dia berjalan ke hulu sungai, dan tiba
di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang wanita yang mirip adik kembarnya.
Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip abang kembarannya.
Resolution, adalah
ketika si tokoh berhasil mengatasi masalah yang ada atau masalah yang timbul
berangsur-angsur selesai dan kondusif. Dalam cerita rakyat Dewi Bibit dikisahkan Dua insan itu akhirnya kawin. Setelah menjadi
pasangan suami-istri barulah Silögu dan wanita itu (yang ternyata adalah
Siraso) mengetahui bahwa mereka saudara kembar. Apa boleh buat, Maha Sihai Si
Sumber Bayu telah menjodohkan mereka.
Sebagaimana
menurut Perrine (1987: 42), ada
dua watak tokoh yang bisa didefinisikan yaitu tokoh dengan watak protagonis dan
antagonis. Dalam cerita rakyat Dewi Bibit,
terdapat dua tokoh yang pada prinsipnya berwatak protagonis, yaitu Buruti
Siraso (perempuan) dipanggil Siraso saja, dan Silögu Mbanua (laki-laki)
dipanggil Silögu. Keduanya adalah saudara kembar anak dari Raja Balugu Silaride
Ana’a di Teteholi Ana’a. Tokoh Siraso rajin mendatangi para petani di saat para
petani itu menanam padi, sehingga tanaman petani menjadi subur. Sementara
Silögu rajin mendatangi para petani di saat mereka sedang memanen hasilnya,
sehingga bulir-bulir panenan banyak dan bernas.
Kedua tokoh ini mempunyai karakter yang
saling suka dan saling mencintai, akan tetapi karena mereka bersaudara kandung,
niat mereka itu dilarang oleh ayah mereka. Berhubung karena penasaran ingin
mencari jodoh mirip dengan saudaranya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso
diturunkan ayahnya ke muara sungai Oyo. Rasa cinta Silögu terhadap saudaranya
terlihat saat ayahnya memberi tahu bahwa Silögu telah meninggal, hatinya
gundah-gulana.
Menurut
Stanton (2007: 35), latar dapat dibagi menjadi latar tempat (ruang) dan waktu
terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Berdasarkan pendapat tersebut, latar
dalam cerita rakyat Dewi Bibit yaitu
terjadi di negeri kayangan, yang bernama Teteholi Ana’a, selanjutnya disebutkan
pula latar di bumi yaitu muara sungai Oyo dan dataran rendah Hiyambanua.
Sementara latar waktu, sebagaimana cerita rakyat yang bersifat mite dan legenda
terjadi pada masa lampau dan tidak ada keterangan waktu yang pasti.
Menurut
(Esten, 1987:22), (Kusdiratin, 1985:59), (Sudjiman, 1992:51),
(Aminuddin, 1987:91), dan (Ginarsa, 1985:5), Tema
merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra, berupa masalah
yang menjadi pokok pembicaraan atau yang menjadi inti topik dalam suatu
pembahasan, sebagai gagasan yang mendasari
karya sastra, ide yang mendasari suatu cerita, merupakan makna karya sastra
secara keseluruhan.
Berdasarkan
kisah yang terdapat dalam cerita rakyat Dewi
Bibit ini ditemukan temanya adalah “Perkawinan sumbang atau incest”. Ini
terlihat dari dua tokoh yang merupakan saudara kembar yaitu Siraso dan Silögu.
Mereka menikah ketika mereka tidak tahu bahwa mereka bersaudara kandung, akan
tetapi setelah mereka sadar bahwa mereka itu bersaudara kandung. Mereka tidak
menyesalinya, karena mereka anggap pernikahan mereka telah disetujui oleh Maha
Sihai Si Sumber Bayu telah menjodohkan mereka.
E.
Nilai
Budaya
1. Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat
Karo
Berdasarkan
kisah yang terkandung pada cerita rakyat Beru
Sibou mengandung nilai-nilai budaya. Di antara nilai budaya yang dapat
dipetik dari cerita di atas adalah;
(1)
sifat
tenggang rasa,
(2) menjunjung
tinggi persaudaraan,
(3)
sifat
suka bermain judi akan mengakibatkan kesengsaraan.
Sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin
pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan
persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma
menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya.
Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah
menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini
patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga nilai
budaya dalam cerita rakyat Beru Sibou ini
termasuk ke dalam sistem nilai budaya yang dikemukakan Kluckhohn (dalam
Koentjaraningrat, 2009:154) bahwa variasi sistem nilai budaya ada lima yaitu:
(1) masalah hakikat hidup manusia; (2) hakikat karya manusia; (3) hakikat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4) hakikat hubungan manusia dengan
alam; dan (5) hakikat hubungan manusia dengan sesamanya.
2.
Nilai
Budaya dalam Cerita Rakyat Pakpak
Berdasarkan
kisah yang terkandung pada cerita rakyat Puteri Raja dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh mengandung
nilai-nilai budaya. Di antara nilai budaya yang dapat dipetik dari cerita di
atas adalah;
(1)
kekayaan
dan tahta membuat manusia lupa diri,
(2)
sifat
yang suka berfoya-foya, meminum minuman keras, dan berjudi akan mendatangkan
kerugian bagi diri sendiri,
(3)
penyesalan
selalu datangnya terlambat.
Nilai-nilai
budaya di atas tercermin pada tokoh si Pemuda yang semula pergi merantau ingin
mengubah nasib hidupnya, tetapi setelah dia mendapatkan harta dan tahta dia
lupa diri. Dia menjadi suka berfoya-foya, mabuk, dan suka berjudi. Begitu juga
saat datangnya penyesalan pada diri tokoh si Pemuda, namun sayangnya penyesalan
itu datangnya terlambat.
Ketiga nilai
budaya dalam cerita rakyat Puteri Raja
dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh ini termasuk ke dalam sistem nilai
budaya yang dikemukakan Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 2009:154) bahwa
variasi sistem nilai budaya ada lima yaitu: (1) masalah hakikat hidup manusia;
(2) hakikat karya manusia; (3) hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu;
(4) hakikat hubungan manusia dengan alam; dan (5) hakikat hubungan manusia
dengan sesamanya.
3.
Nilai
Budaya dalam Cerita Rakyat Simalungun
Berdasarkan kisah
yang terkandung pada cerita
rakyat Puteri
Ular
mengandung nilai-nilai budaya. Di antara nilai budaya yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah;
(1)
sifat
suka bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu,
(2)
menghormati
dan menghargai tamu,
(3)
sifat
jangan cepat berputus asa, karena sifat yang cepat berputus asa akan
mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri.
Nilai budaya pertama diperlihatkan oleh
Raja Muda yang berkeinginan meminang dan mempersunting Putri raja, karena
sebelum mengutarakan niatnya, Raja Muda meminta nasehat dari para pembesar
kerajaan dalam bentuk musyawarah. Sementara nilai budaya kedua diperlihatkan
oleh Raja ayah dari si Putri yang cantik, beliau sangat menghormati dan
menghargai tamu, hal ini diperlihatkannya pada saat menerima utusan Raja Muda
yang datang untuk meminang Putri Raja. Sedangkan nilai budaya yang ketiga,
adalah diperlihatkan oleh sang Putri yang begitu cepat putus asa atas apa yang
telah menimpa dirinya.
Ketiga nilai
budaya dalam cerita rakyat Puteri Ular ini
termasuk ke dalam sistem nilai budaya yang dikemukakan Kluckhohn (dalam
Koentjaraningrat, 2009:154) bahwa variasi sistem nilai budaya ada lima yaitu:
(1) masalah hakikat hidup manusia; (2) hakikat karya manusia; (3) hakikat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4) hakikat hubungan manusia dengan
alam; dan (5) hakikat hubungan manusia dengan sesamanya.
4.
Nilai
Budaya dalam Cerita Rakyat Nias
Berdasarkan
kisah yang terkandung pada cerita rakyat Dewi Bibit mengandung nilai-nilai budaya. Di
antara nilai budaya yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah;
(1)
suka
membantu rakyat kecil yaitu para petani,
(2)
dilarangnya
perkawinan sumbang atau incest, yaitu perkawinan antar saudara kandung, baik
oleh agama maupun oleh adat,
(3)
rasa
cinta yang berlebihan membuat manusia lupa diri.
Nilai budaya pertama dilakukan oleh
tokoh Siraso dan Silögu, di mana sampai sekarang
masyarakat Nias percaya bahwa Siraso adalah dewi bibit dan Silögu sebagai dewa
panen, sehingga apabila masyarakat Nias ingin menanam padi, maka pada waktu
mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan
kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit.
Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan Siraha
Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu). Untuk pemujaan
Dewa Panen masyarakat Nias melakukan sebagian hasil panen mereka harus
dibagikan kepada kaum miskin atau melarat, janda, anak yatim, dan anak
yatim-piatu. Bila dilanggar akan membuat dewa marah dan merusak hasil
pertanian.
Nilai budaya kedua merupakan nilai
budaya yang bersifat universal, ini dilakukan oleh orang tua Siraso dan Silögu,
berbagai cara memisahkan keduanya, akan tetapi karena sudah ditakdirkan oleh
Maha Dewa, akhirnya terjadi juga perkawinan sumbang itu. Sedangkan nilai budaya
ketiga diperlihatkan oleh kedua tokoh yaitu Siraso dan Silögu, karena terlalu
mengagungkan rasa cinta yang berlebihan, sehingga mereka lupa bahwa mereka itu
bersaudara kandung.
Ketiga nilai
budaya dalam cerita rakyat Dewi Bibit ini
termasuk ke dalam sistem nilai budaya yang dikemukakan Kluckhohn (dalam
Koentjaraningrat, 2009:154) bahwa variasi sistem nilai budaya ada lima yaitu:
(1) masalah hakikat hidup manusia; (2) hakikat karya manusia; (3) hakikat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4) hakikat hubungan manusia dengan
alam; dan (5) hakikat hubungan manusia dengan sesamanya.
F.
Pendidikan
Karakter
Pendidikan
karakter bukan sesuatu hal yang baru. Pada hakikatnya pendidikan karakter telah
dilakukan manusia dengan cara yang berbeda-beda. Pendidikan karakter pun pada
prinsipnya tidak diajarkan, tetapi dibiasakan; harus bersama-sama baik pendidik
maupun peserta didik; harus diciptakan lingkungan yang kondusif; dan harus
terus menerus berproses (Mulyana, 2010:4). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pendidikan karakter berpusat pada pembinaan hal yang baik dan benar
terhadap pribadi peserta didik melalui keteladanan bersama. Hal itu diharapkan
pendidikan karakter tumbuhnya manusia yang berkepribadian mulia.
Ada 16 nilai-nilai Dasar Pendidikan
Karakter bangsa, yaitu: bertakwa (religius), bertanggung jawab (responsible), berdisiplin
(dicipline), jujur (honest), sopan (polite), peduli (care), kerja keras (hard
work), sikap yang baik (good attitude), toleransi (tolerate), kreatif (creative),
mandiri (independent), rasa ingin tahu (curiosty), semangat kebangsaan (nationality
spirit), menghargai (respect), bersahabat (friendly), cinta damai (peace ful).
Dari 16 nilai-nilai dasar pendidikan
karakter bangsa di atas, kiranya memang tidak semua dapat ditemukan pada cerita
rakyat yang dianalisis dalam penelitian ini. Namun demikian, saat kita membaca
cerita rakyat tersebut, pembaca diajak masuk ke sebuah
eksplorasi ke dalam dunia sastra, bukan dengan tujuan untuk mencari harta karun
berupa keluhuran, kemuliaan, kebenaran, melainkan untuk mempersoalkan asumsi
bahwa sastra (cerita rakyat) menawarkan itu semua dan dari situ dapat ditimba
pelajaran penting tentang budi pekerti, pendidikan budi pekerti, peradaban,
ataupun kebajikan dalam artian sederhana atau konvensional.
Sebaliknya,
ingin diajukan sebuah proposisi bahwa cerita rakyat justru menyentak segala
bentuk kenyamanan dan keyakinan tentang hubungan antara sastra dengan
nilai-nilai luhur tersebut (Derida, 1992)[xvi].
Dengan kata lain, cerita rakyat bukanlah corong kebenaran atau sumber ajaran
kebajikan. Cerita rakyat hadir justru untuk mengusik pemahaman tentang
kebenaran dan kebajikan, membuat pembaca (masyarakat) merasa gamang dan harus
menimbang kembali apa yang selama ini dipahami sebagai ‘yang luhur’.
Misalnya di
dalam cerita rakyat Karo “Beru Sibou”, di mana tokoh Tare Iluh tidak
ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya. Karakter ini kiranya
perlu dicermati dan ditanamkan kepada anak didik bahwa sifat kerja keras (hard
work) dan sifat mandiri (independent). Begitu juga saat tokoh Tare Iluh ingin
mengubah nasib. Sementara karakter religius dan peduli (care) ditunjukkan oleh
tokoh Beru Sibou, seperti pada kutipan berikut ini. “Ya, Tuhan! Tolonglah
hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua utang abangku dan merelakan air mata,
rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk
negeri yang memasung abangku.”
Karakter menghargai (respect) dapat kita
temukan pada cerita rakyat Pakpak “Puteri Raja
dan Burung Sigurba Gurba Berkepala Tujuh” di mana hal ini ditunjukkan oleh tokoh
si istri, walaupun sudah merasa dikecewakan oleh sifat suaminya, akan tetapi ia
tetap menghargai permohonan suaminya, walaupun dalam kisah ini si istri tetap
meninggalkan suaminya. Karakter menghargai ini tertuang dalam kutipan berikut
ini. “Suamiku tercinta, apa boleh buat sudah nasib dan
rezeki badan kita berpisah, kala engkau rindu padaku, carilah nyiur keppal,
nyiur gading dan nyiur ijo dan minumlah airnya sebagai penawar rindumu dan
dikala engkau sakit, buatlah buahnya sebagai obat”.
Karakter sopan
(polite)
dan menghormati tamu dapat kita temukan pada cerita rakyat Simalungun “Putri
Ular”, sebagaimana yang ditunjukkan oleh tokoh raja dalam kutipan berikut ini.
“Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang
putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan
mereka.”
Pada cerita
rakyat Nias “Dewi Bibit”, ditemukan nilai karakter yaitu sikap yang baik
(good attitude), hal ini dapat kita lihat pada kutipan berikut ini. “Di
Teteholi Ana’a, Siraso rajin mendatangi rakyat saat penaburan bibit sehingga
tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang Silögu gemar mendatangi rakyat saat
panen sehingga bulir-bulir panenan banyak dan bernas.”
Demikianlah nilai-nilai dasar pendidikan
karakter bangsa yang ada di dalam cerita rakyat yang dianalisis. Kiranya
nilai-nilai karakter ini dapat diterapkan di sekolah-sekolah kita. Semoga kita
semua dapat menyiapkan para generasi penerus bangsa menjadi calon pemimpin masa
depan yang memiliki karakter yang penulis jabarkan di atas serta mempunyai
kemampuan intektual yang tinggi. Kita pun berharap akan muncul pemimpin masa
depan yang berkarakter, berintegrasi yang tinggi dan cerdas dalam melihat
perkembangan sejarah bangsa.
G.
Simpulan
Di dalam empat
cerita rakyat Sumatera Utara yang dianalisis dari segi strukturnya, ditemukan
pertama dari segi alurnya. Ada empat elemen alur yang ditemukan, sebagaimana
menurut Klarer (1998: 42), yaitu exposition, complication, climax, dan resolution. Sementara dari segi tokoh umumnya
ditemukan dua karakter tokoh yaitu protagonis dan antagonis. Sebagaimana
menurut Perrine (1987: 42), ada
dua watak tokoh yang bisa didefinisikan yaitu tokoh dengan watak protagonis dan
antagonis.
Latar keempat cerita
rakyat Sumatera Utara yang dianalisis ditemukan bahwa latarnya sejalan dengan
apa yang dikatakan Stanton (2007: 35), latar dapat dibagi menjadi latar tempat
(ruang) dan waktu terjadinya peristiwa dalam suatu cerita.
Untuk tema
cerita rakyat dapat disimpulkan bahwa pada cerita rakyat Karo Beru Sibou adalah
“Pengorbanan demi persaudaraan”. dalam cerita rakyat Pakpak Puteri Raja dan Burung Sigurba Gurba
Berkepala Tujuh, temanya adalah “Penyesalan yang datang terlambat”. Di dalam cerita
rakyat Simalungun Putri Ular,
ditemukan tema yaitu “Sifat keputusasaan mengakibatkan penderitaan pada diri
sendiri”. Di dalam cerita rakyat Nias Dewi Bibit, ditemukan temanya yaitu
“Perkawinan sumbang atau incest”.
Nilai budaya yang terkandung di dalam
cerita rakyat Sumatera Utara. Diperoleh 12 nilai budaya yang
dapat dijadikan bagian dari pendidikan karakter untuk para siswa di sekolah.
Adapun nilai budaya tersebut yaitu: (1) tenggang rasa, (2) menjunjung tinggi
persaudaraan, (3) judi akan mengakibatkan kesengsaraan, (4) kekayaan dan tahta
membuat manusia lupa diri, (5) berfoya-foya, meminum minuman keras, dan berjudi
akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri, (6) penyesalan selalu datangnya
terlambat, (7) bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu, (8) menghormati dan menghargai
tamu, (9) cepat berputus asa, akan mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri,
(10) membantu rakyat kecil, (11) perkawinan sumbang atau incest, yaitu
perkawinan antar saudara kandung, baik oleh agama maupun oleh adat, dan (12)
rasa cinta yang berlebihan membuat manusia lupa diri.
H.
Rekomendasi
Kiranya nilai-nilai dasar pendidikan
karakter bangsa yang ada di dalam empat cerita rakyat Sumatera Utara yang
dianalisis, dapat diterapkan di sekolah-sekolah kita. Semoga kita semua dapat
menyiapkan para generasi penerus bangsa menjadi calon pemimpin masa depan yang
memiliki karakter yang penulis jabarkan di atas serta mempunyai kemampuan
intektual yang tinggi. Kita pun berharap akan muncul pemimpin masa depan yang berkarakter,
berintegrasi yang tinggi dan cerdas dalam melihat perkembangan sejarah bangsa.
Penelitian terhadap cerita rakyat
Sumatera Utara kiranya perlu ditingkatkan volumenya, khususnya menjangkau
keseluruhan etnis yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
DAFTAR PUSTAKA
[i] Danandjaja,
James. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan
Lain-lain. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
[ii] Kurniawan, Heru.
2009. Sastra Anak : dalam Kajian
Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika hingga Penulisan Kreatif. Jakarta:
Graha Ilmu
[iii]
Stanton, Robert. 2007. Teori Pusi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[iv] Zaimar, Okke
K.S. 2008. Semiotik dan Penerapannya
dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
[v] Djamaris, Edwar (Ed.). 1994. Sastra Daerah di Sumatera:
Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
[vi] Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Rineka Cipta.
[vii] Mulyana, Deddy. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
[viii]
Semi,
Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa.
[ix] Klarer, Mario.
1998. An Introduction to Literary Studies.
Routledge: London
[x]
Perrine, Laurence. 1987. LITERATURE,
Structure, Sound, and Sense. London: Harcourt Brace Jovanovich.
[xi] Esten, Mursal.
1987. Sastra Indonesia dan
Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa.
[xii] Kusdiratin,
Soedardi, dkk. 1985. Memahami
Novel Atheis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
[xiii]
Sudjiman,
Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
[xiv] Aminuddin. 1984.
Pengantar Apresiasi Sastra. Jakarta:
CV. Sinar Baru.
[xv] Ginarsa, I Ketut. 1985. Struktur Novel dan Cerpen Sastra Bali Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
[xvi]
Derrida,
Jacques. 1992. Acts of Literature, terj. Derek Attridge. London:
Routledge.
Sekilas Penulis

Sahril adalah Peneliti pada Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara,
Kemdikbud, lahir di Desa Lalang 22 Oktober 1965. Beliau banyak menulis buku
tentang bahasa, sastra, budaya, dan buku pelajaran muatan lokal, sampai 2013
sudah 42 judul buku ditulis dan diterbitkan beliau. Pada tahun 2012 diundang
untuk mengikuti Book Fair International di Kuala Lumpur untuk memamerkan
bukunya. Pernah diundang untuk membacakan pusi di TIM Jakarta pada acara Mimbar
Penyair Abad 21 tahun 1996. Sahril aktif juga menulis di
beberapa media massa cetak terbitan lokal, Jakarta, dan Malaysia. Ia juga
sering menjadi pembicara sastra di beberapa kegiatan kesastraan. Dalam bidang
keilmiahan, ia aktif di Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) semenjak 1994, Sekretaris
HISKI Komisariat Sumatera Utara. Tahun 1995 mengikuti pelatihan peneliti muda
di Malang, Jawa Timur dengan pembimbing James Danandjaja. Sahril aktif juga di
TP PKK Provinsi Sumatera Utara dan Himpaudi Wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Semenjak 2012, Sahril juga menjadi tutor nasional PAUD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar