Selasa, 27 Mei 2014

SYAIR PENGANTIN BARU: SEBAGAI SASTRA PROFETIK MELAYU DELI



SYAIR PENGANTIN BARU: SEBAGAI SASTRA PROFETIK MELAYU DELI

OK. Sahril
Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara
Jalan Kolam (Ujung) No. 7, Medan Estate, Medan
Telepon 081260658400, pos-el: oksahrilmelayu@ymail.com
Abstract
Prophetic literature is a concept based on the prophetic work. Prioritize humanization, liberation, and transcendence. Prophetic literature is literature that is able to provide a balance between the social themes and spiritual themes, representing the history of humanity and prophetic values/religion. This paper uses qualitative survey methods. The theory used in this paper is a prophetic literary theory, which sees literature as a spiritual concepts and social concepts (habluminallah and habluminannas). This paper analyzed 107 text poem that became the subject of research. The findings of the research on text SPB, namely the alignment between the spiritual concept (habluminallah) and social concepts (habluminannas).
Kewords: prophetic literature, poetry spiritual and social
Abstrak
Sastra profetik adalah sebuah konsep berkarya yang berlandaskan pada kenabian. Mengedepankan humanisasi, liberasi, dan transendensi. Sastra profetik adalah karya sastra yang mampu memberikan keseimbangan antara tema sosial dan tema spiritual, merepresentasikan sejarah kemanusiaan  maupun nilai-nilai kenabian/agama. Tulisan ini menggunakan metode survei kualitatif. Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori sastra profetik, yang melihat karya sastra sebagai konsep spiritual dan konsep sosial (habluminallah dan habluminannas). Tulisan ini menganalisis 107 teks syair yang menjadi subjek penelitian. Temuan dari hasil penelitian terhadap teks SPB, yaitu adanya keselarasan antara konsep spiritual (habluminallah) dan konsep sosial (habluminannas).
Kata kunci: sastra profetik, syair spiritual dan sosial
1.      Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Dalam perkembangannya, sejarah kesusastraan Indonesia dibangun oleh keragaman paham atau estetika yang tumbuh dan berkembang seiring dengan ruang sosial politik bangsa, kreativitas para sastrawan, dan gagasan-gagasan sosial budaya intelektual Indonesia (Hidayatullah, 2006:6). Keterjalinan antara tiga faktor tersebut menjadikan estetika sastra Indonesia memiliki identitas yang khas. Kekhasan identitas itulah yang mewarnai paham dan aliran yang hidup dan berkembang dalam periodisasi waktu tertentu. Fakta menunjukkan bahwa dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia, muncul berbagai istilah sastra yang berkembang di masyarakat, seperti: sastra pamflet, sastra eksistensial, sastra sosial, sastra kritis, sastra absurd, sastra religius, sastra kontekstual, sastra universal, sastra pinggiran, sastra kota, dan sastra buruh.
Salah satu istilah yang popular dalam perkembangan sejarah sastra adalah bahasan mengenai sastra religius. Bahkan, sastra religius telah dianggap sebagai genre (aliran) tersendiri dalam ranah kesusastraan. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir pula istilah-istilah lain yang berdekatan dengannya, seperti sastra mistik, sastra holistik, sastra transenden, sastra filsafat, sastra pencerahan, dan sastra terlibat dunia dalam.
Pertumbuhan sastra religius, terutama dalam khazanah budaya Melayu-Indonesia, banyak didominasi teks-teks sastra yang bersumber pada nilai dan ajaran agama Islam. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab munculnya ragam istilah yang kemudian dikenal dengan sastra religius Islam, sastra bernapaskan Islam, atau sastra bertema keislaman.
Dalam khazanah sastra Indonesia, terutama pada periode klasik, gagasan-gagasan sastra Islam telah lahir dan berkembang bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Islam ke dalam berbagai wilayah tradisi dan budaya nusantara. Keberadaan sastra Melayu (syair, pantun, gurindam), sastra Jawa (babad, serat, suluk), dan sastra pesantren (sastra kitab, singiran, nadhoman) setidaknya dapat ditengarai sebagai awal dari kelahiran gagasan sastra Islam di nusantara. Pada saat sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya gagasan-gagasan sastra Islam dalam sastra Indonesia modern dengan berbagai polemik yang menyertainya (Salad, 2005).
Gagasan-gagasan sastra Islam dalam sastra Indonesia modern, secara tidak langsung telah muncul ke permukaan sejak tahun 60—70-an. Gagasan-gagasan itu lahir bukan saja dalam bentuk karya, tetapi juga dalam bentuk wacana. Dalam bentuk karya, gagasan tersebut tersebar melalui teks-teks sastra yang dihasilkan oleh sejumlah sastrawan muslim dari berbagai periode angkatan sastra Indonesia sampai terkini. Dalam bentuk wacana, gagasan tersebut telah memunculkan ragam istilah yang berbeda, namun memiliki arah dan tujuan yang hampir sama. Beberapa di antaranya ialah sastra Islami, sastra ibadah, sastra dakwah, sastra dzikir, sastra kaffah, sastra sajadah, dan sastra qurani. Istilah-istilah tersebut digunakan oleh para pendukungnya sebagai usaha untuk menjelaskan keberadaan dan kemungkinan-kemungkinan sastra Islam dalam proses kreatif maupun ekspresi estetiknya. Salah satu istilah yang dikembangkan secara mendalam sebagai wacana utama dalam dinamika sastra Islam Indonesia modern, yaitu sastra profetik.
Menurut Hadi WM (2004:24-25), sastra profetik merupakan sastra yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia atau pembacanya kepada Tuhan dan menghayati petunjuk-petunjuk-Nya. Sastra profetik berfungsi memberi pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis. Di samping itu, sastra profetik bertujuan untuk merealisasi sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian.
Dalam perspektif yang lebih luas, kehadiran sastra profetik dapat dikaitkan dengan fenomena kehidupan masyarakat modern. Seyyed Hosein Nasr mengatakan bahwa manusia modern telah kehilangan visi ketuhanan, kehilangan keyakinan yang penuh terhadap Yang Transenden. Kondisi itu menyebabkan manusia merasa kehilangan makna dalam kehidupan yang selalu berubah dengan cepat dan cenderung bersifat mekanik. Oleh karena itu, untuk memulihkan kondisi kejiwaan manusia modern, Nasr menawarkan tasawuf dan aktivitas spiritualitas lainnya sebagai alternatif pembebasan manusia dari kungkungan pandangan serba rasional dan materialistis (Iqbal, 2008:24).
Dalam ranah filsafat, Roger Garaudy mempertanyakan kembali keberadaan filsafat analitik dan rasionalisme atau historisme materialis yang sedang mengalami jalan buntu. Dari perspektif epistimologis, Garaudy (1988:6) menjelaskan bahwa filsafat analitik dan rasionalisme telah membawa ekses-ekses yang mengasingkan manusia dari Tuhan dan diri sendiri. Filsafat modern yang begitu antusias mengajak manusia kembali kepada dirinya, ternyata justru semakin menjauhkan manusia dari pengenalan jati diri. Hal itulah yang memunculkan pertanyaan, bagaimana mungkin manusia dapat mengenali jati diri jika tidak memiliki kesadaran semesta dan kesadaran tentang asal usul kerohaniannya (Hadi WM, 2004:4).
Semangat profetik yang mendasari pemikiran Seyyed Hosein Nasr dan Roger Garaudy itulah yang mewarnai lahirnya gerakan sastra profetik, termasuk dalam perkembangan sastra Indonesia. Sebagaimana pernyataan seorang penyair Jepang, Akiya Yutaka, dalam Konferensi Penyair Asia II di Seoul, bahwa doa, cinta, dan sembahyang merupakan hal yang sangat penting dalam penciptaan puisi. Penyair modern mempunyai tugas berat yang harus dipikul, yakni memberikan pencerahan dan ikut menyeimbangkan dunia yang berat sebelah pada kehidupan materialistik dengan nilai-nilai kerohanian (Hadi WM, 2004:5-6).
Sastra profetik merupakan pengembangan dari sastra yang bercorak religius di mana dalam sastra profetik ada unsur yang harus terpenuhi bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan. Sastra profetik merupakan inspirasi dari Jalaludin Rumi dan Muhammad Iqbal, di mana manusia memiliki sikap kebebasan apa yang menjadi pemimpin. Seni merupakan menjadi alat perubah dan pengerak realitas sosial dan seniman menjadi inspirator perubahan serta bagaimana menciptakan yang lebih baik.
Sebagaimana unsur sastra yang bercorak profetik menurut pandangan Jalaludin Rumi dan Muhammad Iqbal, meliputi kebesaran makna Illahiah, manusia merupakan mahluk yang merdeka dan kreatif, manusia menjadi khalifah dan melibatkan diri dalam proses sosial, sedangkan yang terkhir keseimbangan antara dimensi vertikal dengan horizontal. 
Sastra profetik adalah sebuah konsep berkarya yang berlandaskan pada kenabian. Al Quran, surat Al Imran ayat 110: “Kamu ialah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi umat manusia, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah."
Sastra profetik mengedepankan humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi mungkar) dan transendensi (tu'minuna billah). Artinya, sastra profetik adalah karya sastra yang mampu memberikan keseimbangan antara tema sosial dan tema spiritual, merepresentasikan sejarah kemanusiaan  maupun nilai-nilai kenabian/agama (etika profetik).
Selanjutnya pada penerapan sastra profetik yaitu dengan menciptakan karya sastra yang memiliki semangat humanisasi dan liberasi yang ditopang dengan transendensi. Intinya menciptakan bentuk-bentuk pengucapan yang bersifat transcendental, serta keterlibatan dengan realitas sosial; yaitu ada keseimbangan antara dimensi ukhrawiyah dan dimensi duniawiyah.
Syair Pengantin Baru (SPB), bila dilihat dari skala isinya merupakan perpaduan antara dimensi ukhrawiyah dan dimensi duniawiyah. Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba melihat perpaduan dua dimensi tersebut dilihat dari etika profetik.
1.2  Masalah
Berangkat dari deskripsi di atas, bahwa sebuah karya sastra profetik memiliki dua dimensi, yaitu dimensi spiritual dan dimensi sosial, maka permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu:
1)      Apa wujud realitas profetik  dalam SPB?
2)      Bagaimana hubungan humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi mungkar), dan transendensi (tu'minuna billah) yang terangkum dalam SPB?
1.3  Tujuan
Manusia dituntut untuk ber-amarma’ruf nahi munkar. Amar ma’aruf adalah memanusiakan manusia, sedangkan nahi munkar adalah pembebasan, dan beriman kepada Tuhan adalah transendental. Penjumlahan semua itu menurut Kuntowijoyo menjadi sastra profetik. Sastra profetik telah menanamkan dan memperkaya cakrawala sastra religius yang lebih membawa pencerahan dan tidak melulu lebih sibuk mengurus hablumminallah (melangit) daripada hablumminannas (membumi).
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan tulisan ini dirumuskan sebagai berikut: (1) mendeskripsikan wujud realitas profetik  dalam SPB, dan (2) mendeskripsikan hubungan humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi mungkar), dan transendensi (tu'minuna billah) yang terangkum dalam SPB.
1.4  Metode
Tulisan ini menggunakan metode survei kualitatif. Data diperoleh melalui survei langsung kepada penutur sastra lisan SPB, yaitu kelompok marhaban di Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan perekaman dan pencatatan langsung terhadap kelompok marhaban.
Pengumpulan data ini dilakukan terhadap kelompok marhaban yang sedang menampilkan SPB pada sebuah pesta perkawinan di Kota Medan. Penulis diberi kesempatan hadir pada acara pesta perkawinan tersebut. Di lokasi pesta perkawinan itu, penulis merekam SPB yang dibawakan oleh kelompok marhaban. SPB ditampilkan setelah kelompok ini menampilkan marhaban dan barzanzi.
Setelah selesai acara pesta perkawinan itu, penulis membuat janji untuk bertemu langsung dengan ketua kelompok marhaban. Akhirnya, penulis diberi kesempatan juga untuk berkunjung ke rumah ketua kelompok marhaban di Medan. Pada saat penulis melakukan percakapan semuka dengan ketua kelompok marhaban, penulis diberi kesempatan lagi untuk merekam teks SPB. Walaupun pada saat dibacakan teks SPB itu sudah tidak ada lagi nada dan iramanya. Berbeda pada saat acara pesta perkawinan tersebut. Namun demikian, perekaman kedua ini sangat membantu penulis untuk mendapatkan teks SPB lebih jelas lagi.
2.      Kerangka Teori
Sastra yang bermukim pada wilayah teologi Islam, merupakan bibit dari munculnya kesusastraan Melayu. Sedang sastra keagamaan yang merujuk pada Islam itu dapat dibagi menjadi tiga cabang, yaitu; ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Di antara ketiga cabang ilmu dalam kajian Islam tersebut, ilmu tasawuf merupakan yang paling dekat dengan sastra, khususnya sastra Islam.
Menurut Kuntowijoyo (2006:128), ilmu tasawuf menjelaskan tentang wilayah esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Setelah melewati persinggahan-persinggahan (maqamat) dalam rasa kebatinan yang begitu dalam, banyak tokoh tasawuf (sufi) berharap untuk dapat bersatu dengan Tuhan, berusaha mendapatkan kesejatian diri, kesejatian alam, dan kesejatian Tuhan. Pesona indah kalimat yang diucapkan para sufi yang mengharap pancaran Ilahi menyelam ke dalam hati, berbeda dengan pengalaman pahit yang mereka derita. Karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari pengertian tentang Tuhan, maka banyak kemungkinan bagi para sufi untuk memperoleh derajat tertinggi jika sudah bersatu dengan Tuhan, atau bersatu dengan semesta. Singkatnya, dalam persinggahan itu muncul kalimat-kalimat yang begitu indahnya dengan penjiwaan yang begitu teramat dalam serta mengandung keindahan bahasa yang sungguh luar biasa.
Dalam kesusastraan Islam, karya-karya paling universal termasuk ladang garapan tasawuf. Semangatnya yang membangkitkan kesusastraan Arab dan Persia, mulai dari lirik-lirik lokal dan sajak-sajak epiknya sampai kepada karya-karya didaktik dan mistik yang dimensinya sangat universal. Tasawuf memperkaya sastra Arab, kebanyakan dalam bentuk prosa dan sastra Persia Islam yang lebih lokal sifatnya. Perkembangannya mencapai ketinggian setelah berada di tangan para sufi.
Tak pelak lagi, pengaruh tasawuf sangat besar sekali. Hampir dalam setiap bentuk seni, mulai dari puisi sampai kepada arsitektur terlihat dengan jelas perpaduannya dengan tasawuf. Para sufi hidup di dunia ini seakan-akan tinggal di suatu tempat yang dinamakan sebagai pelataran depan Taman Firdaus, dan karenanya menghirup udara dalam suasana yang penuh getar kerohanian, di mana keindahan memancar dari perkataan dan perbuatan mereka.
Dalam konteks sejarah sastra Islam di Indonesia, Hamzah Fansuri merupakan pelopor sastra Islam yang bernuansa sufistik, merupakan cendekiawan dan pemimpin tasawuf yang berpengaruh pada zamannya. Peranan penting beliau dalam sejarah pemikiran dunia Melayu nusantara bukan saja karana gagasan tasawufnya, malah puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.
Sebagai pencipta pertama syair Melayu dengan bentuk puisi empat baris dengan pola sajak akhir aaaa, bakat Hamzah Fansuri sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual daripada Al Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.
Menurut Geertz  (1989:67), berkembangnya sastra profetik, tradisi pelantunan al-mada’ih al-nabawiyah mengiringi kegiatan ritual keagamaan umat Islam Indonesia (terutama Jawa) dalam bentuk upacara slametan dengan berbagai macamnya. Fenomena ini sulit untuk dipungkiri bahkan kalau boleh dipaksakan, disimpulkan sastra profetik mengiringi peningkatan spiritualitas keagamaan umat Islam dalam era global yang penuh tantangan ini. Dan lebih jauh lagi dapat disimpulkan tradisi sastra profetik merupakan benteng terakhir kehangatan spiritual umat Islam di era global ini.
Tradisi sastra lisan dengan membacakan syair ini juga ditemukan di berapa daerah Melayu Sumatera Utara. Tradisi membacakan syair ini tidak ada iringan musik ataupun gerak tari. Bersyair hanya mengandalkan kemampuan membaca kitab Arab-Melayu yang dibarengi
kemampuan olah suara. Oleh karena itu, tradisi bersyair punya ciri khas tersendiri dari pengembangan sastra lisan tradisi Melayu.
Dari sisi media yang digunakan, bersyair menggunakan kitab yang sudah dianggap pakem oleh pembaca kelompok marhaban, yakni (1) kitab Qasasul Anbiya’; berisi perjalanan
hidup para Nabi dan Rasul. (2) Kitab Nur Muhammad; berisi perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW yang terdiri atas tiga bagian, yakni sejarah kelahiran Nabi, mukjizat beliau dan pengangkatan beliau menjadi Nabi dan Rasul hingga meninggal dunia. (3) Kifayatul Muhtaj; kisah Isra’ Mi’raj Nabi SAW. (4) Syair Yatim Musthafa, (5) Kitab Qurtubi Kasyful Gaibiyyah; bercerita masalah kiamat dan kehidupan di dalam kubur. Kitab-kitab ini semuanya berbahasa Melayu.
Pemakaian bahasa Melayu dalam penulisan teks dari naskah syair menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah benar-benar menjadi bahasa umum (lingua franca) di semua kalangan masyarakat nusantara kala itu. Selain itu, penggunaan bahasa Melayu dalam syair menjelaskan posisi terhormatnya bahasa Melayu kala itu sehingga bisa digunakan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam. Jenis bahasa Melayu yang terdapat dalam kitab-kitab yang digunakan untuk bersyair adalah Melayu tingkatan tutur bahasa Jawi; bahasa umum.[1]
Kuntowijoyo (2006) mendasarkan perumusan sastra profetik (dan profetisitas secara umum) kepada Al Quran surah Ali Imran: 3. Ada empat hal tersirat dari ayat ketiga surah Ali Imran ini, yaitu (1) konsep tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etik profetik.
Pertama, konsep tentang umat terbaik (the choosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut oleh ayat tersebut. Jadi, sebuah umat tidak akan secara otomatis menjadi the choosen people. Konsep the choosen people dalam Islam ini berbeda dengan konsep the choosen people dari Yudaisme. Konsep Yudaisme menyebabkan rasialisme, sedangkan konsep umat terbaik dari Islam justru berupa sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras  ke arah aktivisme sejarah.
Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia (ukhrijat li an nas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan yang melupakan keduniaan  bukanlah kehendak Islam, karena Islam adalah agama amal.
Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai Ilahiyah menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etik Islam dari etik materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstruktur (kesadaran) ditentukan oleh struktur (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran. Demikian pula, pandangan yang selalu mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme) bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan bentuk kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Demikian juga segala bentuk sekularisme, ia bertentangan dengan kesadaran Ilahiyah.
Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa saja, baik individu (orang awam, ahli, superahli), lembaga (ilmu, universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok masyarakat). Semua diharuskan untuk mengamalkan ayat ini, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah kejelekan), dan iman (tu’minuna) bi Allah (beriman kepada Allah). Ketiga hal ini adalah unsur yang tidak terpisahkan dari etik profetik.
Istilah profetik berasal dari kata prophetik yang berarti ‘janji atau harapan’. Dalam konsteks sastra, profetik dapat diartikan: (1) peringatan akan munculnya kejadian di luar dugaan, (2) adanya prediksi tentang kejadian yang bersifat determinan, (3) ungkapan-ungkapan yang bersifat abstrak, dan (4) adanya dialog yang memperlihatkan tanda-tanda awal tentang kejadian mendatang. Mengacu pada uraian di atas semangat profetik dalam karya sastra pada hakikatnya adalah semangat tentang kerisalahan (Kuntowijoyo, 2006).
Segi penting dalam sastra profetik adalah tolok ukurnya yang hakiki, yaitu sumber penemuan jati diri manusia kembali dan penyebab tumbuhnya kemungkinan-kemungkinan transendetal. Oleh karena itu, karya sastra profetik tidak hanya mengacu ke bumi tetapi juga mengacu ke laingit. Artinya, karya sastra profetik berusaha menampilkan persoalan hakiki yang menyangkut kebenaran. Sastra yang memiliki semangat profetik adalah sastra yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia akan Tuhannya, kebaradaan manusia di hadapan Tuhan, dan kesanggupan manusia menerima petunjuk Tuhan (Hadi WM, 1986).
2.1  Tradisi Bersyair
Dalam perjalanan sejarah, perkembangan sastra tulis dan lisan jauh lebih beragam ketika Islam masuk ke nusantara. Media bahasa yang berkembang dan digunakan pun beralih ke bahasa Melayu beraksara Arab yang kemudian dikenal dengan huruf Arab-Melayu. Teks sastra Islam Melayu dituliskan dalam bahasa Melayu, yang kemudian menggunakan huruf Arab ini merupakan dokumentasi kehidupan spritual nenek moyang bangsa Indonesia serta memberikan gambaran yang memadai tentang alam, pikiran, dan lingkungan hidupnya. Naskah sastra Islam Melayu sebagai wujud dari sastra Islam Melayu ini memiliki fungsi sosial dalam proses penyebaran dan sosialisasi dasar-dasar agama Islam pada waktu itu.
Seiring dengan masuknya Islam dari Asia Barat, kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi (istilah Hindu) tergeser dengan konsep Allah SWT melalui ajaran-ajaran tauhid. Pertama-pertama konsep-konsep inti Islam terserap dalam bahasa Melayu sebagai lingua franca kala itu. Dan seiring penyebaran bahasa Melayu (terutama melalui jalur perdagangan) ke berbagai daerah/pulau di nusantara, maka konsep-konsep inti dalam Islam pun masuk dalam bahasa daerah. Dalam konteks Islam Melayu awal, pengucapan doa-doa dan kata-kata/konsep inti Islam pun kemudian disesuaikan dengan pengucapan bahasa Melayu. Hal ini sangat terlihat dalam rekaman naskah-naskah kuno berbahasa Melayu atau campuran dengan bahasa Jawa dan Bali. Dalam praktik ibadah juga, seperti mandi, berwudu’, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai bagian mantra Melayu. Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Melayu dahulu.
Pembahasan mengenai bersyair memang tidak dapat dipisahkan dari kerangka sastra, bahasa, kepercayaan, dan sosio-kultural, sebab bersyair selalu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di luar teks yang menjadi rangkaian kegiatan seperti acara adat dan acara agama. Begitu juga dengan bentuk lagu atau nada dari bersyair ini. Dalam pembacaan syair oleh pembaca dilantunkan dengan nada (intonasi) dan lagu tertentu.
Menurut seorang sastrawan Amerika, George Santayana, sastra adalah semacam agama dalam bentuk yang samar (Suyitno, 2002:67). Dalam arti bahwa sastra mengandung kebenaran sebagaimana hakikat kebenaran dalam agama. Perbedaannya, kebenaran dalam sastra tidak diarahkan untuk memberikan petunjuk tentang tingkah laku ritual secara langsung kepada manusia.
3.      Hasil dan Pembahasan
Teks SPB yang menjadi objek penelitian ini berjumlah 88 bait. Bait 1 sampai bait 7 merupakan syair pembuka, berisikan pujian untuk pengantin (bait 1—5), imbauan kepada undangan/pendengar untuk memperhatikan penampilan mereka (bait 6—7). Bait 8 sampai bait 15 berisikan doa kepada kedua pengantin. Bait 16 sampai 30) berisikan nasihat kepada pengantin serta undangan mengenai perilaku manusia di dunia yang berkaitan dengan amal ibadah. Bait 31—35 mengingatkan kepada kita bahwa dunia ini hanya tempat sementara dan akhiratlah tempat abadi. Bait 36 sampai 51 berkisah tentang situasi menjelang kematian sampai kondisi di alam kubur. Bait 52 sampai 69, berisikan mengenai peringatan atas perbuatan di dunia dan balasan yang akan diterima di akhirat kelak. Bait 70 sampai 88, merupakan syair penutup yang menjelaskan tentang kondisi si tukang buat syair. Di antara 88 teks syair, terdapat 8 teks pantun, yaitu pada pembuka dan penutup. Pada pembuka ada 2 teks pantun dan pada penutup 6 teks pantun. Di antara 8 teks pantun tersebut, 6 bersajak aa aa, dan 2 bersajak ab ab. Dengan demikian, jumlah teks syair yang sebenarnya adalah 80 teks.
3.1 Wujud Realitas Profetik: Dimensi Spiritual dan Sosial
Isi SPB pada mulanya adalah sebagai media dakwah. Namun fungsi itu sekarang sudah bergeser. Menurut Gazalba, 1988:126), fungsi dakwah syair itu akan dilihat melalui firman Tuhan dalam Al Quran. Wahyu yang diturunkan Allah yang terhimpun dalam bentuk Al Quran adalah sempurna. Ayat-ayat itu mengandung nilai estetika. Pemilihan dan penyusunan kata-kata yang membentuk bernilaikan “sastra” yang amat tinggi, tidak pernah dapat ditandingi oleh sastrawan. Ayat-ayat itu adalah benar, baik, dan bagus.
Dimensi spiritual SPB ini selalu berpedoman kepada Al Quran, sehingga nuansa-nuansa Islam tertuang dengan apik dan sangat kental dalam setiap bait syair. Dari dimensi spiritual ini lalu mengejawantahkan kepada dimensi sosial. Misalnya berupa harapan dan doa terhadap pengantin, di antaranya jangan meninggalkan ibadah dikarenakan sibuk mencari harta, panjangkan umur, sehat, beri selamat dunia dan akhirat, pangkat yang tinggi, tetapkan iman, jauhkan dari bala fitnah, mengingat nasihat orang tua, dan jangan meninggalkan sembahyang (SPB 7—16).
Beberapa teks SPB yang langsung bersentuhan dengan ayat-ayat Al Quran di antaranya,
(SPB 29)
sudah memakai emas dan perak
pergi meminum tuak dan arak
gegab gempita tampik dan sorak
ke dalam neraka ia diarak
Teks ini mencerminkan bahwa bagi manusia yang semasa hidupnya menghabiskan waktunya untuk minum-minuman haram, maka di akhirat mereka akan masuk neraka. Hal ini tertuang dalam firman Tuhan (Al Quran: Al Maa Idah, 90), ”hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Sedangkan di dalam (Al Baqarah, 219), dijelaskan ”mereka bertanya kepada Muhammad mengenai arak dan judi. Katakanlah pada keduanya itu adalah dosa besar dan jika ada manfaatnya bagi manusia. Akan tetapi, dosanya/bahaya keduanya itu lebih besar dari manfaatnya”. Ayat lain yang melarang tentang meminum arak dan berjudi ini ditemui juga pada (An Nissa 43).
(SPB 67)
inilah tanda orang yang celaka
berbuat jahat tidaklah apa
meningalkan ibadat sangatlah suka
berbuat maksiat tiada mengapa
            Teks syair di atas mencerminkan tentang manusia yang berbuat jahat dan maksiat akan mendapat celaka, siksaannya bukan saja di akhirat tetapi di dunia pun wajib didera. Hal ini tertera dalam Al Quraan (An Nuur, 2), ”perempuan yang berzinah dan laki-laki yang berzinah, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah boleh kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”
(SPB 62, 63)
setengah haram mencari harta
sembahyang tidak lagi dicita
ilmu sepatah haram tiada
kerja maksiat semata-mata
siang dan malam berjual beli
meninggalkan amal tiada peduli
sembahyang tidak barang sekali
itulah tanda orang buta tuli
Salat (shalat) dan bagi orang Melayu selalu menyebutnya ”sembahyang”,  merupakan rukun Islam yang kedua. Salat dikenal sebagai tiangnya agama. Dalam Al Quran (Al Baqarah, 43) ”dan dirikanlah salat. Bayarlah zakat. Dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.”
(SPB 53)
hendaklah kita berbuat kebajikkan
ibu dan bapak kita muliakan
jikalau hatinya kira sakitkan
di dalam neraka allah gantikan
Teks ini menasihatkan kepada manusia agar menghormati ibu bapak kita. Dan ini sudah ditetapkan dalam Al Quran (Al Ah Qaaf, 15) ”Kami perintahkan kepada manusia supaya baik kepada dua ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungkannya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa. ’Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Berdasarkan teks-teks SPB di atas, bahwa dimensi spiritualnya, berupa berupa balasan dari Tuhan akibat perbuatan semasa hidup di dunia. Sementara dimensi sosialnya, berupa peringatan kepada manusia. Bentuk peringatan itu, misalnya dilarang meminum tuak dan arak, dilarang berbuat maksiat, jangan meninggalkan amal ibadah, dan diwajibkan memuliakan ibu dan bapak kita. Hal ini sesuai dengan konsep sastra profetik, yaitu adanya keselarasan antara spiritual (hablumminallah) dan sosial (hablumminannas).
Oleh sebab itu, manusia tidak boleh lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Keduanya haruslah seimbang. Sebagaimana teks (SPB 25, 31, 32, 34) berikut,
astafirullah heran hatimu
hamba allah banyak tersemu
kepada dunia banyak yakinmu
di dalam akhirat sangat sakitmu
ingatlah tuan saudara sekalian
baik dicari bekal berjalan
ke negeri baqa tempat kesudahaan
jangan diikut kafir kehinaan
janganlah lupa memuji tuhan
supaya datang rahmat kasihan
hendaklah ingat kita nan tuan
nafsu setan hendak ditahan
siapa yang ingat akannya mati
dunia ini tempat berhenti
sekadarnya tempar berbuat bakti
akhirat juga yang dinanti-nanti
Wujud realitas profetik dalam teks SPB ini merupakan respons terhadap realitas historis kepada pesan universal dan makna transendentalnya. Dalam hal ini posisi teks yang mengaju pada ayat-ayat dalam Al Quran, bertujuan bukanlah untuk memahami Islam, tetapi bagaimana menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks pada konteks sosial masa kini. Hal ini tertuang dalam konsep wujud realitas profetik berikut ini.

Grafik 1. Wujud Realitas Profetik
Pada tataran tauhid yang merupakan kapasitas bawaan dengan lima struktur dalam yang masing-masing memiliki struktur permukaannya. Satu dengan yang lainnya adalah saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Misalnya dalam teks SPB /dengan bismillah aku mulai/, /alhamdulillah selawatnya nabi/ (SPB 1), ini merupakan konsep akidah yang selanjutnya bertalian dengan keyakinan. Bahwa dalam tauhid, bagi umat Islam setiap melakukan pekerjaan harus didahului membaca bismillah, lalu mengucap alhamdulillah dan shalawat apabila telah selesai melakukan sesuatu kegiatan. Satu hal lagi berkaitan dengan keyakinan bahwa ada alam akhirat. Alam tempat memperlihatkan atas segala perbuatan selama hidup di alam dunia. Di alam akhirat ini ada dua tempat yang akan dilalui oleh manusia, yaitu surga dan neraka.
dijadikan lalai kepada hatimu
cari harta tiadalah jemu
tandanya kita sudah tersemu
akhirat kelak jadi sesalmu (SPB 59)
 Pada tataran ibadah, khususnya struktur permukaan untuk shalat terdapat pada (SPB 15), /sembahyang itu jangan dibuang/, /dosanya besar bukan kepalang/. Ditemukan juga pada (SPB 62) /sembahyang tidak lagi dicita/, (SPB 63) /sembahyang tidak barang sekali/. Secara keseluruhan dalam tataran ibadah ini dapat dilihat pada teks (SPB 52).
jikalau kita hendak selamat
perbuatan kita hendaklah hikmat
berbuat ibadat hendaklah cermat
dunia ini hampir kiamat
Pada tataran akhlak yang berkaitan dengan moral dan etika, misalnya karakter negatif seperti suka meminum arak, menurutkan nafsu setan. Karakter positif seperti mengerjakan amal ibadah tidak berhenti.  Ini dapat ditemukan dalam teks (SPB 54, 58).
inilah balas arak dimakan
karena allah sudah tegahkan
nafsu setan jangan turutkan
ke dalam neraka engkau dimasukkan
barang bercinta akannya mati
tidaklah lupa berbuat bakti
siang dan malam diamat-amati
seumur hidup tidak berhenti
Pada tataran syariat yang berkaitan dengan perilaku normatif, misalnya selama hidup di dunia ini harus mencari harta, mempelajari ilmu, mengamalkan ilmu yang diperoleh. Ini dapat ditemukan dalam teks (SPB 60)
harta itu harus dicari
serta ilmu engkau pelajari
amalkan olehmu sehari-hari
supaya selamat badan sendiri
Pada tataran muamalah yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari, misalnya berniaga, pergi berlayar, berbuat jahat, tidak mampu membedakan halal dan haram. Ini dapat ditemukan pada teks (SPB 26, 64, 65)
astagfirullah banyak penglihatan
isi dunia banyak perbuatan
banyaklah kelakuan seperti setan
ada yang seperti hantu di hutan
jikalau berniaga dengan taatnya
apalah jua dengan salahnya
kita di dunia saja adatnya
mencari nafkah isi rumahnya
ada berniaga sana ke mari
hingga berlayar ke sebuah negeri
ibadat tinggal harta dicari
lupalah ilmu yang dipelajari
3.2 Hubungan Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi
Syayyid Qutb dikutip (Sahril, 2003:7—8), ada tujuh peran sastrawan Islam dalam berkarya: (1) peranan manusia dibatasi kepada khalifah dan hamba Allah. Tidak ada unsure watak manusia hebat atau setara Tuhan, (2) penulis bebas memasuki semua bidang penulisan dan disiplin ilmu asalkan tidak melanggar nilai-nilai Islam, (3) penulis harus menerapkan nilai-nilai Islam dalam penulisannya. Dalam konteks ini penulis harus bersifat komprehensif, yaitu lengkap dalam menggabungkan unsur ibadat dengan muamalat, (4) penulis harus ada keseimbangan dalam mengetengahkan kedua aspek seperti nilai seni dan amanat, (5) penulis harus bersifat positif dan proaktif. Penulis harus memberikan gambaran positif dan negative agar ada keseimbangan, (6) penulis harus bersifat realities, karena Islam merupakan agama yang realistis. Sesungguhnya manusia tidak pernah disuruh melakukan sesuatu yang diluar kemampuannya, dan (7) penulis harus mendukung keesaan Allah. Tidak ada watak-watak atau adegan-adegan yang menyekutukan Allah.
Sastra profetik mengedepankan humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi mungkar) dan transendensi (tu'minuna billah). Artinya, sastra profetik adalah karya sastra yang mampu memberikan keseimbangan antara tema sosial dan tema spiritual, merepresentasikan sejarah kemanusiaan  maupun nilai-nilai kenabian/agama (etika profetik).
Beberapa teks SPB mencerminkan amar makruf dan nahi munkar, ini terlihat pada gambaran ketika manusia telah meninggal dunia. Dalam hal ini Tuhan telah berfirman dalam Al Quran (Yunus, 54) “dan setiap diri yang zalim (musyrik) itu mempunyai segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka menyembunyikan penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan azab itu. Dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedangkan mereka tidak dianiaya.”
Amar makruf dan nahi munkar menurut A. Ilyas Ismail dalam (Permadi, 1995:99), pada hakikatnya merupakan konsep pembinaan masyarakat. Konsep ini terdiri atas dua unsur; (1) unsur amar makruf itu sendiri, yang mengandung perintah membangun masyarakat atau sistem sosial yang didasarkan pada nilai-nilai luhur, dan (2) unsur nahi munkar untuk menjaga masyarakat yang sedang dibangun itu dari berbagai rongrongan baik dari luar maupun dari dalam masyarakat itu sendiri.
Hubungan humanisasi, liberasi, dan transendensi yang berkaitan dengan amar makruf itu antara lain; dunia ini hanya tempat menuntut ilmu, mengamalkannya, mencari harta, tetapi kita harus tetap selalu ingat akan kematian. Ini tertuang pada (SPB 17, 18, 22, 23).
Berkaitan dengan transendensi (tu'minuna billah) ini langsung dapat ditemukan dalam (SPB 36 sampai 51). Teks-teks ini mengisahkan tentang saat-saat menjelang ajal hingga sampai di alam kubur. Berikut ini ilustrasi dari teks tentang menjelang ajal sampai di alam kubur. /takkala kita hampirkan mati/, /badan tidak berdaya/, /dada dan perut terkembut-kembut/, /sakitnya nyawa akan melayang/, /tatkala nyawa sudah dicabut/, /tiada bergerak tiada berpaling/, /badan sudah terlentang/, /datanglah tahlim…mengajar kalimah/, /hendak menjawab tiadalah boleh/, karena /mengerjakan maksiat tiada memilih/, /napas pun bangkit mata berdiri/, lalu /malikat maut datanglah/, orang pun /memandikan mayat…/, lalu /memasukkan mayat sampai ke lubang/, /dua biji nisan juga diberi/, /nungkar dan nangkir datanglah segera/, /menanyai…jikalau salah…kepala dipalu/. Akhirnya ditutup dengan teks (SPB 51)
sakitnya tidak lagi terperi
seperri duduk di atas duri
pukul dan palu sehari-hari
barulah itu sadarkan diri
Berdasarkan ilustrasi teks di atas, memperlihatkan saat-saat menjelang ajal. Hal ini berkaitan pula dikarenakan perilaku semasa hidup di dunia. Di sini konsep transendensi langsung berkaitan dengan humanisasi dan liberasi.
Teks-teks SPB ini ditutup dengan kisah pengarang syairnya sendiri, yang menyimpulkan bahwa mereka hanya mampu menyampaikan nasihat ini.
tidaklah hamba panjangkan madah
karena hati terlalu gundah
bercerita panjang kalau tak sudah
lagi pun mengarang bukannya mudah (SPB 71)
desa lalang kampung saya
di situlah rumah saya
ditolong allah tuhan yang esa
tamatlah syair selamat sentosa (SPB 88)
4.      Penutup
4.1  Simpulan
Teks-teks SPB sarat dengan petuah dan nasihat. Pada dasarnya, petuah dan nasihat yang ditampilkan berkaitan dengan suruhan dan larangan Tuhan. Kisah-kisah yang ditampilkan mencakup kisah kehidupan umat manusia di alam dunia, alam kubur, dan alam akhirat. Kisah itu lebih difokuskan lagi pada balasan Tuhan terhadap kehidupan umat manusia. Yang mengamalkan amar makruf nahi munkar akan mendapat kenikmatan yang luar biasa di alam akhirat. Sedangkan yang tidak mengindahkan amar makruf nahi munkar akan mendapatkan siksaan yang setimpal atas segala perbuatannya di atas dunia.
Eksistensi SPB di tengah-tengah masyarakat pendukungnya berfungsi sebagai hiburan yang bernilai tinggi, karena memiliki nilai pragmatis dan didaktis. Nilai-nilai itu disampaikan sejalan dengan apa yang terkandung dalam ajaran Islam melalui Al Quran.


4.2  Saran
Mengingat keberadaan SPB hanya muncul pada upacara pesta perkawinan dan inipun pada masa sekarang sudah sangat langka masyarakat melaksanakannya. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini kiranya tradisi membaca syair pada acara pesta perkawinan haruslah terus dilestarikan.
Daftar Pustaka
Aziz, Hamka Abdul. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati. Jakarta: Penerbit Al-Mawardi Prima.
Efendi, Anwar. 2011. “Pembelajaran Sastra Profetik sebagai Media Pengembangan Kakakter Siswa” dalam Cakrawala Pendidikan. Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY.
Garaudy, Roger. 1988. Janji-janji Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Gazalba, Sidi. 1988. Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dengan Seni Budaya Karya Manusia. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadi WM, Abdul. 1986. “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Indonesia Modern”. Dalam Horison/XXII/1986.
Hadi WM, Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hadi WM, Abdul. 2004. Hermeneutika, Esetetika, dan Religiusitas. Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Penerbit Matahari.
Hidayatullah, M. Irfan. 2006. “Estetika Sastra Profetik, Analisis Struktural-Semiotik atas Gagasan dan Karya Kuntowijoyo”. Tesis. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia.
Iqbal, Muhamad. 2008. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Terjemahan Ali Audah, dkk. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Kuntowijoyo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Jakarta: Grafindo Litera.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogjakarta: Kanisius.
Permadi, K. 1995. Iman & Takwa: Menurut Alqur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik; Khazanah Sastra Sejarah Indonesia Lama. Denpasar: Larasan-Sejarah.
Sahril. 2003. Syair Cermin Islam: Aktualisasi Nilai Kehidupan Islami. Medan: Balai Bahasa Medan.
Salad, Hamdi. 2005. “Narasi Sastra Religius”. Republika, hlm 6.
Suyitno. 2002. Sastra, Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Penerbit PT. Hanindita.
Prophetic Literature: From Oracles to Books. Wiley-Blackwell
Wangsitalaja, Amien. 2012. “Kuntowijoyo Sastrawan Profetik dalam Suara Muhammadiyah. Edisi 21 2002.

Lampiran Teks Syair Pengantin Baru (SPB)
1.
dengan bismillah aku mulai
alhamdulillah selawatnya nabi
dengan takdir allah urabbi
sampailah maksud yang dicintai
2.
cintanya tidak berapa lama
sekarang sudah kami terima
empat bulan masuk kelima
duduk bersanding bersama-sama
3.
asam kandis asam belimbing
buat menggulai ikan sembilang
hitam manis duduk bersanding
macamlah bulan dipagar bintang
4.
mari digulai ikan sembilang
dimakan anak di muka pintu
bagaikan bulan dipagar bintang
senanglah hati ibu bapakmu
5.
ayuhai sekalian saudara yang hadir
tua dan muda besar dan kecil
dengar olehmu kami bersyair
supaya selamat batin dan zahir
6.
syair dikarang suatunya peri
hamba yang fakir dagang yang khori
duduk di rumah seorang diri
dikarangkan syair khabar dan peri
7.
ya allah tuhan yang satu
nabi muhammad pesuruh-nya tentu
rahmat syafaat setiapnya waktu
panjangkan umur pengantin itu
8.
ya allah tuhan yang rahman
tetapkan olehmu taatkan iman
sehatkan badan di dalam aman
pengantin ini tambahkan iman
9.
ya allah tuhan yang rahman
nabi muhammad yang akhir zaman
rahmat syafaat sepanjang zaman
kepada pengantin usul budiman
10.
ya allah tuhan yang khodrat
wahai junjungan nabi muhammad
pengantin ini beri selamat
dari dunia sampai akhirat
11.
ya allah malikhul rabbi
pengantin ini tetapkan hati
minta kurnia pangkat yang tinggi
di akhirat boleh engkau terpuji
12.
ya allah malikhul rahman
pengantin ini tetapkan iman
amal ibadat minta kuatkan
setan dan iblis minta jauhkan
13.
ya allah malikhul manan
doalah kami minta perkenan
siang dan malam sepanjang zaman
bala dan fitnah minta jauhkan
14.
wahai pengantin muda jauh hari
pesanan kami kau ingati
engkau masuk kau ke dalam hati
jangan ditaruh di ibu kaki
15.
wahai pengantin muda cemerlang
kami doakan malam dan siang
sembahyang itu jangan dibuang
dosanya besar bukan kepalang
16.
ayuhai saudara sekalian islam
hamba yang doib berkirim salam
janganlah lupa siang dan malam
beramallah tuan janganlah diam
17.
ayuhai saudara arif dermawan
pikir olehmu jangan tertawan
tuntutlah ilmu disuruh tuhan
jangan beramal tiada ketahuan
18.
ilmu usulluddin engkau pelajarkan
kepada yang mahir tuan gurukan
wajib mukallaf diberitahukan
supaya syah ilmu yang diamalkan
19.
jikalau tiada demikian itu
jahil murtat kiranya tentu
tiada faedah amal sesuatu
walau bertapa di gua batu
20.
janganlah syakh wahai ikhwani
karena ulama sudah berperi
pikir olehmu diri sendiri
jangan menyesal kemudian hari
21.
jikalau tuhan tidak dibenarkan
cobalah lihat hadis dan firman
saya tidak guru andalan
supaya terang kepadanya tuan
22.
ayuhai saudara tua dan muda
hendaklah pikir senantiasa
jangan seperti orang yang buta
tinggal ibadat mencari harta
23.
astafirullah heranlah hati
melihat rupa laku pekerti
sedikit tidak ingatkan mati
bersuka ria tidak berhenti
24.
ada yang berhimpun suatu tempat
sahabat handai penuh di tempat
beberapa bohong dengannya umpat
suka tertawa terlompat-lompat


25.
astafirullah heran hatimu
hamba allah banyak tersemu
kepada dunia banyak yakinmu
di dalam akhirat sangat sakitmu
26.
astagfirullah banyak pengelihatan
isi dunia banyak perbuatan
banyaklah kelakukan seperti setan
ada yang seperti hantu di hutan
27.
apabila berbunyi rebab kecapi
lalai di sana engkau menghadapi
akan allah sudahlah nafi
di dalam neraka dimakan api
28.
apabila berbunyi gong dan gendang
lalai di sana engkau memandang
akan allah tidak berpantang
di dalam neraka ia direndang
29.
sudah memakai emas dan perak
pergi meminum tuak dan arak
gegab gempita tampik dan sorak
ke dalam neraka ia diarak
30.
inilah kebanyakkan segala mereka
nikmat di dunia sangatlah suka
ditukarnya dengan nikmat surga
allah balaskan dengan neraka
31.
ingatlah tuan saudara sekalian
baik dicari bekal berjalan
ke negeri baka tempat kesudahaan
jangan diikut kafir kehinaan
32.
janganlah lupa memuji tuhan
supaya datang rahmat kasihan
hendaklah ingat kita nan tuan
nafsu setan hendak ditahan
33.
barang yang sudah hendak terkena
tidaklah sadar dirinya fana
barang siapa ikhtikat sempurna
dunia ini tidak berguna
34.
siapa yang ingat akannya mati
dunia ini tempat berhenti
sekadarnya tempar berbuat bakti
akhirat juga yang dinanti-nanti
35.
kita ini sangatlah bimbang
lalai dengan utang piutang
malaikatmaut hampirkan datang
entahkan pagi entahkan petang
36.
tatkala kita hampirkam mati
datang penyakit tiada berhenti
sahabat handai datang mengobati
tak usahkan senang malah menyakiti
37.
tatkala badan tidak berdaya
hilanglah akal budi upaya
rupanya tinggal akan di dunia
kasih dan sayang tinggallah dia
38.
tatkala nyawa hendak tercabut
baru itulah sesal berkabut
dada dan perut terkembut-kembut
naik turun nafas berebut
39.
senantiasa badan terguling
tiada bergerak tiada berpaling
adik dan kakak duduk keliling
ada yang menghadap ada yang berpaling
40.
senantiasa badan terlentang
tiada bergerak seperti batang
sahabat handai sekalian datang
ada yang memegang ada yang menantang
41.
datanglah alim hilir dan ulu
mengajar kalimat bertalu-talu
hendak menjawab tiadalah lalu
bibir pun berat lidah pun kelu
42.
hendak menjawab tiadalah boleh
hingga peluh juga meleleh
sebab meninggalkan amal yang shaleh
mengerjakan maksiat tiada memilih
43.
datanglah lebai dengannya khori
duduk mengaji kanan dan kiri
orangnya tidak sadarkan diri
panas pun bangkit mata berdiri
44.
sakitnya nyawa akan melayang
kepada badan uang dan dayang
badan seperti mabuk kepayang
tinggal sekalian kasih dan sayang
45.
malaikatmaut datanglah segera
merah padam warnanya muka
mengambil nyawa dengan seketika
tinggallah sekalian yang ada di dunia
46.
tatkala nyawa sudahlah terbang
tinggal sekalian uang dan dayang
datanglah fakir yang kasih sayang
memandikan mayat lalu sembahyang
47.
tatkala nyawa sudahlah terbang
meninggalkan dunia terlalu bimbang
datanglah sekalian kakak dan abang
memasukkan mayat sampai ke lubang
48.
ditimbun lubang tanah diberi
dua biji nisan pula diberi
talakin dibaca pula diajari
bangunlah mayat menatap diri
49.
nungkar dan nangkir datanglah segera
serta cakmarnya dengan gembira
takutlah tidak lagi terkira
di hatinya tidak lagi terbicara
50.
datangnya itu menanyai kamu
sipolan itu siapa tuhanmu
jikalau salah sedikit jawabmu
kepala dipalu sekalian jasadmu
51.
sakitnya tidak lagi terperi
seperti duduk di atas duri
pukul dan palu sehari-hari
barulah itu sadarkan diri
52.
jikalau kita hendak selamat
perbuatan kita hendaklah hikmat
berbuat ibadat hendaklah cermat
dunia ini hampir kiamat
53.
hendaklah kita berbuat kebajikkan
ibu dan bapak kita muliakan
jikalau hatinya kita sakitkan
di dalam neraka allah gantikan
54.
inilah balas arak dimakan
karena allah sudah tegahkan
nafsu setan jangan turutkan
ke dalam neraka engkau dimasukkan
55.
dijadikan dunia oleh tuhanmu
bukan di sini akan tempatmu
sekadar ibadat dengan amalmu
serta amalkan dengan yakinmu
56.
bukan dunia negeri yang baka
sekadar duduk dengan seketika
akhirnya kelak berpindah juga
laki-laki perempuan habis belaka
57.
bukannya tidak sudah dikata
oleh segala sidang pendeta
yang mati itu tunangan kita
baiklah juga dicita-cita
58.
barang bercinta akannya mati
tidaklah lupa berbuat bakti
siang dan malam diamat-amati
seumur hidup tidak berhenti
59.
dijadikan lalai kepada hatimu
cari harta tiadalah jemu
tandanya kita sudah tersemu
akhirat kelak jadi sesalmu
60.
harta itu harus dicari
serta ilmu engkau pelajari
amalkan olehmu sehari-hari
supaya selamat badan sendiri
61.
harta itu cari olehmu
sambilkan dengan menuntut ilmu
serta amalkan dengan yakinmu
supaya jangan jadi sesalmu
62.
setengah haram mencari harta
sembahyang tidak lagi dicita
ilmu sepatah haram tiada
kerja maksiat semata-mata
63.
siang dan malam berjual beli
meninggalkan amal tiada peduli
sembahyang tidak barang sekali
itulah tanda orang buta tuli
64.
jikalau berniaga dengan taatnya
apalah jua dengan salahnya
kita di dunia saja adatnya
mencari nafkah isi rumahnya
65.
ada berniaga sana ke mari
hingga berlayar ke sebuah negeri
ibadat tinggal harta dicari
lupalah ilmu yang dipelajari
66.
kepada allah tiadalah lupa
berbuat jahat tidaklah apa
kepada pikiran tidak mengapa
halal dan haram jadi serupa
67.
inilah tanda orang yang celaka
berbuat jahat tidaklah apa
meningalkan ibadat sangatlah suka
berbuat maksiat tiada mengapa
68.
hambar dan nahi tiadalah ngeri
pekerjaan jahat juga digemari
berbuat pasik sehari-hari
membuat ibadat tiada digemari
69.
apabila bertemu sesama pemuda
gegab gempita gurau dan senda
banyaklah cakap mengada-ada
kata yang benar haram tiada
70.
kata hamba yang menceritakan
perkaraan tidak hamba panjangkan
kisah banyak lagi disebutkan
itulah sekadar mengambil ringkasan
71.
tidaklah hamba panjangkan madah
karena hati terlalu gundah
bercerita panjang kalau tak sudah
lagi pun mengarang bukannya mudah
72.
duduklah hamba seorang diri
cinta yang tidak lagi terperi
terkenangkan untung badan sendiri
mencari nafkah sehari-hari
73.
syair dikarang suatunya peri
hamba yang fakir dagang yang khori
duduk di rumah seorang diri
dikarangkan syair khabar dan peri
74.
terlalu masghul hati di dalam
keluh kesah siang dan malam
ramailah sudah berkokok ayam
terlalai seketika di atas tilam
75.
habislah nasihat tamatlah kalam
syair fatimah yang punya salam
salah percakapan tersebut kalam
jangan disimpan hati di dalam
76.
dari alai ke bandar khalifah
singgah bermuat kayu nipah
badan pun lalai dawat tertumpah
mana yang salah minta maafilah
77.
dari medan ke pekan baru
singgah bermalam di rumah penghulu
jikalau tuan hendaknya tahu
rumah saya bertiang bambu
78.
desa lalang pekan jumat
banyaklah orang berjual obat
sanak saudara hendaklah ingat
masuk ke kubur selalu ingat
79.
ayuhai tuan tua dan muda
meminjam syair janganlah lama
empat hari masuk kelima
pulangkan syair pada yang punya
80.
terang bulan amat cuaca
naik ke darat memetik bunga
jikalau tuan sudah membaca
pulangkan surat pada yang punya
81.
naik ke darat memetik bunga
bunga anggrek di atas pagar
kembalikan surat kepada yang punya
janganlah carik jangan terbakar
82.
bunga anggrek di atas pagar
pagarlah sesak dengan pintunya
jangan carik jangan terbakar
janganlah rusak barang sesuatunya
83.
tamatlah syair khabar dan peri
karena hamba fakir yang khori
duduk di rumah sehari-hari
mengarang syair suatunya peri
84.
hamba tiada mengaku kelebihan
tiap-tiap makhluk ada kesalahan
karena hamba kurang pengetahuan
jahil dan bodoh nyatalah tuan
85.
dikarang juga sebarangnya peri
harapkan diterima saudara sendiri
tempat hamba di kebun ubi
mencari nafkah sehari-hari
86.
makdum konon nama yang nyata
mengarang syair belum biasa
duduk di rumah senantiasa
karena hamba sudahlah tua
87.
khatamlah syair hamba karangkan
sekadar itulah yang didapatkan
entah ia entah pun bukan
kisah yang lain pula diceritakan
88.
desa lalang kampung saya
di situlah rumah saya
ditolong allah tuhan yang esa
tamatlah syair selamat sentosa





















[1] Pendapat G.H. Werndly (1736) seperti dikutip Shaleh Saidi, ia membagi tingkatan tutur bahasa Melayu menjadi 5 kelompok: (1) bahasa Jawi; bahasa umum, (2) bahasa istana/tinggi, (3) bahasa bangsawan; bahasa orang-orang berpangkat, orang besar (di atas bahasa Jawi), (4) bahasa gunung atau bahasa desa, dan (5) bahasa kacukan atau bahasa pasar; bahasa yang digunakan untuk jual beli. Lihat lebih lanjut Shaleh Saidi, Melayu Klasik; Khazanah Sastra Sejarah Indonesia Lama (Denpasar: Larasan-Sejarah, 2003), hlm. 24.