SYAIR PENGANTIN BARU: SEBAGAI
SASTRA PROFETIK MELAYU DELI
OK. Sahril
Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara
Jalan Kolam (Ujung) No. 7, Medan Estate, Medan
Abstract
Prophetic literature is a
concept based on the prophetic work. Prioritize
humanization, liberation, and transcendence. Prophetic
literature is literature that is able to provide a balance between the social themes
and spiritual themes, representing the history of humanity and prophetic values/religion.
This paper uses qualitative
survey methods. The
theory used in this paper is a
prophetic literary theory, which
sees literature as a spiritual concepts
and social concepts
(habluminallah and habluminannas). This paper analyzed 107 text
poem that became the
subject of research. The findings
of the research on
text SPB, namely
the alignment between the spiritual concept (habluminallah)
and social concepts
(habluminannas).
Kewords: prophetic literature, poetry spiritual and social
Abstrak
Sastra
profetik adalah sebuah konsep berkarya yang berlandaskan pada kenabian.
Mengedepankan humanisasi, liberasi, dan transendensi. Sastra profetik adalah
karya sastra yang mampu memberikan keseimbangan antara tema sosial dan tema
spiritual, merepresentasikan sejarah kemanusiaan maupun nilai-nilai
kenabian/agama. Tulisan
ini menggunakan metode survei kualitatif. Teori yang digunakan dalam tulisan
ini adalah teori sastra profetik, yang melihat karya sastra sebagai konsep
spiritual dan konsep sosial (habluminallah dan habluminannas).
Tulisan ini menganalisis 107 teks syair yang menjadi subjek penelitian. Temuan dari hasil penelitian
terhadap teks SPB, yaitu adanya keselarasan antara konsep spiritual
(habluminallah) dan konsep sosial (habluminannas).
Kata kunci: sastra
profetik, syair spiritual dan sosial
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam perkembangannya, sejarah kesusastraan Indonesia dibangun
oleh keragaman paham atau estetika yang tumbuh dan berkembang seiring dengan
ruang sosial politik bangsa, kreativitas para sastrawan, dan gagasan-gagasan
sosial budaya intelektual Indonesia (Hidayatullah, 2006:6). Keterjalinan antara
tiga faktor tersebut menjadikan estetika sastra Indonesia memiliki identitas
yang khas. Kekhasan identitas itulah yang mewarnai paham dan aliran yang hidup
dan berkembang dalam periodisasi waktu tertentu. Fakta menunjukkan bahwa dalam
perkembangan sejarah sastra Indonesia, muncul berbagai istilah sastra yang
berkembang di masyarakat, seperti: sastra pamflet, sastra eksistensial, sastra
sosial, sastra kritis, sastra absurd, sastra religius, sastra kontekstual,
sastra universal, sastra pinggiran, sastra kota, dan sastra buruh.
Salah satu istilah yang popular dalam perkembangan sejarah
sastra adalah bahasan mengenai sastra religius. Bahkan, sastra religius telah
dianggap sebagai genre (aliran) tersendiri dalam ranah kesusastraan. Dalam
perkembangan selanjutnya, lahir pula istilah-istilah lain yang berdekatan
dengannya, seperti sastra mistik, sastra holistik, sastra transenden, sastra
filsafat, sastra pencerahan, dan sastra terlibat dunia dalam.
Pertumbuhan sastra religius, terutama dalam khazanah budaya
Melayu-Indonesia, banyak didominasi teks-teks sastra yang bersumber pada nilai
dan ajaran agama Islam. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab munculnya
ragam istilah yang kemudian dikenal dengan sastra religius Islam, sastra bernapaskan
Islam, atau sastra bertema keislaman.
Dalam khazanah sastra Indonesia, terutama pada periode klasik,
gagasan-gagasan sastra Islam telah lahir dan berkembang bersamaan dengan
masuknya pengaruh agama Islam ke dalam berbagai wilayah tradisi dan budaya nusantara.
Keberadaan sastra Melayu (syair, pantun, gurindam), sastra Jawa (babad, serat,
suluk), dan sastra pesantren (sastra kitab, singiran, nadhoman)
setidaknya dapat ditengarai sebagai awal dari kelahiran gagasan sastra Islam di
nusantara. Pada saat sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya
gagasan-gagasan sastra Islam dalam sastra Indonesia modern dengan berbagai
polemik yang menyertainya (Salad, 2005).
Gagasan-gagasan sastra Islam dalam sastra Indonesia modern,
secara tidak langsung telah muncul ke permukaan sejak tahun 60—70-an.
Gagasan-gagasan itu lahir bukan saja dalam bentuk karya, tetapi juga dalam
bentuk wacana. Dalam bentuk karya, gagasan tersebut tersebar melalui teks-teks
sastra yang dihasilkan oleh sejumlah sastrawan muslim dari berbagai periode
angkatan sastra Indonesia sampai terkini. Dalam bentuk wacana, gagasan tersebut
telah memunculkan ragam istilah yang berbeda, namun memiliki arah dan tujuan
yang hampir sama. Beberapa di antaranya ialah sastra Islami, sastra ibadah,
sastra dakwah, sastra dzikir, sastra kaffah, sastra sajadah, dan sastra qurani. Istilah-istilah tersebut
digunakan oleh para pendukungnya sebagai usaha untuk menjelaskan keberadaan dan
kemungkinan-kemungkinan sastra Islam dalam proses kreatif maupun ekspresi
estetiknya. Salah satu istilah yang dikembangkan secara mendalam sebagai wacana
utama dalam dinamika sastra Islam Indonesia modern, yaitu sastra profetik.
Menurut Hadi WM (2004:24-25), sastra profetik merupakan sastra
yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia atau pembacanya kepada Tuhan dan
menghayati petunjuk-petunjuk-Nya. Sastra profetik berfungsi memberi pencerahan
dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis. Di samping itu,
sastra profetik bertujuan untuk merealisasi sifat-sifat ketuhanan dalam diri
manusia serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan
kerohanian.
Dalam perspektif yang lebih luas, kehadiran sastra profetik
dapat dikaitkan dengan fenomena kehidupan masyarakat modern. Seyyed Hosein Nasr
mengatakan bahwa manusia modern telah kehilangan visi ketuhanan, kehilangan keyakinan
yang penuh terhadap Yang Transenden. Kondisi itu menyebabkan manusia merasa
kehilangan makna dalam kehidupan yang selalu berubah dengan cepat dan cenderung
bersifat mekanik. Oleh karena itu, untuk memulihkan kondisi kejiwaan manusia
modern, Nasr menawarkan tasawuf dan aktivitas spiritualitas lainnya sebagai
alternatif pembebasan manusia dari kungkungan pandangan serba rasional dan
materialistis (Iqbal, 2008:24).
Dalam ranah filsafat, Roger Garaudy mempertanyakan kembali keberadaan
filsafat analitik dan rasionalisme atau historisme materialis yang sedang mengalami
jalan buntu. Dari perspektif epistimologis, Garaudy (1988:6) menjelaskan bahwa
filsafat analitik dan rasionalisme telah membawa ekses-ekses yang mengasingkan manusia
dari Tuhan dan diri sendiri. Filsafat modern yang begitu antusias mengajak
manusia kembali kepada dirinya, ternyata justru semakin menjauhkan manusia dari
pengenalan jati diri. Hal itulah yang memunculkan pertanyaan, bagaimana mungkin
manusia dapat mengenali jati diri jika tidak memiliki kesadaran semesta dan
kesadaran tentang asal usul kerohaniannya (Hadi WM, 2004:4).
Semangat profetik yang mendasari pemikiran Seyyed Hosein Nasr
dan Roger Garaudy itulah yang mewarnai lahirnya gerakan sastra profetik,
termasuk dalam perkembangan sastra Indonesia. Sebagaimana pernyataan seorang penyair
Jepang, Akiya Yutaka, dalam Konferensi Penyair Asia II di Seoul, bahwa doa,
cinta, dan sembahyang merupakan hal yang sangat penting dalam penciptaan puisi.
Penyair modern mempunyai tugas berat yang harus dipikul, yakni memberikan
pencerahan dan ikut menyeimbangkan dunia yang berat sebelah pada kehidupan materialistik
dengan nilai-nilai kerohanian (Hadi WM, 2004:5-6).
Sastra profetik merupakan pengembangan dari sastra yang
bercorak religius di mana dalam sastra profetik ada unsur yang harus terpenuhi
bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan. Sastra profetik merupakan inspirasi
dari Jalaludin Rumi dan Muhammad Iqbal, di mana manusia memiliki sikap
kebebasan apa yang menjadi pemimpin. Seni merupakan menjadi alat perubah dan
pengerak realitas sosial dan seniman menjadi inspirator perubahan serta
bagaimana menciptakan yang lebih baik.
Sebagaimana unsur sastra yang bercorak profetik menurut
pandangan Jalaludin Rumi dan Muhammad Iqbal, meliputi kebesaran makna Illahiah,
manusia merupakan mahluk yang merdeka dan kreatif, manusia menjadi khalifah dan
melibatkan diri dalam proses sosial, sedangkan yang terkhir keseimbangan antara
dimensi vertikal dengan horizontal.
Sastra profetik adalah sebuah konsep berkarya yang berlandaskan pada
kenabian. Al Quran, surat Al Imran ayat 110: “Kamu ialah sebaik-baik umat yang
dilahirkan bagi umat manusia, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran
dan beriman kepada Allah."
Sastra profetik mengedepankan humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi
mungkar) dan transendensi (tu'minuna
billah). Artinya, sastra profetik adalah karya sastra yang mampu memberikan
keseimbangan antara tema sosial dan tema spiritual, merepresentasikan sejarah
kemanusiaan maupun nilai-nilai kenabian/agama (etika profetik).
Selanjutnya pada penerapan sastra profetik yaitu dengan menciptakan karya
sastra yang memiliki semangat humanisasi dan liberasi yang ditopang dengan
transendensi. Intinya menciptakan bentuk-bentuk pengucapan yang bersifat
transcendental, serta keterlibatan dengan realitas sosial; yaitu ada
keseimbangan antara dimensi ukhrawiyah dan dimensi duniawiyah.
Syair Pengantin Baru (SPB),
bila dilihat dari skala isinya merupakan perpaduan antara dimensi ukhrawiyah dan
dimensi duniawiyah. Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba melihat perpaduan dua
dimensi tersebut dilihat dari etika profetik.
1.2 Masalah
Berangkat dari deskripsi di atas, bahwa sebuah karya
sastra profetik memiliki dua dimensi, yaitu dimensi spiritual dan dimensi
sosial, maka permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu:
1)
Apa wujud
realitas profetik dalam SPB?
2)
Bagaimana hubungan humanisasi (amar ma'ruf),
liberasi (nahi mungkar), dan
transendensi (tu'minuna billah) yang
terangkum dalam SPB?
1.3 Tujuan
Manusia dituntut untuk ber-amarma’ruf nahi munkar. Amar
ma’aruf adalah memanusiakan manusia, sedangkan nahi munkar adalah
pembebasan, dan beriman kepada Tuhan adalah transendental. Penjumlahan semua
itu menurut Kuntowijoyo menjadi sastra profetik. Sastra profetik telah
menanamkan dan memperkaya cakrawala sastra religius yang lebih membawa
pencerahan dan tidak melulu lebih sibuk mengurus hablumminallah (melangit) daripada hablumminannas (membumi).
Sejalan
dengan rumusan masalah di atas, tujuan tulisan ini
dirumuskan sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan wujud realitas profetik
dalam SPB,
dan (2) mendeskripsikan hubungan humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi
mungkar), dan transendensi (tu'minuna
billah) yang terangkum dalam SPB.
1.4 Metode
Tulisan ini menggunakan metode survei kualitatif. Data
diperoleh melalui survei langsung kepada penutur sastra lisan SPB, yaitu
kelompok marhaban di Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan
perekaman dan pencatatan langsung terhadap kelompok marhaban.
Pengumpulan data ini dilakukan terhadap kelompok
marhaban yang sedang menampilkan SPB pada sebuah pesta perkawinan di Kota
Medan. Penulis diberi kesempatan hadir pada acara pesta perkawinan tersebut. Di
lokasi pesta perkawinan itu, penulis merekam SPB yang dibawakan oleh kelompok
marhaban. SPB ditampilkan setelah kelompok ini menampilkan marhaban dan
barzanzi.
Setelah selesai acara pesta perkawinan itu, penulis
membuat janji untuk bertemu langsung dengan ketua kelompok marhaban. Akhirnya,
penulis diberi kesempatan juga untuk berkunjung ke rumah ketua kelompok
marhaban di Medan. Pada saat penulis melakukan percakapan semuka dengan ketua
kelompok marhaban, penulis diberi kesempatan lagi untuk merekam teks SPB.
Walaupun pada saat dibacakan teks SPB itu sudah tidak ada lagi nada dan
iramanya. Berbeda pada saat acara pesta perkawinan tersebut. Namun demikian,
perekaman kedua ini sangat membantu penulis untuk mendapatkan teks SPB lebih
jelas lagi.
2. Kerangka Teori
Sastra yang bermukim pada wilayah teologi Islam,
merupakan bibit dari munculnya kesusastraan Melayu. Sedang sastra keagamaan
yang merujuk pada Islam itu dapat dibagi menjadi tiga cabang, yaitu; ilmu
tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Di antara ketiga cabang ilmu dalam kajian
Islam tersebut, ilmu tasawuf merupakan yang paling dekat dengan sastra,
khususnya sastra Islam.
Menurut Kuntowijoyo (2006:128), ilmu tasawuf menjelaskan
tentang wilayah esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Setelah melewati
persinggahan-persinggahan (maqamat)
dalam rasa kebatinan yang begitu dalam, banyak tokoh tasawuf (sufi) berharap
untuk dapat bersatu dengan Tuhan, berusaha mendapatkan kesejatian diri,
kesejatian alam, dan kesejatian Tuhan. Pesona indah kalimat yang diucapkan para
sufi yang mengharap pancaran Ilahi menyelam ke dalam hati, berbeda dengan
pengalaman pahit yang mereka derita. Karena manusia tidak bisa melepaskan diri
dari pengertian tentang Tuhan, maka banyak kemungkinan bagi para sufi untuk
memperoleh derajat tertinggi jika sudah bersatu dengan Tuhan, atau bersatu dengan
semesta. Singkatnya, dalam persinggahan itu muncul kalimat-kalimat yang begitu
indahnya dengan penjiwaan yang begitu teramat dalam serta mengandung keindahan
bahasa yang sungguh luar biasa.
Dalam kesusastraan Islam, karya-karya paling universal
termasuk ladang garapan tasawuf. Semangatnya yang membangkitkan kesusastraan
Arab dan Persia, mulai dari lirik-lirik lokal dan sajak-sajak epiknya sampai
kepada karya-karya didaktik dan mistik yang dimensinya sangat universal.
Tasawuf memperkaya sastra Arab, kebanyakan dalam bentuk prosa dan sastra Persia
Islam yang lebih lokal sifatnya. Perkembangannya mencapai ketinggian setelah
berada di tangan para sufi.
Tak pelak lagi, pengaruh tasawuf sangat besar sekali.
Hampir dalam setiap bentuk seni, mulai dari puisi sampai kepada arsitektur
terlihat dengan jelas perpaduannya dengan tasawuf. Para sufi hidup di dunia ini
seakan-akan tinggal di suatu tempat yang dinamakan sebagai pelataran depan
Taman Firdaus, dan karenanya menghirup udara dalam suasana yang penuh getar
kerohanian, di mana keindahan memancar dari perkataan dan perbuatan mereka.
Dalam konteks sejarah sastra Islam di Indonesia, Hamzah
Fansuri merupakan pelopor sastra Islam yang bernuansa sufistik, merupakan
cendekiawan dan pemimpin tasawuf yang berpengaruh pada zamannya. Peranan
penting beliau dalam sejarah pemikiran dunia Melayu nusantara bukan saja karana
gagasan tasawufnya, malah puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair
menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.
Sebagai pencipta pertama syair Melayu dengan bentuk puisi
empat baris dengan pola sajak akhir aaaa, bakat Hamzah Fansuri sebagai
sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama
menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual
daripada Al Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa
intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan
pada zaman itu.
Menurut Geertz
(1989:67), berkembangnya
sastra profetik,
tradisi pelantunan al-mada’ih al-nabawiyah mengiringi kegiatan ritual
keagamaan umat Islam Indonesia (terutama Jawa) dalam bentuk upacara slametan
dengan berbagai macamnya. Fenomena ini sulit untuk dipungkiri bahkan kalau
boleh dipaksakan, disimpulkan sastra profetik
mengiringi peningkatan spiritualitas keagamaan umat Islam dalam era global yang
penuh tantangan ini. Dan lebih jauh lagi dapat disimpulkan tradisi sastra profetik merupakan benteng terakhir kehangatan spiritual umat
Islam di era global ini.
Tradisi sastra lisan
dengan membacakan syair ini juga ditemukan di berapa daerah Melayu Sumatera
Utara. Tradisi membacakan syair ini tidak ada iringan musik ataupun gerak tari.
Bersyair hanya mengandalkan kemampuan membaca kitab Arab-Melayu yang dibarengi
kemampuan olah suara. Oleh karena itu,
tradisi bersyair punya ciri khas tersendiri dari pengembangan sastra lisan
tradisi Melayu.
Dari sisi media yang
digunakan, bersyair menggunakan kitab yang sudah dianggap pakem oleh
pembaca kelompok marhaban, yakni (1) kitab Qasasul Anbiya’; berisi perjalanan
hidup para Nabi dan Rasul. (2) Kitab Nur Muhammad; berisi perjalanan
hidup Nabi Muhammad SAW yang terdiri atas tiga bagian, yakni sejarah kelahiran
Nabi, mukjizat beliau dan pengangkatan beliau menjadi Nabi dan Rasul hingga
meninggal dunia. (3) Kifayatul Muhtaj; kisah
Isra’ Mi’raj Nabi SAW. (4) Syair Yatim
Musthafa, (5) Kitab Qurtubi Kasyful
Gaibiyyah; bercerita masalah kiamat dan kehidupan di dalam kubur.
Kitab-kitab ini semuanya berbahasa Melayu.
Pemakaian bahasa
Melayu dalam penulisan teks dari naskah syair
menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah benar-benar menjadi bahasa
umum (lingua franca) di semua kalangan masyarakat nusantara kala itu.
Selain itu, penggunaan bahasa Melayu dalam syair menjelaskan posisi terhormatnya bahasa Melayu kala itu
sehingga bisa digunakan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam. Jenis bahasa
Melayu yang terdapat dalam kitab-kitab yang digunakan untuk bersyair adalah Melayu
tingkatan tutur bahasa Jawi; bahasa umum.
Kuntowijoyo
(2006) mendasarkan perumusan sastra profetik (dan
profetisitas secara umum) kepada Al Quran surah Ali Imran: 3. Ada empat hal tersirat dari ayat ketiga surah Ali Imran
ini, yaitu (1) konsep tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3)
pentingnya kesadaran, dan (4) etik profetik.
Pertama, konsep tentang umat terbaik (the choosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan
tiga hal sebagaimana disebut oleh ayat tersebut. Jadi, sebuah umat tidak akan
secara otomatis menjadi the choosen
people. Konsep the choosen people
dalam Islam ini berbeda dengan konsep the
choosen people dari Yudaisme. Konsep Yudaisme menyebabkan rasialisme,
sedangkan konsep umat terbaik dari Islam justru berupa sebuah tantangan untuk
bekerja lebih keras ke arah aktivisme
sejarah.
Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia
(ukhrijat li an nas) berarti bahwa
yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Wadat (tidak
kawin), uzlah (mengasingkan diri),
dan kerahiban tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan
yang melupakan keduniaan bukanlah
kehendak Islam, karena Islam adalah agama amal.
Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai Ilahiyah menjadi
tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etik Islam dari etik
materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstruktur (kesadaran) ditentukan
oleh struktur (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan pandangan
Islam tentang independensi kesadaran. Demikian pula, pandangan yang selalu
mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme,
kapitalisme) bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan bentuk kesadaran
bukan individu tetapi Tuhan. Demikian juga segala bentuk sekularisme, ia
bertentangan dengan kesadaran Ilahiyah.
Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa
saja, baik individu (orang awam, ahli, superahli), lembaga (ilmu, universitas,
ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok masyarakat).
Semua diharuskan untuk mengamalkan ayat ini, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah kejelekan), dan iman (tu’minuna) bi Allah (beriman kepada Allah). Ketiga hal ini adalah
unsur yang tidak terpisahkan dari etik profetik.
Istilah
profetik berasal dari kata prophetik yang berarti ‘janji atau harapan’. Dalam
konsteks sastra, profetik dapat diartikan: (1) peringatan akan munculnya
kejadian di luar dugaan, (2) adanya prediksi tentang kejadian yang bersifat
determinan, (3) ungkapan-ungkapan yang bersifat abstrak, dan (4) adanya dialog
yang memperlihatkan tanda-tanda awal tentang kejadian mendatang. Mengacu pada
uraian di atas semangat profetik dalam karya sastra pada hakikatnya adalah
semangat tentang kerisalahan (Kuntowijoyo, 2006).
Segi penting dalam sastra profetik
adalah tolok ukurnya yang hakiki, yaitu sumber penemuan jati diri manusia
kembali dan penyebab tumbuhnya kemungkinan-kemungkinan transendetal. Oleh
karena itu, karya sastra profetik tidak hanya mengacu ke bumi tetapi juga
mengacu ke laingit. Artinya, karya sastra profetik berusaha menampilkan
persoalan hakiki yang menyangkut kebenaran. Sastra yang memiliki semangat
profetik adalah sastra yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia akan
Tuhannya, kebaradaan manusia di hadapan Tuhan, dan kesanggupan manusia menerima
petunjuk Tuhan (Hadi WM, 1986).
2.1 Tradisi Bersyair
Dalam perjalanan
sejarah, perkembangan sastra tulis dan lisan jauh lebih beragam ketika Islam
masuk ke nusantara. Media bahasa yang berkembang dan digunakan pun beralih ke
bahasa Melayu beraksara Arab yang kemudian dikenal dengan huruf Arab-Melayu.
Teks sastra Islam Melayu dituliskan dalam bahasa Melayu, yang kemudian
menggunakan huruf Arab ini merupakan dokumentasi kehidupan spritual nenek
moyang bangsa Indonesia serta memberikan gambaran yang memadai tentang alam,
pikiran, dan lingkungan hidupnya. Naskah sastra Islam Melayu sebagai wujud dari
sastra Islam Melayu ini memiliki fungsi sosial dalam proses penyebaran dan
sosialisasi dasar-dasar agama Islam pada waktu itu.
Seiring dengan
masuknya Islam dari Asia Barat, kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi (istilah
Hindu) tergeser dengan konsep Allah SWT melalui ajaran-ajaran tauhid.
Pertama-pertama konsep-konsep inti Islam terserap dalam bahasa Melayu sebagai lingua
franca kala itu. Dan seiring penyebaran bahasa Melayu (terutama melalui
jalur perdagangan) ke berbagai daerah/pulau di nusantara, maka konsep-konsep
inti dalam Islam pun masuk dalam bahasa daerah. Dalam konteks Islam Melayu
awal, pengucapan doa-doa dan kata-kata/konsep inti Islam pun kemudian
disesuaikan dengan pengucapan bahasa Melayu. Hal ini sangat terlihat dalam
rekaman naskah-naskah kuno berbahasa Melayu atau campuran dengan bahasa Jawa
dan Bali. Dalam praktik ibadah juga, seperti mandi, berwudu’, shalat, dan zikir
dimasukkan sebagai bagian mantra Melayu. Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan
Islam mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Melayu dahulu.
Pembahasan mengenai
bersyair memang tidak dapat dipisahkan dari kerangka sastra, bahasa,
kepercayaan, dan sosio-kultural, sebab bersyair
selalu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di luar teks yang menjadi
rangkaian kegiatan seperti acara adat dan acara agama. Begitu juga dengan
bentuk lagu atau nada dari bersyair ini. Dalam pembacaan syair oleh
pembaca dilantunkan dengan nada (intonasi) dan lagu tertentu.
Menurut seorang sastrawan Amerika, George Santayana,
sastra adalah semacam agama dalam bentuk yang samar (Suyitno, 2002:67). Dalam
arti bahwa sastra mengandung kebenaran sebagaimana hakikat kebenaran dalam
agama. Perbedaannya, kebenaran dalam sastra tidak diarahkan untuk memberikan
petunjuk tentang tingkah laku ritual secara langsung kepada manusia.
3. Hasil dan Pembahasan
Teks
SPB yang menjadi objek penelitian ini berjumlah 88 bait. Bait 1 sampai bait 7
merupakan syair pembuka, berisikan pujian untuk pengantin (bait 1—5), imbauan
kepada undangan/pendengar untuk memperhatikan penampilan mereka (bait 6—7).
Bait 8 sampai bait 15 berisikan doa kepada kedua pengantin. Bait 16 sampai 30)
berisikan nasihat kepada pengantin serta undangan mengenai perilaku manusia di
dunia yang berkaitan dengan amal ibadah. Bait 31—35 mengingatkan kepada kita
bahwa dunia ini hanya tempat sementara dan akhiratlah tempat abadi. Bait 36
sampai 51 berkisah tentang situasi menjelang kematian sampai kondisi di alam
kubur. Bait 52 sampai 69, berisikan mengenai peringatan atas perbuatan di dunia
dan balasan yang akan diterima di akhirat kelak. Bait 70 sampai 88, merupakan
syair penutup yang menjelaskan tentang kondisi si tukang buat syair. Di antara 88
teks syair, terdapat 8 teks pantun, yaitu pada pembuka dan penutup. Pada
pembuka ada 2 teks pantun dan pada penutup 6 teks pantun. Di antara 8 teks
pantun tersebut, 6 bersajak aa aa, dan 2 bersajak ab ab. Dengan demikian,
jumlah teks syair yang sebenarnya adalah 80 teks.
3.1 Wujud Realitas Profetik: Dimensi Spiritual dan
Sosial
Isi
SPB pada mulanya adalah sebagai media dakwah. Namun fungsi itu sekarang sudah
bergeser. Menurut Gazalba, 1988:126), fungsi dakwah syair itu akan dilihat
melalui firman Tuhan dalam Al Quran. Wahyu yang diturunkan Allah yang terhimpun
dalam bentuk Al Quran adalah sempurna. Ayat-ayat itu mengandung nilai estetika.
Pemilihan dan penyusunan kata-kata yang membentuk bernilaikan “sastra” yang amat
tinggi, tidak pernah dapat ditandingi oleh sastrawan. Ayat-ayat itu adalah
benar, baik, dan bagus.
Dimensi spiritual SPB ini selalu berpedoman kepada Al
Quran, sehingga nuansa-nuansa Islam tertuang dengan apik dan sangat kental
dalam setiap bait syair. Dari dimensi spiritual ini lalu mengejawantahkan
kepada dimensi sosial. Misalnya berupa harapan dan doa terhadap pengantin, di
antaranya jangan meninggalkan ibadah dikarenakan sibuk mencari harta, panjangkan
umur, sehat, beri selamat dunia dan akhirat, pangkat yang tinggi, tetapkan
iman, jauhkan dari bala fitnah, mengingat nasihat orang tua, dan jangan
meninggalkan sembahyang (SPB 7—16).
Beberapa teks SPB yang langsung bersentuhan dengan
ayat-ayat Al Quran di antaranya,
(SPB 29)
sudah memakai emas dan perak
pergi meminum tuak dan arak
gegab gempita tampik dan sorak
ke dalam neraka ia diarak
Teks ini
mencerminkan bahwa bagi manusia yang semasa hidupnya menghabiskan waktunya
untuk minum-minuman haram, maka di akhirat mereka akan masuk neraka. Hal ini
tertuang dalam firman Tuhan (Al Quran: Al Maa Idah, 90), ”hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Sedangkan di dalam (Al Baqarah, 219), dijelaskan ”mereka bertanya kepada
Muhammad mengenai arak dan judi. Katakanlah pada keduanya itu adalah dosa besar
dan jika ada manfaatnya bagi manusia. Akan tetapi, dosanya/bahaya keduanya itu
lebih besar dari manfaatnya”. Ayat lain yang melarang tentang meminum arak dan
berjudi ini ditemui juga pada (An Nissa 43).
(SPB 67)
inilah tanda orang yang celaka
berbuat jahat tidaklah apa
meningalkan ibadat sangatlah suka
berbuat maksiat tiada mengapa
Teks syair di atas mencerminkan tentang manusia yang
berbuat jahat dan maksiat akan mendapat celaka, siksaannya bukan saja di
akhirat tetapi di dunia pun wajib didera. Hal ini tertera dalam Al Quraan (An
Nuur, 2), ”perempuan yang berzinah dan laki-laki yang berzinah, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah boleh kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”
(SPB 62, 63)
setengah haram mencari harta
sembahyang tidak lagi dicita
ilmu sepatah haram tiada
kerja maksiat semata-mata
siang dan malam berjual beli
meninggalkan amal tiada peduli
sembahyang tidak barang sekali
itulah tanda orang buta tuli
Salat (shalat) dan bagi orang Melayu selalu
menyebutnya ”sembahyang”, merupakan
rukun Islam yang kedua. Salat dikenal sebagai tiangnya agama. Dalam Al Quran
(Al Baqarah, 43) ”dan dirikanlah salat. Bayarlah zakat. Dan rukuklah bersama
orang-orang yang rukuk.”
(SPB 53)
hendaklah kita berbuat kebajikkan
ibu dan bapak kita muliakan
jikalau hatinya kira sakitkan
di dalam neraka allah gantikan
Teks ini
menasihatkan kepada manusia agar menghormati ibu bapak kita. Dan ini sudah
ditetapkan dalam Al Quran (Al Ah Qaaf, 15) ”Kami perintahkan kepada manusia
supaya baik kepada dua ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungkannya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdoa. ’Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan
kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Berdasarkan
teks-teks SPB di atas, bahwa dimensi spiritualnya, berupa berupa balasan dari
Tuhan akibat perbuatan semasa hidup di dunia. Sementara dimensi sosialnya,
berupa peringatan kepada manusia. Bentuk peringatan itu, misalnya dilarang meminum tuak dan arak, dilarang berbuat maksiat, jangan meninggalkan amal ibadah, dan diwajibkan memuliakan
ibu dan bapak kita. Hal ini sesuai
dengan konsep sastra profetik, yaitu adanya keselarasan antara spiritual (hablumminallah) dan sosial (hablumminannas).
Oleh sebab itu,
manusia tidak boleh lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Keduanya
haruslah seimbang. Sebagaimana teks (SPB 25, 31, 32, 34)
berikut,
astafirullah heran hatimu
hamba allah banyak tersemu
kepada dunia banyak yakinmu
di dalam akhirat sangat sakitmu
ingatlah tuan saudara sekalian
baik dicari bekal berjalan
ke negeri baqa tempat kesudahaan
jangan diikut kafir kehinaan
janganlah lupa memuji tuhan
supaya datang rahmat kasihan
hendaklah ingat kita nan tuan
nafsu setan hendak ditahan
siapa yang ingat akannya mati
dunia ini tempat berhenti
sekadarnya tempar berbuat bakti
akhirat juga yang dinanti-nanti
Wujud realitas
profetik dalam teks SPB ini merupakan respons terhadap realitas historis kepada
pesan universal dan makna transendentalnya. Dalam hal ini posisi teks yang
mengaju pada ayat-ayat dalam Al Quran, bertujuan bukanlah untuk memahami Islam,
tetapi bagaimana menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks
pada konteks sosial masa kini. Hal ini tertuang dalam konsep wujud realitas
profetik berikut ini.
Grafik 1. Wujud Realitas Profetik
Pada tataran
tauhid yang merupakan kapasitas bawaan dengan lima struktur dalam yang
masing-masing memiliki struktur permukaannya. Satu dengan yang lainnya adalah
saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Misalnya dalam teks SPB /dengan bismillah aku mulai/, /alhamdulillah selawatnya nabi/ (SPB 1), ini merupakan konsep akidah yang selanjutnya bertalian dengan
keyakinan. Bahwa dalam tauhid, bagi umat Islam setiap melakukan pekerjaan harus
didahului membaca bismillah, lalu
mengucap alhamdulillah dan shalawat apabila telah selesai melakukan
sesuatu kegiatan. Satu hal lagi berkaitan dengan keyakinan bahwa ada alam
akhirat. Alam tempat memperlihatkan atas segala perbuatan selama hidup di alam
dunia. Di alam akhirat ini ada dua tempat yang akan dilalui oleh manusia, yaitu
surga dan neraka.
dijadikan lalai kepada hatimu
cari harta tiadalah jemu
tandanya kita sudah tersemu
akhirat kelak jadi sesalmu (SPB 59)
Pada tataran
ibadah, khususnya struktur permukaan untuk shalat
terdapat pada (SPB 15), /sembahyang
itu jangan dibuang/, /dosanya besar
bukan kepalang/. Ditemukan juga pada (SPB 62) /sembahyang tidak lagi dicita/, (SPB 63) /sembahyang tidak barang sekali/.
Secara keseluruhan dalam tataran ibadah ini dapat dilihat pada teks (SPB 52).
jikalau kita hendak selamat
perbuatan kita hendaklah hikmat
berbuat ibadat hendaklah cermat
dunia ini hampir kiamat
Pada tataran
akhlak yang berkaitan dengan moral dan etika, misalnya karakter negatif seperti
suka meminum arak, menurutkan nafsu setan. Karakter positif seperti mengerjakan
amal ibadah tidak berhenti. Ini dapat
ditemukan dalam teks (SPB 54, 58).
inilah balas arak dimakan
karena allah sudah tegahkan
nafsu setan jangan turutkan
ke dalam neraka engkau dimasukkan
barang bercinta akannya mati
tidaklah lupa berbuat bakti
siang dan malam diamat-amati
seumur hidup tidak berhenti
Pada tataran
syariat yang berkaitan dengan perilaku normatif, misalnya selama hidup di dunia
ini harus mencari harta, mempelajari ilmu, mengamalkan ilmu yang diperoleh. Ini
dapat ditemukan dalam teks (SPB 60)
harta itu harus dicari
serta ilmu engkau pelajari
amalkan olehmu sehari-hari
supaya selamat badan sendiri
Pada tataran
muamalah yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari, misalnya berniaga, pergi
berlayar, berbuat jahat, tidak mampu membedakan halal dan haram. Ini dapat
ditemukan pada teks (SPB 26, 64, 65)
astagfirullah banyak penglihatan
isi dunia banyak perbuatan
banyaklah kelakuan seperti setan
ada yang seperti hantu di hutan
jikalau berniaga dengan taatnya
apalah jua dengan salahnya
kita di dunia saja adatnya
mencari nafkah isi rumahnya
ada berniaga sana ke mari
hingga berlayar ke sebuah negeri
ibadat tinggal harta dicari
lupalah ilmu yang dipelajari
3.2 Hubungan Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi
Syayyid Qutb dikutip (Sahril,
2003:7—8), ada tujuh peran sastrawan Islam dalam berkarya: (1) peranan manusia
dibatasi kepada khalifah dan hamba Allah. Tidak ada unsure watak manusia hebat
atau setara Tuhan, (2) penulis bebas memasuki semua bidang penulisan dan
disiplin ilmu asalkan tidak melanggar nilai-nilai Islam, (3) penulis harus
menerapkan nilai-nilai Islam dalam penulisannya. Dalam konteks ini penulis harus
bersifat komprehensif, yaitu lengkap dalam menggabungkan unsur ibadat dengan
muamalat, (4) penulis harus ada keseimbangan dalam mengetengahkan kedua aspek
seperti nilai seni dan amanat, (5) penulis harus bersifat positif dan proaktif.
Penulis harus memberikan gambaran positif dan negative agar ada keseimbangan,
(6) penulis harus bersifat realities, karena Islam merupakan agama yang
realistis. Sesungguhnya manusia tidak pernah disuruh melakukan sesuatu yang
diluar kemampuannya, dan (7) penulis harus mendukung keesaan Allah. Tidak ada
watak-watak atau adegan-adegan yang menyekutukan Allah.
Sastra profetik mengedepankan
humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi mungkar) dan transendensi (tu'minuna billah). Artinya, sastra
profetik adalah karya sastra yang mampu memberikan keseimbangan antara tema
sosial dan tema spiritual, merepresentasikan sejarah kemanusiaan maupun
nilai-nilai kenabian/agama (etika profetik).
Beberapa teks SPB mencerminkan
amar makruf dan nahi munkar, ini terlihat pada gambaran ketika manusia telah
meninggal dunia. Dalam hal ini Tuhan telah berfirman dalam Al Quran (Yunus, 54)
“dan setiap diri yang zalim (musyrik) itu mempunyai segala apa yang ada di bumi
ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka menyembunyikan
penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan azab itu. Dan diberi keputusan di
antara mereka dengan adil, sedangkan mereka tidak dianiaya.”
Amar makruf dan nahi munkar menurut A. Ilyas
Ismail dalam (Permadi, 1995:99), pada hakikatnya merupakan konsep pembinaan
masyarakat. Konsep ini terdiri atas dua unsur; (1) unsur amar makruf itu sendiri, yang mengandung perintah membangun
masyarakat atau sistem sosial yang didasarkan pada nilai-nilai luhur, dan (2)
unsur nahi munkar untuk menjaga
masyarakat yang sedang dibangun itu dari berbagai rongrongan baik dari luar
maupun dari dalam masyarakat itu sendiri.
Hubungan humanisasi, liberasi, dan
transendensi yang berkaitan dengan amar
makruf itu antara lain; dunia ini hanya tempat menuntut ilmu, mengamalkannya,
mencari harta, tetapi kita harus tetap selalu ingat akan kematian. Ini tertuang
pada (SPB 17, 18, 22, 23).
Berkaitan dengan transendensi
(tu'minuna billah) ini langsung dapat
ditemukan dalam (SPB 36 sampai 51). Teks-teks ini mengisahkan tentang saat-saat
menjelang ajal hingga sampai di alam kubur. Berikut ini ilustrasi dari teks
tentang menjelang ajal sampai di alam kubur. /takkala kita hampirkan mati/, /badan
tidak berdaya/, /dada dan perut
terkembut-kembut/, /sakitnya nyawa
akan melayang/, /tatkala nyawa sudah
dicabut/, /tiada bergerak tiada
berpaling/, /badan sudah terlentang/,
/datanglah tahlim…mengajar kalimah/,
/hendak menjawab tiadalah boleh/,
karena /mengerjakan maksiat tiada memilih/,
/napas pun bangkit mata berdiri/,
lalu /malikat maut datanglah/, orang
pun /memandikan mayat…/, lalu /memasukkan mayat sampai ke lubang/, /dua biji nisan juga diberi/, /nungkar dan nangkir datanglah segera/, /menanyai…jikalau salah…kepala dipalu/.
Akhirnya ditutup dengan teks (SPB 51)
sakitnya tidak lagi terperi
seperri duduk di atas duri
pukul dan palu sehari-hari
barulah itu sadarkan diri
Berdasarkan
ilustrasi teks di atas, memperlihatkan saat-saat menjelang ajal. Hal ini
berkaitan pula dikarenakan perilaku semasa hidup di dunia. Di sini konsep
transendensi langsung berkaitan dengan humanisasi dan liberasi.
Teks-teks SPB ini ditutup dengan kisah pengarang syairnya
sendiri, yang menyimpulkan bahwa mereka hanya mampu menyampaikan nasihat ini.
tidaklah hamba panjangkan madah
karena hati terlalu gundah
bercerita panjang kalau tak sudah
lagi pun mengarang bukannya mudah (SPB 71)
desa lalang kampung saya
di situlah rumah saya
ditolong allah tuhan yang esa
tamatlah syair selamat sentosa (SPB 88)
4. Penutup
4.1 Simpulan
Teks-teks
SPB sarat dengan petuah dan nasihat. Pada dasarnya, petuah dan nasihat yang
ditampilkan berkaitan dengan suruhan dan larangan Tuhan. Kisah-kisah yang
ditampilkan mencakup kisah kehidupan umat manusia di alam dunia, alam kubur,
dan alam akhirat. Kisah itu lebih difokuskan lagi pada balasan Tuhan terhadap
kehidupan umat manusia. Yang mengamalkan amar
makruf nahi munkar akan mendapat kenikmatan yang luar biasa di alam
akhirat. Sedangkan yang tidak mengindahkan amar
makruf nahi munkar akan mendapatkan siksaan yang setimpal atas segala
perbuatannya di atas dunia.
Eksistensi
SPB di tengah-tengah masyarakat pendukungnya berfungsi sebagai hiburan yang
bernilai tinggi, karena memiliki nilai pragmatis dan didaktis. Nilai-nilai itu
disampaikan sejalan dengan apa yang terkandung dalam ajaran Islam melalui Al
Quran.
4.2 Saran
Mengingat
keberadaan SPB hanya muncul pada upacara pesta perkawinan dan inipun pada masa
sekarang sudah sangat langka masyarakat melaksanakannya. Oleh sebab itu,
melalui tulisan ini kiranya tradisi membaca syair pada acara pesta perkawinan
haruslah terus dilestarikan.
Daftar Pustaka
Aziz, Hamka
Abdul. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati. Jakarta: Penerbit
Al-Mawardi Prima.
Efendi, Anwar. 2011. “Pembelajaran
Sastra Profetik sebagai Media Pengembangan Kakakter Siswa” dalam Cakrawala Pendidikan. Mei 2011,
Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY.
Garaudy, Roger. 1988. Janji-janji
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Gazalba, Sidi. 1988. Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dengan
Seni Budaya Karya Manusia. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan,
Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Hadi WM, Abdul. 1986.
“Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Indonesia
Modern”. Dalam Horison/XXII/1986.
Hadi WM, Abdul. 1999. Kembali
ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Hadi WM, Abdul. 2004. Hermeneutika,
Esetetika, dan Religiusitas. Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa.
Yogyakarta: Penerbit Matahari.
Hidayatullah, M. Irfan. 2006.
“Estetika Sastra Profetik, Analisis Struktural-Semiotik atas Gagasan dan Karya
Kuntowijoyo”. Tesis. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia.
Iqbal, Muhamad. 2008. Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam. Terjemahan Ali Audah, dkk. Yogyakarta:
Penerbit Jalasutra.
Kuntowijoyo. 2006. Maklumat
Sastra Profetik.
Jakarta: Grafindo Litera.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogjakarta: Kanisius.
Permadi, K. 1995. Iman
& Takwa: Menurut Alqur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik; Khazanah Sastra Sejarah Indonesia
Lama. Denpasar: Larasan-Sejarah.
Sahril. 2003. Syair Cermin Islam: Aktualisasi Nilai Kehidupan Islami. Medan: Balai
Bahasa Medan.
Salad, Hamdi. 2005. “Narasi Sastra
Religius”. Republika, hlm 6.
Suyitno. 2002.
Sastra, Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Penerbit PT. Hanindita.
Troxel, Ronald L.
2012. Prophetic Literature: From Oracles to Books. Wiley-Blackwell
Lampiran Teks
Syair Pengantin Baru (SPB)
1.
|
dengan bismillah aku mulai
alhamdulillah selawatnya nabi
dengan takdir allah urabbi
sampailah maksud yang dicintai
|
2.
|
cintanya tidak berapa lama
sekarang sudah kami terima
empat bulan masuk kelima
duduk bersanding bersama-sama
|
3.
|
asam kandis asam belimbing
buat menggulai ikan sembilang
hitam manis duduk bersanding
macamlah bulan dipagar bintang
|
4.
|
mari digulai ikan sembilang
dimakan anak di muka pintu
bagaikan bulan dipagar bintang
senanglah hati ibu bapakmu
|
5.
|
ayuhai sekalian saudara yang hadir
tua dan muda besar dan kecil
dengar olehmu kami bersyair
supaya selamat batin dan zahir
|
6.
|
syair dikarang suatunya peri
hamba yang fakir dagang yang khori
duduk di rumah seorang diri
dikarangkan syair khabar dan peri
|
7.
|
ya allah tuhan yang satu
nabi muhammad pesuruh-nya tentu
rahmat syafaat setiapnya waktu
panjangkan umur pengantin itu
|
8.
|
ya allah tuhan yang rahman
tetapkan olehmu taatkan iman
sehatkan badan di dalam aman
pengantin ini tambahkan iman
|
9.
|
ya allah tuhan yang rahman
nabi muhammad yang akhir zaman
rahmat syafaat sepanjang zaman
kepada pengantin usul budiman
|
10.
|
ya allah tuhan yang khodrat
wahai junjungan nabi muhammad
pengantin ini beri selamat
dari dunia sampai akhirat
|
11.
|
ya allah malikhul rabbi
pengantin ini tetapkan hati
minta kurnia pangkat yang tinggi
di akhirat boleh engkau terpuji
|
12.
|
ya allah malikhul rahman
pengantin ini tetapkan iman
amal ibadat minta kuatkan
setan
dan iblis minta jauhkan
|
13.
|
ya allah malikhul manan
doalah kami minta perkenan
siang dan malam sepanjang zaman
bala dan fitnah minta jauhkan
|
14.
|
wahai pengantin muda jauh hari
pesanan kami kau ingati
engkau masuk kau ke dalam hati
jangan
ditaruh di ibu kaki
|
15.
|
wahai pengantin muda cemerlang
kami doakan malam dan siang
sembahyang itu jangan dibuang
dosanya besar bukan kepalang
|
16.
|
ayuhai saudara sekalian islam
hamba yang doib berkirim salam
janganlah lupa siang dan malam
beramallah
tuan janganlah diam
|
17.
|
ayuhai saudara arif dermawan
pikir olehmu jangan tertawan
tuntutlah ilmu disuruh tuhan
jangan beramal tiada ketahuan
|
18.
|
ilmu usulluddin engkau pelajarkan
kepada yang mahir tuan gurukan
wajib mukallaf diberitahukan
supaya
syah ilmu yang diamalkan
|
19.
|
jikalau tiada demikian itu
jahil murtat kiranya tentu
tiada faedah amal sesuatu
walau bertapa di gua batu
|
20.
|
janganlah syakh wahai ikhwani
karena ulama sudah berperi
pikir olehmu diri sendiri
jangan
menyesal kemudian hari
|
21.
|
jikalau tuhan tidak dibenarkan
cobalah lihat hadis dan firman
saya tidak guru andalan
supaya terang kepadanya tuan
|
22.
|
ayuhai saudara tua dan muda
hendaklah pikir senantiasa
jangan seperti orang yang buta
tinggal ibadat mencari harta
|
23.
|
astafirullah heranlah hati
melihat rupa laku pekerti
sedikit tidak ingatkan mati
bersuka ria tidak berhenti
|
24.
|
ada yang berhimpun suatu tempat
sahabat handai penuh di tempat
beberapa bohong dengannya umpat
suka tertawa terlompat-lompat
|
25.
|
astafirullah heran hatimu
hamba allah banyak tersemu
kepada dunia banyak yakinmu
di dalam akhirat sangat sakitmu
|
26.
|
astagfirullah banyak pengelihatan
isi dunia banyak perbuatan
banyaklah kelakukan seperti setan
ada yang seperti hantu di hutan
|
27.
|
apabila berbunyi rebab kecapi
lalai di sana engkau menghadapi
akan allah sudahlah nafi
di dalam neraka dimakan api
|
28.
|
apabila berbunyi gong dan gendang
lalai di sana engkau memandang
akan allah tidak berpantang
di dalam neraka ia direndang
|
29.
|
sudah memakai emas dan perak
pergi meminum tuak dan arak
gegab gempita tampik dan sorak
ke dalam neraka ia diarak
|
30.
|
inilah kebanyakkan segala mereka
nikmat di dunia sangatlah suka
ditukarnya dengan nikmat surga
allah balaskan dengan neraka
|
31.
|
ingatlah tuan saudara sekalian
baik dicari bekal berjalan
ke negeri baka tempat kesudahaan
jangan diikut kafir kehinaan
|
32.
|
janganlah lupa memuji tuhan
supaya datang rahmat kasihan
hendaklah ingat kita nan tuan
nafsu setan hendak ditahan
|
33.
|
barang yang sudah hendak terkena
tidaklah sadar dirinya fana
barang siapa ikhtikat sempurna
dunia ini tidak berguna
|
34.
|
siapa yang ingat akannya mati
dunia ini tempat berhenti
sekadarnya tempar berbuat bakti
akhirat juga yang dinanti-nanti
|
35.
|
kita ini sangatlah bimbang
lalai dengan utang piutang
malaikatmaut hampirkan datang
entahkan pagi entahkan petang
|
36.
|
tatkala kita hampirkam mati
datang penyakit tiada berhenti
sahabat handai datang mengobati
tak usahkan senang malah menyakiti
|
37.
|
tatkala badan tidak berdaya
hilanglah akal budi upaya
rupanya tinggal akan di dunia
kasih dan sayang tinggallah dia
|
38.
|
tatkala nyawa hendak tercabut
baru itulah sesal berkabut
dada dan perut terkembut-kembut
naik turun nafas berebut
|
39.
|
senantiasa badan terguling
tiada bergerak tiada berpaling
adik dan kakak duduk keliling
ada yang menghadap ada yang berpaling
|
40.
|
senantiasa badan terlentang
tiada bergerak seperti batang
sahabat handai sekalian datang
ada yang memegang ada yang menantang
|
41.
|
datanglah alim hilir dan ulu
mengajar kalimat bertalu-talu
hendak menjawab tiadalah lalu
bibir pun berat lidah pun kelu
|
42.
|
hendak menjawab tiadalah boleh
hingga peluh juga meleleh
sebab meninggalkan amal yang shaleh
mengerjakan maksiat tiada memilih
|
43.
|
datanglah lebai dengannya khori
duduk mengaji kanan dan kiri
orangnya tidak sadarkan diri
panas pun bangkit mata berdiri
|
44.
|
sakitnya nyawa akan melayang
kepada badan uang dan dayang
badan seperti mabuk kepayang
tinggal sekalian kasih dan sayang
|
45.
|
malaikatmaut datanglah segera
merah padam warnanya muka
mengambil nyawa dengan seketika
tinggallah sekalian yang ada di dunia
|
46.
|
tatkala nyawa sudahlah terbang
tinggal sekalian uang dan dayang
datanglah fakir yang kasih sayang
memandikan mayat lalu sembahyang
|
47.
|
tatkala nyawa sudahlah terbang
meninggalkan dunia terlalu bimbang
datanglah sekalian kakak dan abang
memasukkan mayat sampai ke lubang
|
48.
|
ditimbun lubang tanah diberi
dua biji nisan pula diberi
talakin dibaca pula diajari
bangunlah mayat menatap diri
|
49.
|
nungkar dan nangkir datanglah segera
serta cakmarnya dengan gembira
takutlah tidak lagi terkira
di hatinya tidak lagi terbicara
|
50.
|
datangnya itu menanyai kamu
sipolan itu siapa tuhanmu
jikalau salah sedikit jawabmu
kepala dipalu sekalian jasadmu
|
51.
|
sakitnya tidak lagi terperi
seperti duduk di atas duri
pukul dan palu sehari-hari
barulah itu sadarkan diri
|
52.
|
jikalau kita hendak selamat
perbuatan kita hendaklah hikmat
berbuat ibadat hendaklah cermat
dunia ini hampir kiamat
|
53.
|
hendaklah kita berbuat kebajikkan
ibu dan bapak kita muliakan
jikalau hatinya kita sakitkan
di dalam neraka allah gantikan
|
54.
|
inilah balas arak dimakan
karena allah sudah tegahkan
nafsu setan jangan turutkan
ke dalam neraka engkau dimasukkan
|
55.
|
dijadikan dunia oleh tuhanmu
bukan di sini akan tempatmu
sekadar ibadat dengan amalmu
serta amalkan dengan yakinmu
|
56.
|
bukan dunia negeri yang baka
sekadar duduk dengan seketika
akhirnya kelak berpindah juga
laki-laki perempuan habis belaka
|
57.
|
bukannya tidak sudah dikata
oleh segala sidang pendeta
yang mati itu tunangan kita
baiklah juga dicita-cita
|
58.
|
barang bercinta akannya mati
tidaklah lupa berbuat bakti
siang dan malam diamat-amati
seumur hidup tidak berhenti
|
59.
|
dijadikan lalai kepada hatimu
cari harta tiadalah jemu
tandanya kita sudah tersemu
akhirat kelak jadi sesalmu
|
60.
|
harta itu harus dicari
serta ilmu engkau pelajari
amalkan olehmu sehari-hari
supaya selamat badan sendiri
|
61.
|
harta itu cari olehmu
sambilkan dengan menuntut ilmu
serta amalkan dengan yakinmu
supaya jangan jadi sesalmu
|
62.
|
setengah haram mencari harta
sembahyang tidak lagi dicita
ilmu sepatah haram tiada
kerja maksiat semata-mata
|
63.
|
siang dan malam berjual beli
meninggalkan amal tiada peduli
sembahyang tidak barang sekali
itulah tanda orang buta tuli
|
64.
|
jikalau berniaga dengan taatnya
apalah jua dengan salahnya
kita di dunia saja adatnya
mencari nafkah isi rumahnya
|
65.
|
ada berniaga sana ke mari
hingga berlayar ke sebuah negeri
ibadat tinggal harta dicari
lupalah ilmu yang dipelajari
|
66.
|
kepada allah tiadalah lupa
berbuat jahat tidaklah apa
kepada pikiran tidak mengapa
halal dan haram jadi serupa
|
67.
|
inilah tanda orang yang celaka
berbuat jahat tidaklah apa
meningalkan ibadat sangatlah suka
berbuat maksiat tiada mengapa
|
68.
|
hambar dan nahi tiadalah ngeri
pekerjaan jahat juga digemari
berbuat pasik sehari-hari
membuat ibadat tiada digemari
|
69.
|
apabila bertemu sesama pemuda
gegab gempita gurau dan senda
banyaklah cakap mengada-ada
kata yang benar haram tiada
|
70.
|
kata hamba yang menceritakan
perkaraan tidak hamba panjangkan
kisah banyak lagi disebutkan
itulah sekadar mengambil ringkasan
|
71.
|
tidaklah hamba panjangkan madah
karena hati terlalu gundah
bercerita panjang kalau tak sudah
lagi pun mengarang bukannya mudah
|
72.
|
duduklah hamba seorang diri
cinta yang tidak lagi terperi
terkenangkan untung badan sendiri
mencari nafkah sehari-hari
|
73.
|
syair dikarang suatunya peri
hamba yang fakir dagang yang khori
duduk di rumah seorang diri
dikarangkan syair khabar dan peri
|
74.
|
terlalu masghul hati di dalam
keluh kesah siang dan malam
ramailah sudah berkokok ayam
terlalai seketika di atas tilam
|
75.
|
habislah nasihat tamatlah kalam
syair fatimah yang punya salam
salah percakapan tersebut kalam
jangan disimpan hati di dalam
|
76.
|
dari alai ke bandar khalifah
singgah bermuat kayu nipah
badan pun lalai dawat tertumpah
mana yang salah minta maafilah
|
77.
|
dari medan ke pekan baru
singgah bermalam di rumah penghulu
jikalau tuan hendaknya tahu
rumah saya bertiang bambu
|
78.
|
desa lalang pekan jumat
banyaklah orang berjual obat
sanak saudara hendaklah ingat
masuk ke kubur selalu ingat
|
79.
|
ayuhai tuan tua dan muda
meminjam syair janganlah lama
empat hari masuk kelima
pulangkan syair pada yang punya
|
80.
|
terang bulan amat cuaca
naik ke darat memetik bunga
jikalau tuan sudah membaca
pulangkan surat pada yang punya
|
81.
|
naik ke darat memetik bunga
bunga anggrek di atas pagar
kembalikan surat kepada yang punya
janganlah carik jangan terbakar
|
82.
|
bunga anggrek di atas pagar
pagarlah sesak dengan pintunya
jangan carik jangan terbakar
janganlah rusak barang sesuatunya
|
83.
|
tamatlah syair khabar dan peri
karena hamba fakir yang khori
duduk di rumah sehari-hari
mengarang syair suatunya peri
|
84.
|
hamba tiada mengaku kelebihan
tiap-tiap makhluk ada kesalahan
karena hamba kurang pengetahuan
jahil dan bodoh nyatalah tuan
|
85.
|
dikarang juga sebarangnya peri
harapkan diterima saudara sendiri
tempat hamba di kebun ubi
mencari nafkah sehari-hari
|
86.
|
makdum konon nama yang nyata
mengarang syair belum biasa
duduk di rumah senantiasa
karena hamba sudahlah tua
|
87.
|
khatamlah syair hamba karangkan
sekadar itulah yang didapatkan
entah ia entah pun bukan
kisah yang lain pula diceritakan
|
88.
|
desa lalang kampung saya
di situlah rumah saya
ditolong allah tuhan yang esa
tamatlah syair selamat sentosa
|
Pendapat G.H. Werndly (1736) seperti
dikutip Shaleh Saidi, ia membagi tingkatan tutur bahasa Melayu menjadi 5
kelompok: (1) bahasa Jawi; bahasa umum, (2) bahasa istana/tinggi, (3) bahasa bangsawan;
bahasa orang-orang berpangkat, orang besar (di atas bahasa Jawi), (4) bahasa
gunung atau bahasa desa, dan (5) bahasa kacukan atau bahasa pasar; bahasa
yang digunakan untuk jual beli. Lihat lebih lanjut Shaleh Saidi, Melayu
Klasik; Khazanah Sastra Sejarah Indonesia Lama (Denpasar: Larasan-Sejarah,
2003), hlm. 24.