Selasa, 27 Mei 2014

TRADISI AKIKAH MASYARAKAT MELAYU PENTAS SASTRA LOKAL “SYAIR NYANYIAN ANAK” DALAM KAJIAN ETNOPUITIKA



TRADISI AKIKAH MASYARAKAT MELAYU
PENTAS SASTRA LOKAL “SYAIR NYANYIAN ANAK”
DALAM KAJIAN ETNOPUITIKA
Oleh Sahril*[1]
Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara
Abstrak
Penelitian ini mengkaji tentang tradisi akikah melalui pentas sastra lokal “Syair Nyanyian Anak” pada masyarakat Melayu Sumatera Utara. Masalah yang dikaji, yaitu bagaimana konsep pentas sastra lokal “Syair Nyanyian Anak” hadir dalam tradisi akikah. Penelitian ini menggunakan teori etnopuitika dengan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Temuan penelitian ini adalah, tradisi akikah masih sering dilakukan oleh masyarakat, tetapi berkaitan dengan pelaksanaan pentas sastra lokal “Syair Nyanyian Anak” oleh kelompok marhaban sudah sangat langka dilaksanakan. Pola pentas sastra lokal yang ditemukan berupa pembacaan syair tanpa teks tertulis yang dinyanyikan oleh kelompok marhaban. Teks syair dinyanyikan secara bergantian oleh kelompok marhaban. Teks-teks syair ini mengandung nilai-nilai didaktis dan dapat dijadikan bahan ajar untuk pembentukan karakter anak.
Kata kunci: Pentas sastra lokal dalam pembentukan karakter
Abstract
This study examines the tradition Akikah through local literary scene “Syair Nyanyian Anak”to the Malay people of North Sumatra. The problem studied, which is how the concept of the local literary scene “Syair Nyanyian Anak” is present in Akikah tradition. This study uses the theory ethno poetic with qualitative research methods. Data was collected through observation, interviews, and literature. The findings of this study are, Akikah tradition is still often done by people, but with regard to the implementation of the local literary scene “Syair Nyanyian Anak” by a group of very rare marhaban been implemented. The pattern of the local literary scene found a poem without reading the written text sung by the group marhaban. Text lyric sung alternately by marhaban group. The texts of these poems contain didactic values ​​and can be used as teaching material for the formation of character.
Keywords: Performance of local literature in the formation of character

I.                   Pendahuluan
Mengapa para siswa SD selalu mendeklamasikan sajak atau puisi, tetapi tidak pernah mendeklamasikan, surat undangan atau teks pengumuman? Jawabannya, karena hanya teks sastralah yang layak dideklamasikan atau dipentaskan. Dalam teks sastra, terutama puisi, terkandung nada, pembaca disarankan untuk menyuarakan puisi tersebut, supaya mendapatkan maknanya yang penuh. Hal ini sejalan dengan pendapat Hunter (1991:190)1, yang menyatakan,
Poetry is, almost always, a vocal art, dependent on the human voice to become its full self [...]. In a sense, it begins to exist as a real phenomenon when a reader reads and actualizes it. Poems don t really achieve their full meaning when they merely exist on a page; a poem on a page is more a score or set of stage directions for a poem than a poem itself.
Kedekatan antara bentuk dan makna atau iconicity, sebagaimana yang disarankan oleh Pope dalam ungkapan the sound must seem an echo to the sense, membantu menciptakan nada bagi puisi atau bahasa puitis pada umumnya. Jadi, puisi memang ingin menjadikan dirinya iconic, dan secara sengaja melanggar salah satu kaidah kebahasaan yang menyatakan bahwa hubungan antara bentuk dan makna pada umumnya bersifat arbitrary . Dan sifat iconic dari bahasa puitis atau teks sastra terdengar semakin jelas dan menonjol bila ia dilisankan atau dipentaskan. Pada aspek tekstual inilah terdapat kesejajaran antara puitika dan etnopuitika: bahasa puitis adalah bahasa yang lazim dan enak dipentaskan. Perbedaannya adalah, dalam etnopuitika, perhatian terhadap pentas sastra dan warna budaya lokal selalu ditekankan.
Istilah "etnopuitika," yang terdiri atas pefiks atau penjelas etno- dan kata dasar puitika, mengacu pada dua hal. Etno-, yang secara etimologis berkaitan erat dengan kata etnik atau etnis, mengacu pada sebuah masyarakat sebagai suatu kelompok budaya. Sedangkan puitika, dalam pengertian struktural sebagaimana dikemukakan oleh Jakobson (1960)2, mengacu pada "bahasa puitis" atau poetic language. Perlu dicatat bahwa bahasa puitis ala Jakobson tidak hanya merujuk pada teks puisi pada khususnya atau teks sastra pada umumnya, melainkan juga merujuk pada setiap teks yang bentuknya ditonjolkan demi mendapatkan perhatian khusus dari pendengar atau pembacanya.
Etnopuitika diperkenalkan oleh Rothenberg pada tahun 1968, melalui jurnal Alcheringa. Dalam perkembangan selanjutnya, ada dua ciri utama yang menandai etnopuitika. Pertama, etnopuitika memfokuskan diri pada pentas sastra atau verbal art performance. Dalam hal ini etnoputika dapat dipandang sebagai puitika-pentas, yang merupakan titik temu dari berbagai disiplin, seperti linguistik, antroplogi, sastra (lisan), dan folklore (Sherzer & Woodbury 1987:2)3. Kedua, etnoputika berusaha mempelajari makna pentas sastra serta implikasinya dengan lebih dahulu memahami pengetahuan lokal. Artinya, setiap kelompok budaya (a culture) atau komunitas penutur bahasa (a speech community) memiliki ciri-ciri lokal yang khas, yang tidak terdapat pada kelompok budaya atau komunitas penutur bahasa lainnya. Singkatnya, etnopuitika adalah puitika-pentas yang bercirikan budaya lokal.
Menurut Arps (1992)4, pemahaman pengetahuan lokal atau local knowledge merupakan prasyarat yang tak dapat ditinggalkan oleh peneliti di bidang etnopuitika. Dan hasil penelitian Arps mengenai tembang Jawa, yang dibukukan menjadi Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature, adalah sebuah contoh unggulan untuk penelitian etnopuitika. Hasil penelitian Arps ini juga memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap etnopuitika. Yaitu, teks sastra tidak harus hadir dan lahir melalui pentas. Dalam hal tembang performance, atau yang dalam istilah lokalnya dikenal sebagai macapatan, hampir dapat dipastikan bahwa teks selalu mendahului pentas. Perlu dicatat bahwa istilah teks di sini diartikan secara longgar, sebagai a stretch of verbal discourse. Jadi, teks bisa meliputi wacana lisan maupun tertulis. Jika yang ditekankan adalah pengertian teks tertulis , maka definisi formalnya menjadi an orthographic (or phonetic) record of the stretch of verbal discourse.
Pentas menjadi bagian utama dari obyek studi etnopuitika. Pentas ini pula yang secara tegas membedakan antara puitika (ala Jakobson) dan etnografi wicara atau the ethnography of speaking, yang dipopulerkan oleh Hymes sejak awal tahun 1960-an. Puitika Jakobson lebih memusatkan perhatian pada struktur teks; dan etnografi wicara Hymes mempelajari percakapan bahasa sehari-hari sebagaimana digunakan oleh penuturnya, serta bagaimana penggunaan bahasa itu ditentukan oleh konteks percakapan dan aturan-aturan yang berlaku dalam budaya lokal.
Menurut tinjauan linguistik, percakapan sehari-hari dipandang sebagai an unmarked (usual) way of speaking, sedangkan pentas sastra atau verbal art performance dipandang sebagai a marked (unusual) way of speaking. Jadi, etnopuitika atau puitikapentas, dengan terlebih dulu memahami nilai-nilai budaya lokal dan memusatkan perhatiannya pada pentas sastra, bertujuan menjelaskan unsur-unsur pembentuk struktur dan bunyi bahasa, yang merupakan ciri-ciri pokok dari pentas tersebut. Penjelasan yang bersifat struktural, baik mengenai bentuk maupun bunyi bahasa, banyak diwarnai oleh metode puitika Jakobson; sedangkan penjelasan mengenai bagaimana budaya lokal itu mewarnai bahasa dan pentas sastra banyak berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf, dalam versinya yang moderat. Berkaitan dengan hal ini, Sapir (1921: 225)5 menyatakan bahwa setiap bahasa, sebagai alat ekspresi budaya dan sastra, memiliki kekhasan masing-masing.
Munculnya etnopuitika disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap teori puitika Jakobson dan kekurang-sempurnaan etnografi wicara ala Hymes. Sebagian besar ahli etnopuitika setuju untuk memasukkan etnopuitika menjadi bagian dari etnografi wicara. Memang layak juga dinyatakan bahwa ethnopoetics pada dasarnya merupakan kependekan dari ethnographic poetics. Dan di sinilah etnopuitika bertemu dan menjadi bagian dari etnografi wicara. Artinya, pengetahuan lokal yang merupakan prasyarat bagi penelitian etnopuitika harus dilakukan melalui studi etnografis. Peneliti harus turun ke lapangan untuk dapat sepenuhnya memahami kerangka serta pernik-pernik dari pengetahuan lokal tersebut.
Sebagai disiplin ilmu yang baru, etnopuitika merupakan perpaduan antara linguistik, sastra lisan, folklor, dan antropologi (Sherzer & Woodbury, 1987)3. Akibatnya, sebagai acuan teoritis, pendekatan dengan etnopuitika bisa sangat beragam warna dan penekanannya. Dua hal yang menonjol dalam etnopuitika adalah perhatiannya terhadap pentas sastra (verbal art performance) dan pengetahuan lokal (local knowledge).
Menggunakan acuan etnopuitika, peneliti dapat mencermati struktur teks dan juga seni pengucapan teks tersebut. Pada tataran kalimat, teks dapat dianalisis dengan metode puitika Jakobson; dan pada tataran wacana, teks dapat dianalisis dengan metode etnopuitika Hymes. Sedangkan seni pengucapan teks dapat dianalsis menggunakan metode etnopuitika Tedlock, selama hal itu tidak menyangkut "warna suara" masing-masing tokoh dalam seni-pentas.
Koentjaraningrat (2002:190)6, mengungkapkan bahwa nilai budaya daerah tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara konkret, manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya orang Melayu diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.
Suku Melayu di pesisir Timur Sumatera Utara memiliki budaya atau tradisi yang disebut dengan Syair Nyanyian Anak. Syair ini merupakan syair budi pekerti dan pendidikan yang telah disadur dari kesusastraan Arab Parsi atau Islam (Waluyo, 1991:131)7.
Pendapat ini diperkuat lagi oleh Sinar dan Syaifuddin (2002:17)8 yang mengatakan bahwa hubungan Islam dan Melayu di abad ke-15 adalah masa peng-Islaman di alam Melayu. Sehingga yang dikatakan Melayu itu adalah beragama Islam, berbahasa Melayu, dan menjalankan adat resam budaya Melayu. Kemudian lahirlah falsafah suku Melayu, yakni,”Adat bersendikan hukum syarak dan syarak bersendikan Kitabullah”. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa syair ini mutlak mengandung konsep Islam.
Kemudian, Braginsky dalam (Teeuw, 1988:354)9 mengatakan bahwa sastra Melayu klasik dekat dengan teori estetika Arab yang ditentukan oleh ketergantungan seniman pada teladan yang agung, yakni semesta sebagai ciptaan Tuhan: Pencipta yang Maha Esa. Ini artinya Syair ini tergolong ke dalam sastra Melayu Klasik yang mendapat pengaruh estetika Arab di abad pertengahan, yakni peneladanan seniman pada ciptaan Tuhan yang Maha Agung. Syair Nyanyian Anak ini adalah tradisi milik masyarakat Melayu.
Syair ini biasa dipakai pada acara atau ritual akikah untuk anak yang dilahirkan. Tradisi ini disebut juga pelengkap ritual penabalan nama seorang anak. Bait-bait syair ini melantunkan nilai-nilai religi yang mengisahkan tentang sejarah asal usul kejadian umat manusia secara umum sebagai ciptaan Tuhan semesta alam ketika berada di dalam kandungan atau rahim setiap ibu.
Akikah berarti menyembelih kambing pada hari ketujuh kelahiran seseorang anak. Menurut bahasa, akikah berarti pemotongan. Hukumnya sunah muakkadah bagi mereka yang mampu, bahkan sebagian ulama menyatakan wajib. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seorang anak yang baru lahir tergadaikan oleh akikahnya. Maka disembelihkan kambing untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama” (HR. Ashabussunah). Imam Ahmad dan Tarmidzi meriwayatkan dari Ummu Karaz Al Ka’biyah bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang akikah. Beliau bersabda, “Bagi anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing dan bagi anak perempuan disembelihkan satu ekor. Dan tidak akan membahayakan kamu sekalian, apakah (sembelihan itu) jantan atau betina.”
II.                Tradisi Akikah
Penulis melakukakan penelitian lapangan di Desa Lalang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara, Desa Nagur, Kecamatan Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Desa Kolang, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan. Ketiga desa tersebut dipilih dengan beberapa alasan, di antaranya:
(1)   Desa tersebut mayoritas dihuni oleh etnis Melayu, sehingga dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari adat istiadat Melayu sangat kental dan masih dipergunakan oleh masyarakatnya.
(2)   Pada ketiga desa ini tempat berdomisilinya kelompok marhaban yang selalu diundang oleh masyarakat yang hendak melaksanakan pesta perkawinan, akikah, sunat rasul, dll.
(3)   Pada ketiga desa ini di saat peneliti mengadakan penelitian sedang ada upacara akikah yang melaksanakan adat istiadat Melayu terutama dengan mengundang kelompok marhaban.
Bulan September 2013 ditemukan ada salah satu keluarga di Desa Lalang, yaitu di rumah keluarga pasangan Bapak Ilham dan Ibu Maisyarah yang melaksanakan upacara akikah atas kelahiran putra pertama mereka, di mana pada upacara ini keluarga tersebut mengundang kelompok marhaban.
Kemudian pada bulan yang sama, ditemukan lagi satu keluarga di Desa Nagur, yaitu di rumah keluarga pasangan Bapak Idris dan Ibu Lia yang melangsungkan upacara akikah untuk putrinya yang baru lahir. Keluarga ini juga mengundang kelompok marhaban.
Bulan Oktober 2013, ditemukan lagi satu keluarga di Desa Kolang, yaitu di rumah keluarga pasangan Bapak Safaruddin dan Ibu Laila, yang mengadakan upacara akikah untuk anak putri kedua mereka. Keluarga ini juga mengundang kelompok marhaban.
Untuk memulai kegiatan penelitian ini, terlebih dahulu peneliti mencari informasi mengenai warga masyarakat yang akan mengadakan upacara akikah untuk anaknya. Setelah ditelusuri, dengan bantuan dari beberapa sahabat peneliti. Peneliti kemudian mencari informasi pada ketiga keluarga yang akan melangsungkan upacara akikah tersebut. Peneliti mengadakan silaturahmi dengan mengunjungi ketiga rumah keluarga yang akan melangsungkan upacara akikah itu. Kehadiran peneliti diterima dengan senang hati dan penuh dengan kekeluargaan. Bahkan peneliti sendiri diundang secara resmi untuk hadir pada upacara tersebut. Setelah berbicara dengan bertutur silsilah keluarga, akhirnya peneliti berusaha masuk untuk menanyakan mengenai rencana upacara akikah anak mereka. Peneliti menanyakan tentang apakah sewaktu acara tersebut menggunakan adat istiadat Melayu, khususnya apakah ada mengundang kelompok marhaban, juga peneliti menanyakan kapan hari dan tanggal pelaksanaannya. Setelah memperoleh semua jawaban atas pertanyaan peneliti.
Berikutnya peneliti bersilaturahmi pula ke rumah ketua kelompok marhaban yang akan mengisi acara marhaban, barzanji, dan melantunkan Syair Nyanyian Anak pada upacara akikah di tiga rumah keluarga yang akan melaksanakannya.
Setelah sampai waktu yang telah ditentukan, peneliti datang untuk menghadiri undangan ketiga keluarga yang akan melangsungkan upacara akikah anaknya. Kehadiran peneliti di sini mulai dari awal acara hingga selesainya acara. Posisi peneliti di sini di samping sebagai undangan, peneliti juga terus mengamati jalannya upacara tersebut. Peneliti diberi kesempatan untuk memotret dan merekam jalannya upacara akikah. Namun dalam hal ini, peneliti tidak secara langsung menunjukkan bahwa peneliti sedang melakukan pemotretan dan perekaman. Ini dilakukan karena dikuatirkan para anggota kelompok marhaban merasa terganggu dan merasa grogi apabila mereka tahu dirinya dipotret dan direkam. Peneliti cukup memotretnya dari kejauhan dengan kamera digital 15 megabit dan merekam suara telangkai dari pengeras suara atau mikropon yang ada di rumah tersebut.
Kedua tempat pesta perkawinan ini juga memakai hiburan organ tunggal (keyboard). Jika di kota, biasanya hiburan keyboard  ini ditampilkan mulai pada siang hari sampai malam hari, akan tetapi di ketiga desa ini hiburan keyboard justru dimulai pada malam hari hingga sampai pukul 24.00 WIB. Para penontonnya bukan saja yang diundang, namun datang juga para penonton yang bukan undangan, khususnya dari kalangan anak muda. Puncak kedatangan undangan justru pada malam hari, yaitu sehabis Magrib.
Tulisan ini mengkaji tentang tradisi upacara akikah pada masyarakat Melayu di Pesisir Timur Sumatera Utara. Tradisi akikah dilakukan oleh masyarakat untuk merayakan atas kelahiran seorang anak. Walaupun dalam agama Islam, dianjurkan upacara akikah ini dilaksanakan tujuh hari setelah kelahiran anak. Namun, pada masyarakat Melayu umumnya dilaksanakan setelah anak berusia 40 hari. Atau di saat habis masa nifas ibunya. Sementara untuk usia tujuh hari, umumnya masyarakat hanya memberikan nama kepada si anak, walaupun pemberian nama ini belumlah secara resmi.
Pemberian nama atau penabalan nama secara resminya adalah sewaktu upacara akikah. Pada upacara akikah ini diadakan pesta atau kenduri dengan memotong kambing, sesuai dengan anjuran agama Islam. Jika anak laki-laki dua ekor kambing yang disembelih, jika anak perempuan hanya satu ekor.
Di saat upacara akikah ini diundanglah kelompok marhaban dan barjanzi. Kelompok ini juga yang akan membawakan syair nyanyian anak. Syair ini dibacakan setelah selesai acara tepung tawar dan marhaban serta berjanzi.
Berdasarkan penelitian penulis di tiga wilayah Melayu Pesisir Timur, yaitu di Desa Lalang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara; di Desa Kolang, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan; dan di Desa Nagur Kecamatan Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai. Pada tiga lokasi ini, peneliti mengadakan observasi terhadap tradisi akikah. Di Desa Lalang, karena yang mengadakan upacara akikah adalah keluarga yang baru memiliki anak perempuan, maka kelompok marhaban dan barjanzi yang diundang adalah kelompok perempuan, sementara di dua lokasi lainnya, adalah upacara akikah untuk anak laki-laki, maka kelompok marhaban dan barjanzinya adalah kelompok laki-laki.
Syair Nyanyian Anak ini digolongkan sebagai tradisi lisan, karena disampaikan secara lisan. Sedangkan para penuturnya (kelompok marhaban) semakin lama semakin berkurang dan hanya dibawakan oleh penutur yang sudah tua. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada langkah-langkah ke arah pelestariannya, maka jelaslah syair ini akan punah. Situasi inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan penelitian.
Kondisi di atas, dapat ditemukan dalam masyarakat di tiga lokasi penelitian. Pelaksanaan upacara Akikah dengan menampilkan Syair Nyanyian Anak telah mengalami penurunan. Menurut informan, tidak banyak kelompok marhaban yang mampu membawakan syair nyanyian anak. Di sisi lain, banyak juga keluarga yang tidak mengundang kelompok marhaban, malahan dengan menampilkan hiburan modern, seperti organ tunggal (keyboard). Hal ini, selain diakibatkan oleh kurangnya pemahaman para generasi muda terhadap makna dan fungsi syair itu sendiri, juga pengaruh arus globalisasi yang telah meluluhlantahkan kearifan lokal yang dianggap mitos dan digantikan dengan yang berbau modern.
Syair Nyanyian Anak merupakan ekspresi budaya masyarakat Melayu Pesisir Timur. Bagaimana korelasi antara teks dan konteks, yang diwujudkan dengan pentas sastra. Selain itu, syair ini mengandung unsur pendidikan untuk mendidik anak-anak agar jangan durhaka kepada orangtuanya, sehingga hal ini menjadi mitos pengukuhan (myth of concern). Syair biasanya digunakan untuk melukiskan sebuah cerita yang panjang, nasihat, falsafah, agama, dan lain-lain (Syarif dan Ahmad, 1993:116)10.
Mengacu kepada pendapat di atas maka jelaslah, bahwa Syair Nyanyian Anak ini mengandung falsafah. Falsafah adalah hasil pemikiran kebenaran untuk mencari kebenaran hidup. Sebagai hasil pemikiran dan karya syair ini tentu mengandung tuntunan, pandangan hidup tentang kebenaran. Tradisi lisan menurut Pudentia (dalam Nasution dan Sinar, 2011:1)11 dalam berbagai bentuknya sangat kompleks dan mengandung, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni lainya.
III.             Pentas Sastra Lokal
Sebelum dinyanyian syair, kelompok marhaban membawakan marhaban dan barjanzi. Mereka menyanyikannya dengan cara berdiri. Di saat itu, ibu si bayi didampingi oleh ayahnya menggendong si bayi berkeliling mendatangi para personil marhaban. Ada dua orang petugas yang membawa baki untuk tempat gunting dan satu orang lagi khusus membawa baki yang di atasnya ada buah kelapa muda yang diukir sebagai tempat rabut bayi yang dipotong. Di dalam buah kelapa muda itu diisi air dengan beberapa bunga mawar. Setiap personil yang dihampiri harus memotong sedikit rambut si bayi, lalu memasukkannya ke dalam buah kelapa muda. Setelah semuanya mendapat giliran, maka untuk membersihkan rambut si bayi yang belum habis dipotong adalah tugas bidan atau seorang perempuan tua yang ditunjuk untuk melakukannya.
Setelah itu, tubuh bayi dibersihkan, lalu diberikan pakaian yang baru. Kedua orangtua si bayi duduk dekat ayunan atau buaian si bayi. Ayunan bayi ni terbuat dari rotan, kemudian dihiasi dengan berbagai hiasan warna warni. Bayi dipangku oleh ayahnya. Kemudian dilanjutkan dengan upacara tepung tawar oleh para sanak keluarga dan undangan lainnya, sementara kelompok marhaban masih dalam posisi berdiri menyanyikan barjanzi.
Sehabis upacara tepung tawar, kelompok marhaban pun selesai menyanyikan barjanzi. Dilanjutkan dengan penabalan nama secara resmi dan diiringi pembacaan doa oleh seorang ustazd. Selesai penabalan nama dan pembacaan doa, bayi dimasukan ke dalam buaian. Sebelumnya si bayi diberi ASI dulu oleh si ibunya. Saat si bayi sudah mulai mengantuk, barulah dia dimasukkan ke dalam buaian.
Di saat bayi dalam buaian, kelompok marhaban kembali berdiri sembari memegang tali buaian dengan mengayunnya secara perlahan. Di saat inilah Syair Nyanyian Anak dinyanyikan secara bergiliran oleh kelompok marhaban. Pada bait pertama dan kedua syair dinyanyikan secara solo, tetapi pada bait ketiga dan keempat, semua kelompok marhaban menyanyikannya. Bahkan terkadang undangan dan keluarga juga ikut menyahutinya.
Teks Syair Nyanyian Anak yang dibawakan oleh kelompok marhaban ini ada sejumlah 80 bait. Teks tersebut tidak dalam bentuk tertulis, setiap personil kelompok marhaban sudah hafal terhadap teks-teks tersebut. Dari tiga lokasi penelitian, teks-teks syairnya nyaris sama, walaupun terkadang ada beberapa kata yang berbeda, khususnya berkaitan dengan dialek setempat.
Teks syair yang menjadi acuan peneliti adalah teks syair yang diperoleh pada lokasi upacara di Desa Lalang. Hal ini dikarenakan, kelompok marhaban ada menuliskan teks syair tersebut dalam buku tulis biasa berhalaman 40 halaman dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan jawi, mereka menyebutnya sebagai ‘arab gundul’. Menurut pimpinan kelompok marhaban, M. Yatim (72 tahun), teks tersebut ditulis oleh orang tua beliau. Diperkirakan teks itu sudah berumur 85 tahun. Akan tetapi, beberapa anggota kelompok marhaban ini sudah menuliskannya ke dalam tulisan latin. Teks inilah yang dibawa saat ada undangan untuk membacakan Syair Nyanyian Anak ini. Walaupun pada prinsipnya, semua anggota kelompok marhaban sudah hafal teks syair tersebut. Sehingga sewaktu upacara mengayun si bayi, teks disampaikan secara lisan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bernard Arps (1992), bahwa teks sastra tidak harus hadir dan lahir melalui pentas.
Unsur-unsur pentas sastra pada tradisi ini dapat dilihat, misalnya dari segi kostum kelompok marhaban yang seragam. Teknik-teknik pembacaan dengan melantunkannya lalu dijawab serentak oleh anggota kelompok marhaban yang lain. Begitu juga dengan posisi berdiri kelompok marhaban.
Berikut adalah teks Syair Nyanyian Anak.
1.
Dengan bismillah kami mulai
Alhamdulillah shalawatnya nabi
Dengan takdir allah urobbi
Sampailah maksud yang dicintai
2.
Bismillah itu mula pertama
Zat dan sifat ada bersama
Keadaan zat menyertakan sama
Qidam dan baqa sedialah nama
3.
Setelah turun rahim bapakmu
Ke dalam batin rahim ibumu
Empat puluh hari nattefah namamu
Di situ dimulai pantang ibumu
4.
Setelah sampai delapan puluh hari
Alkah namamu pula diberi
Sehingga sampai seratus dua puluh hari
Alkolah pula konon dinamai
5.
Empat bulan sampailah tuan
Sudah menjadi kaki dan tangan
Cukuplah dengan sifat sekalian
Nyawanya lagi belum didatangkan
6.
Setelah sampai saat dan waktu
Datanglah nyawa lalu bersatu
Di dalam tubuh tempat nyawa itu
Hawa dan nafsu sudah berlaku
7.
Dikandungkan ibumu sembilan bulan
Nasi dan air tiada tertelan
Memperanakkan engkau berapa kesakitan
Kadang bercerai nyawa di badan
8.
Tatkala engkau jatuh ke lantai
Dengan segera bidan mencapai
Sudah dimandikan lalu dipakai
Tinggal ibumu lemah gemulai
9.
Sudah dipakai lalu diazan atau dikomat
Mintalah doa supaya selamat
Ingatlah pesan nabi Muhammad
Di atas dunia mengerjakan syariat
10.
Seorang anak cinta yang lama
Sekarang sudah kami  terima
Seorang anak diberi nama
Kami ayunkan bersama-sama
11.
Emas dan perak kami ayunkan
Anak ditaruh di dalam ayunan
Tali ayunan kami pegangkan
Emas dan perak kami nyanyikan
12.
Kusmangat putraku tuan
Jangan termamang dalam ayunan
Dipanggil kami orang sekalian
Ibu bapakmu minta ayunkan
13.
Dipanggil kami orang sekalian
Oleh ibu bapakmu tuan
Serta diberi minum dan makan
Menyertakan syukur kepada tuhan
14.
Syukur kepada allah taala
Karena mendapat intan gemala
Memberi sedekah beberapa pula
Dengan sekadar ada segala
15.
Dipanggil sekalian kaum kerabat
Serta sekalian handai sahabat
Segala jiran kawan berdekat
Semuanya datang dengan selamat
16.
Jauh dan dekat datang sekalian
Besar dan kecil, laki-laki dan perempuan
Setengahnya datang ada yang berjalan
Setengahnya berjalan berpayung awan
17.
Ingatlah kami datang bertalu
Mengunjungi engkau hilir dan ulu
Mengayun engkau maksud begitu
Karena niat ibu bapakmu
18.
Jika panjang sudah umurmu
Jasa mereka balas olehmu
Wahai anakku pikir olehmu
Besarlah hati ibu bapakmu
19.
Ayuhai anak jangan dibantah
Ibumu memeliharakan terlalu susah
Dialih ke kiri ke kanan pun basah
Habis berlumur kencing dan muntah
20.
Ibu bapakmu mari dengarkan
Anak diayun kami nyanyikan
Bersama-sama kita doakan
Harap allah minta perkenan
21.
Ayuhai anakku sudah bangsawan
Pengajaran ibumu jangan dilawan
Dipelihara dari ribut dan topan
Takut terkena penyakit setan
22.
Dilabuhkan tirai semut pun lalu
Pelita dipasang dalam kelambu
Sembur dan barut datang bertalu
Minta jauhkan setan dan hantu
23.
Kalau datang petir dan ribut
Ramuan dibakar engkau dibarut
Di dalam hati terlalu takut
Memeliharakan engkau jangan terkejut
24.
Ada pun anak masa kecilnya
Harum-haruman ibu bapaknya
Hingga sampai masa umurnya
Tujuh tahun genap bilangannya
25.
Tujuh tahun sampai kiraan
Umur anak muda bangsawan
Inilah anak jadi perhiasan
Kepada ibu bapakmu tuan
26.
Sehingga sampai umurnya tuan
Sepuluh tahun cukup bilangan
Ketika itu menjadi tulan
Atau seteru menjadi lawan
27.
Demikianlah anak kami khabarkan
Ibu bapakmu minta pikirkan
Carilah ilmu janganlah segan
Memeliharakan anak serta pelajaran
28.
Dipeliharakan oleh ibu bapakmu
Sehingga sampai sudah umurmu
Serahkan mengaji ke hilir ke ulu
Karena besar niat ibumu
29.
Jikalau engkau tamat mengaji
Hati ibumu besar sekali
Tiada diberi ke sana sini
Sehingga kitab mulai dikaji
30.
Jikalau engkau pandai berkitab
Bahasa jawi dengannya arab
Baru ibumu hatinya tetap
Makan dan minum barulah sedap
31.
Kitab quran dibaca qori
Disuruh pula pergi ke haji
Pergi memijak tanah yang suci
Supaya terbuang kelakuan yang keji
32.
Jika besar cahayanya mata
Ajarkan ilmu agama kita
Jika ilmu tak ada di kita
Serahkan kepada alim pendeta
33.
Demikianlah anak supaya berilmu
Baik dan jahat nyata di situ
Dengan sebab demikian itu
Jadilah baik sebarang perilaku
34.
Jikalau anak tanda bahagia
Di mana pesan dipegangnya juga
Walaupun miskin walaupun kaya
Obatnya juga sehabis daya
35.
Jika sudah engkau nan besar
Pengajaran ibumu hendaklah dengar
Perkataan bapakmu hendaklah dengar
Itu menjadi kata nan benar
36.
Pengajaran bapakmu diikut-ikut
Engkau masukan ke dalam perut
Bawa olehmu pergi menuntut
Mudah mendapat apa-apa maksud
37.
Jikalau menuntut engkau mendapat
Terpujilah engkau dunia akhirat
Berhimpun sekalian handai sahabat
Mana yang jauh bertambah dekat
38.
Jika dapat ilmu yang setia
Serta engkau yakin percaya
Di dalam akhirat tanah yang mulia
Duduk di dalam pangkuan aulia
39.
Jikalau mendapat ilmu yang teguh
Engkau amalkan bersungguh-sungguh
Tertutuplah pintu neraka yang tujuh
Teranglah jalan seperti suluh
40.
Jikalau engkau pandai mengaji
Barulah engkau bersuka hati
Kepada tuhan engkau terpuji
Mendapatlah engkau surga yang tinggi
41.
Jikalau tidak demikian peri
Tentulah anak tidak mengerti
Jadilah anak buta dan tuli
Baik dan jahat sama sekali
42.
Jika anak tiada pelajaran
Halal dan haram diserupakan
Bersifat salah tidak berpengetahuan
Akhirnya anak menjadi lawan
43.
Anak melawan sudahlah pasti
Ibu bapak tidak peduli
Sebab tidak kita ajari
Dunia dan akhirat kita nan rugi
44.
Betapa tidak rugi demikian
Dari kecilnya kita peliharakan
Beberapa belanja harta dihabiskan
Sudahlah besar menjadi lawan
45.
Di dalam dunia demikian peri
Di akhirat azab diterima lagi
Pelajaran ada tidak perduli
Anak dibiarkan bersuka hati
46.
Nyata kerugian ibu dan bapak
Karena tidak mengajar anak
Sebab itu janganlah tidak
Ikhtiarkan sungguh pelajaran anak
47.
Dengan sebenarnya pelajaran itu
Bolehlah baik tingkah dan laku
Jadilah anak orang nomor satu
Dunia akhirat boleh membantu
48.
Anak demikian jikalau didapat
Laksana penyakit menjadi obat
Demikianlah tuan mula ibarat
Maklumlah tuan karena makrifat
49.
Wahai anakku yang setiawan
Engkaulah ini anak perempuan
Jikalau engkau ada pertemuan
Suami itu jangan dilawan
50.
Barang siapa melawan suami
Terlalu sakit masa mau mati
Mukanya hitam seperti babi
Di dalam neraka tempat berhenti
51.
Jikalau engkau bersuami sudah
Setiap waktu suamimu disembah
Perkataan suamimu jangan dibantah
Walaupun benar walaupun salah
52.
Jika ada dosa kesalahan
Pada suamimu minta maafkan
Jikalau suamimu tidak memaafkan
Inilah menjadi dosa berkepanjangan
53.
Jikalau anak tiada mengikut
Nazar ibunya mukanya kerut
Masa mau mati ia terkejut
Di dalam quran sudah tersebut
54.
Wahai anakku hendaklah ingat
Jangan diikut iblis laknat
Kerjakan olehmu amal yang taat
Engkau jauhkan sekalian maksiat
55.
Wahai anakku muda cemerlang
Neraka itu hangat bukan kepalang
Tersentuh ke daging sampai ke tulang
Jerit dan tangis diulang-ulang
56.
Ayuhai ibu ayuhai bapak
Demikian nasihat kami serentak
Harap perkenan janganlah tidak
Mudahlah sampai barang kehendak
57.
Wahai anakku dalam ayunan
Kami berpesan engkau ingatkan
Di atas kepala engkau junjungkan
Di dalam hati engkau taruhkan
58.
Kami mengayun terlalu banyak
Supaya tidurmu bertambah nyenyak
Engkau masukan ke dalam otak
Dibawa berjalan jangan tercampak
59.
Wahai anak muda jauhari
Pesanan kami engkau ingati
Engkau masukan ke dalam hati
Jangan ditaruh di ibu kaki
60.
Wahai anak muda cemerlang
Engkau doakan malam dan siang
Sembahyang itu jangan dibuang
Dosanya besar bukan kepalang
61.
Ya allah malaikul ufrah
Anaknya ini besarkan tuah
Siang dan malam makin bertambah
Sehingga sampai ia bertuah
62.
Sehingga itu berhati sudah
Mengayun anak nazam ditambah
Harap selamat berhati sudah
Supaya ibumu janganlah gundah
63.
Wahai anak muda kami ayunkan
Engkaulah ini kami doakan
Umur yang pendek minta panjangkan
Rezeki yang halal minta murahkan
64.
Ya allah malikul robbi
Limpahkan makmur sehari-hari
Sehatkan badan terangkan hati
Anaklah ini murahkan rezeki
65.
Ya allah malikul zabar
Anaklah ini lekaslah besar
Jauhkan dari neraka yang mungkar
Dunia akhirat supaya terbesar
66.
Ya allah malikul robbi
Anaklah ini tetapkan hati
Minta kurnia pangkat yang tinggi
Di akhirat boleh engkau terpuji
67.
Ya allah malikul rahman
Anaklah ini tetapkan iman
Amal ibadat minta kuatkan
Setan dan iblis minta jauhkan
68.
Ya allah malikul manan
Doalah kami minta perkenan
Siang dan malam sepanjang zaman
Bala dan fitnah mohon dijauhkan
69.
Ya allah kholikul bakhri
Beri petunjuk sekalian kami
Iman dan taat jadikan kami
Dunia akhirat minta disenangi
70.
Wahai anakku segeralah tidur
Lekaslah besar supaya termasyur
Jika anakku tidaklah tidur
Ibu bapakmu menjadi hibur
71.
Ayuhai anak ingat olehmu
Harap dibalas jasa ibumu
Serta pula jasa bapakmu
Kemudian pula handai sahabatmu
72.
Sehingga ini berarti mudah
Mengayun anak nazam ditambah
Nazam dimulai dengan bismillah
Disudahi pula dengan Alhamdulillah
73.
Tamatlah sudah anak diayun
Sanak saudara yang ada sekalian
Serta meminta kita doakan
Supaya tenang anak budiman
74.
Telah selesai kami nyanyikan
Kami meminta serta diselamatkan
Kami bersyair jangan dimudahkan
Syair seumur hidup anak ingatkan
75.
Habislah nasihat tamatlah kalam
Syair Fatimah yang punya salam
Salah perkataan tersebut kalam
Jangan disimpan di hati dalam
76.
Tamatlah syair yang hamba bacakan
Sekadar inilah yang didapatkan
Entah ia entah pun bukan
Tiadalah dapat hamba ceritakan
77.
Desa lalang kampung mulia
Di situlah rumah senantiasa
Ditolong allah tuhan yang esa
Tamatlah syair selamat sentosa
78.
Dari medan ke bukittinggi
Singgah bermalam di tebingtinggi
Hamba seorang bodoh sekali
Sudahlah nasib badan sendiri
79.
Makdum konon nama yang nyata
Mengarang syair belum biasa
Duduk di rumah senantiasa
Karena hamba sudahlah tua
80.
Jikalau ada jarum yang patah
Jangan disimpan di dalam peti
Jikalau ada perkataan yang salah
Jangan disimpan di dalam hati

Nilai-nilai yang dapat dipetik dari teks syair tersebut, di antaranya berkaitan dengan mitos pengukuhan (myth of concern). Misalnya penamaan ketiga terjadi pembuahan di rahim ibu, yaitu /Empat puluh hari nattefah namamu/ (bait 3). /Setelah sampai delapan puluh hari/, /Alkah namamu pula diberi/, /Sehingga sampai seratus dua puluh hari/, /Alkolah pula konon dinamai/ (bait 4). Perjalanan tentang asal kejadian manusia dalam rahim ibu ini diyakini bahwa kita semua berasal dari tetesan air mani ayah dan ibu yang bertemu saat terjadi perkawinan. Lalu dengan kekuasaan Allah terjadilah proses luar biasa di luar akal sehat kita, karena itu semua merupakan kekuasan Allah semata selanjutnya hingga menjadi bayi.
Allah SWT menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jimak) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dinyatakan dalam firman-Nya sebagai berikut, “Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan.” (Al-Quran, Al Mursalat: 20-22).
Selanjutnya peristiwa ini juga didukung oleh hadis, “Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah SWT kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Tafsir Ath Thabari). Peristiwa dalam tafsir di atas diperkuat dengan hadis Rasulullah Saw yang memperhitungkan waktu terjadinya proses bayi, Beliau bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezekinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli surga sehingga tidak ada di antara dia dan surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga sehingga ia memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih). Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas. Peristiwa yang dominan pada keterangan hadis di atas adalah proses malaikat meniupkan ruh setelah calon bayi tadi berusia empat bulan (120 hari) setelah memiliki bentuknya. Setelah memiliki sifat itu ditetapkan empat perkara atas bayi itu oleh Allah. Perkara itu antara lain, rezekinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia.
IV.             Kearifan Lokal: sebagai pembentuk karakter
Konsep kearifan lokal pada prinsipnya bertujuan untuk memperkuat jati diri suatu suku bangsa yang dapat direfleksikan untuk memantapkan budaya nasional. Tujuan tersebut dicapai antara lain melalui upaya memperkokoh ketahanan budaya sehingga mampu menangkal penetrasi budaya asing yang bernilai negatif dan memfasilitasi proses adopsi dan adaptasi budaya asing yang bernilai positif dan produktif. Di samping itu, diupayakan pula pembangunan moral manusianya yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, gotong-royong, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu dan tanggungjawab. Tujuan tersebut dilaksanakan pula melalui pengarusutamaan nilai-nilai budaya pada setiap aspek pembangunan. (PP No. 20/2004, 2—3)12.
Hal ini sangat diperlukan mengingat karena masih lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya. Gejala tersebut dapat dilihat dari menguatnya orientasi kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan bahkan disintegrasi bangsa. Fenomena itu mengkhawatirkan karena Indonesia terdiri atas sekitar 500-an suku bangsa. Masalah ini juga semakin serius akibat dari makin terbatasnya ruang publik yang dapat diakses dan dikelola bersama masyarakat multikultur untuk penyaluran aspirasi (PP No. 20/2004, 2)12.
Kearifan lokal atau local genius merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya secara terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya. Dengan kata lain, seorang anggota masyarakat budaya menjadi cerdas berkat pengalaman hidup yang dihayatinya. Ia memiliki kecerdasan karena proses belajar yang dilakukannya dalam perjalanan pengalaman hidup (Rahyono, 2009:7—8)13.
Masalah yang dihadapi saat ini adalah seberapa kuat tradisi lokal yang mengandung kearifan lokal ketika dihadapkan dengan globalisme yang melanda dunia? Globalisme yang mengalir deras mengisi setiap sisi kehidupan manusia telah mengakibatkan kolonialisme dan kapitalisme baru, di mana semua direduksi, dimusnahkan dan dimaterialkan. Menurut Romo Mudji Sutrisno, globalisme telah menciptakan kolonialisme kultural, di mana negara-negara maju dengan teknologinya dan kekuatan ekonomi menjajah negara-negara dengan identitas etnis mereka.
Untuk itu perlu dilakukan mapping local genius. Mapping local genius dapat dilakukan dengan mengadakan pengkajian terhadap karya sastra dan cerita lisan (tradisi lisan). Di seluruh kelompok etnis di nusantara ini, hampir dipastikan terdapat karya-karya sastra dan tradisi lisan yang dapat digunakan sebagai penyadaran terhadap generasi muda. Untuk itulah sosialisasi tentang kearifan lokal kepada masyarakat perlu dilakukan. Sehingga transformasi budaya ini dijadikan suatu gerakan nasional (Sutrisno, 2005:312)14.
Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diambil dari Syair Nyanyian Anak pada tradisi upacara akikah tersebut, yaitu sangat kental dengan pesan moral bagi anak. Sehingga pesan-pesan moral tersebut dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter.
Beberapa nilai yang dapat diungkap dari teks syair di atas, yaitu: mengingatkan kepada seorang bahwa betapa beratnya beban seorang ibu di saat mengandung si bayi (bait 6—7). Oleh sebab itu, jangan melawan kepada orang tua, khususnya ibu (bait 19, 21). Nilai yang cukup fenomena adalah tentang pentingnya menuntut ilmu (bait 27—48). Bagi anak perempuan juga ada nilai kearifannya tentang suami jangan dilawan (bait 49—52). Selebihnya merupakan nilai peringatan mengenai azab dan sengsara, apabila tidak mengerjakan amal ibadah.
V.                Simpulan
Hakekat atau isi dari Syair Nyanyian Anak adalah tunjuk ajar yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma yang dianut masyarakat. Penyampaian nilai-nilai tersebut melalui suatu pentas sastra lokal yang hadir dalam upacara akikah. Syair harus dipahami dan dimengerti dalam konteks sosio-kultural masyarakat, bukan semata-mata pada pilihan katanya. Untuk tujuan tersebut, ada sekian perangkat yang harus dipersiapkan agar pemahaman yang dicapai tidak menimbulkan kesesatan, di antaranya adalah melalui bentuk penyampaiannya yang dalam hal ini bersifat pentas sastra.
Berdasarkan kondisi pentas sastra lokal, keberadaan penuturnya sudah sangat mengkuatirkan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya pelestariannya. Sudah tidak banyak lagi dijumpai kelompok marhaban yang mampu membawakan atau melantunkan Syair Nyanyian Anak ini.
Penelitian ini berguna bagi para peneliti selanjutnya untuk mengkaji Syair Nyanyian Anak dari kajian yang berbeda seperti kajian sosiologi, sejarah, maupun psikologi. Hal ini memungkinkan sebab syair ini adalah berbentuk anonim, dan menyangkut sejarah Islam masuk ke Indonesia, kemudian sarat dengan nilai-nilai moral yang ingin diajarkan oleh orang tua kepada anaknya.

Daftar Pustaka
[1]     Hunter, J. Paul. 1991. The Norton introduction to poetry (fourth edition). New York/London: W. W. Norton & Company.
2     Jakobson, Roman. 1960 [1987]. Linguistics and Poetics. Dalam Pomorska, K. & Rudy, S. Roman Jakobson, Language in Literature, pp. 62-94. Cambridge, Mass., London, England: The Belknap Press of Harvard University Press.
3     Sherzer, Joel, & Anthony C. Woodbury (eds.). 1987. Native American Discourse:Poetics and rhetoric. Cambridge, New York: Cambridge University Press.
4     Arps, Bernard. 1992. Tembang in two traditions: Performance and interpretation of Javanese literature. Southampton: Hobbs the Printers Ltd.
5     Sapir, Edward. 1921. Language: An introduction to the study of speech. San Diego, New York, London: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.
6     Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
7     Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Cetakan Kedua. Jakarta: Erlangga.
8     Sinar, T. Luckman dan Syaifuddin. 2002. Kebdayaan Melayu Sumatera Timur. Medan: USU Press.
9     Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
10    Sharief,  Zalila dan Jamilah Haji Ahmad. 1993. Kesusastraan Melayu Tradisional. Cetakan Pertama. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
11    Nasution, Ikwanuddin dan T. Silvana Sinar. 2011. Mitos Cerita Rakyat. Medan: USU Press.
12    Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004, tentang “Rencana Kerja Pemerintah”.
13    Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra.
14 Sutrisno, F.X. Romo Mudji. 2005. Manusia dan Kebudayaan: dalam Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat, Dalam Perspektif Sejarah; Depdikbud, tahun 2005, hlm. 312.

Penulis
Sahril adalah Peneliti Muda pada Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Kemdikbud, lahir di Desa Lalang 22 Oktober 1965. Beliau banyak menulis buku tentang bahasa, sastra, budaya, dan buku pelajaran muatan lokal, sampai 2014 sudah 71 judul buku ditulis dan diterbitkan beliau. Pada tahun 2012 diundang untuk mengikuti Book Fair International di Kuala Lumpur untuk memamerkan bukunya. Pernah diundang untuk membacakan pusi di TIM Jakarta pada acara Mimbar Penyair Abad 21 tahun 1996. Sahril aktif juga menulis di beberapa media massa cetak terbitan lokal, Jakarta, dan Malaysia. Ia juga sering menjadi pembicara sastra di beberapa kegiatan kesastraan. Februari 2014, menjadi pembicara di Universiti Teknologi Mara Pahang, Malaysia dalam acara Festival Teater 3 Negara (Malaysia, Indonesia, dan Brunai). Dalam bidang keilmiahan, ia aktif di Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) semenjak 1994, Sekretaris HISKI Komisariat Sumatera Utara. Tahun 1995 mengikuti pelatihan peneliti muda di Malang, Jawa Timur dengan pembimbing James Danandjaja. Sahril aktif juga di Himpaudi Wilayah Provinsi Sumatera Utara. Semenjak 2012, Sahril juga menjadi tutor nasional PAUD. Konsultan Bahasa di Penerbit Mitra (Anggota IKAPI) Medan.



*  Peneliti Muda Bahasa dan Sastra di Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Kemdikbud

1 komentar: