TRADISI AKIKAH MASYARAKAT
MELAYU
PENTAS SASTRA LOKAL “SYAIR
NYANYIAN ANAK”
DALAM KAJIAN ETNOPUITIKA
Balai Bahasa Provinsi Sumatera
Utara
Abstrak
Penelitian
ini mengkaji
tentang tradisi akikah melalui pentas sastra lokal “Syair Nyanyian Anak” pada
masyarakat Melayu Sumatera Utara. Masalah yang dikaji, yaitu bagaimana konsep
pentas sastra lokal “Syair Nyanyian Anak” hadir dalam tradisi akikah.
Penelitian ini menggunakan teori etnopuitika dengan metode penelitian
kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan
studi pustaka. Temuan penelitian ini adalah, tradisi akikah masih sering dilakukan oleh masyarakat, tetapi berkaitan
dengan pelaksanaan pentas sastra lokal “Syair Nyanyian Anak” oleh kelompok
marhaban sudah sangat langka dilaksanakan. Pola pentas sastra lokal yang
ditemukan berupa pembacaan syair tanpa teks tertulis yang dinyanyikan oleh
kelompok marhaban. Teks syair dinyanyikan secara bergantian oleh kelompok
marhaban. Teks-teks syair ini mengandung nilai-nilai didaktis dan dapat
dijadikan bahan ajar untuk pembentukan karakter anak.
Kata kunci: Pentas
sastra lokal dalam pembentukan karakter
Abstract
This study examines the tradition Akikah
through local literary scene “Syair Nyanyian Anak”to the Malay people of North Sumatra. The problem studied,
which is how the concept of the local literary scene “Syair
Nyanyian Anak” is present in Akikah tradition. This study
uses the theory ethno poetic with qualitative research methods. Data was collected through
observation, interviews, and literature. The findings of this study are, Akikah
tradition is still often done by people, but with regard to the implementation
of the local literary scene “Syair Nyanyian Anak” by a group of very rare marhaban been implemented. The
pattern of the local literary scene found a poem without reading the written
text sung by the group marhaban. Text lyric sung alternately by marhaban group.
The texts of these poems contain didactic values and can be used as teaching
material for the formation of character.
Keywords: Performance
of local literature in the formation of character
I.
Pendahuluan
Mengapa para siswa
SD selalu mendeklamasikan sajak atau puisi, tetapi tidak pernah
mendeklamasikan, surat undangan atau teks pengumuman? Jawabannya, karena hanya
teks sastralah yang layak dideklamasikan atau dipentaskan. Dalam teks sastra, terutama puisi, terkandung nada, pembaca disarankan untuk menyuarakan puisi tersebut, supaya mendapatkan maknanya yang penuh. Hal ini sejalan
dengan pendapat Hunter (1991:190)1,
yang menyatakan,
Poetry is, almost always, a vocal
art, dependent on the human voice to become its full self [...]. In a sense,
it begins to exist as a real phenomenon when a reader reads and actualizes it.
Poems don t really achieve their full meaning when they merely exist on a page; a
poem on a page is more a score or set of stage directions for a poem than a poem
itself.
Kedekatan antara bentuk dan makna atau iconicity,
sebagaimana yang disarankan oleh Pope dalam ungkapan the sound must seem an
echo to the sense, membantu menciptakan nada bagi puisi atau bahasa puitis
pada umumnya. Jadi, puisi memang ingin menjadikan dirinya iconic, dan
secara sengaja melanggar salah satu kaidah kebahasaan yang menyatakan bahwa
hubungan antara bentuk dan makna pada umumnya bersifat arbitrary . Dan
sifat iconic dari bahasa puitis atau teks sastra terdengar semakin jelas
dan menonjol bila ia dilisankan atau dipentaskan. Pada aspek tekstual inilah
terdapat kesejajaran antara puitika dan etnopuitika: bahasa puitis adalah
bahasa yang lazim dan enak dipentaskan. Perbedaannya adalah, dalam etnopuitika,
perhatian terhadap pentas sastra dan warna budaya lokal selalu ditekankan.
Istilah
"etnopuitika," yang terdiri atas
pefiks atau penjelas etno- dan kata dasar puitika, mengacu pada
dua hal. Etno-, yang secara etimologis berkaitan erat dengan kata etnik
atau etnis, mengacu pada sebuah masyarakat sebagai suatu kelompok
budaya. Sedangkan puitika, dalam pengertian struktural sebagaimana
dikemukakan oleh Jakobson (1960)2,
mengacu pada "bahasa puitis" atau poetic language. Perlu
dicatat bahwa bahasa puitis ala Jakobson tidak hanya merujuk pada teks
puisi pada khususnya atau teks sastra pada umumnya, melainkan juga merujuk pada
setiap teks yang bentuknya ditonjolkan demi mendapatkan perhatian khusus dari
pendengar atau pembacanya.
Etnopuitika diperkenalkan oleh Rothenberg pada
tahun 1968, melalui jurnal Alcheringa. Dalam perkembangan selanjutnya, ada dua ciri utama
yang menandai etnopuitika. Pertama, etnopuitika memfokuskan diri pada pentas
sastra atau verbal art performance. Dalam hal ini etnoputika dapat
dipandang sebagai puitika-pentas, yang merupakan titik temu dari berbagai
disiplin, seperti linguistik, antroplogi, sastra (lisan), dan folklore (Sherzer
& Woodbury 1987:2)3. Kedua, etnoputika
berusaha mempelajari makna pentas sastra serta implikasinya dengan lebih dahulu
memahami pengetahuan lokal. Artinya, setiap kelompok budaya (a culture)
atau komunitas penutur bahasa (a speech community) memiliki ciri-ciri
lokal yang khas, yang tidak terdapat pada kelompok budaya atau komunitas
penutur bahasa lainnya. Singkatnya, etnopuitika adalah puitika-pentas
yang bercirikan budaya lokal.
Menurut
Arps (1992)4, pemahaman pengetahuan lokal atau local knowledge merupakan
prasyarat yang tak dapat ditinggalkan oleh peneliti di bidang etnopuitika. Dan
hasil penelitian Arps mengenai tembang Jawa, yang dibukukan menjadi Tembang
in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature,
adalah sebuah contoh unggulan untuk penelitian etnopuitika. Hasil penelitian
Arps ini juga memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap etnopuitika.
Yaitu, teks sastra tidak harus hadir dan lahir melalui pentas. Dalam hal tembang
performance, atau yang dalam istilah lokalnya dikenal sebagai macapatan,
hampir dapat dipastikan bahwa teks selalu mendahului pentas. Perlu dicatat
bahwa istilah teks di sini diartikan secara longgar, sebagai a stretch of
verbal discourse. Jadi, teks bisa meliputi wacana lisan maupun tertulis.
Jika yang ditekankan adalah pengertian teks tertulis , maka definisi formalnya
menjadi an orthographic (or phonetic) record of the stretch of verbal
discourse.
Pentas menjadi bagian utama dari obyek studi
etnopuitika. Pentas ini pula yang secara tegas membedakan antara puitika (ala
Jakobson) dan etnografi wicara atau the ethnography of speaking,
yang dipopulerkan oleh Hymes sejak awal tahun 1960-an. Puitika Jakobson lebih
memusatkan perhatian pada struktur teks; dan etnografi wicara Hymes mempelajari
percakapan bahasa sehari-hari sebagaimana digunakan oleh penuturnya, serta
bagaimana penggunaan bahasa itu ditentukan oleh konteks percakapan dan
aturan-aturan yang berlaku dalam budaya lokal.
Menurut tinjauan
linguistik, percakapan sehari-hari dipandang sebagai an unmarked (usual) way
of speaking, sedangkan pentas sastra atau verbal art performance dipandang
sebagai a marked (unusual) way of speaking. Jadi, etnopuitika atau
puitikapentas, dengan terlebih dulu memahami nilai-nilai budaya lokal dan
memusatkan perhatiannya pada pentas sastra, bertujuan menjelaskan unsur-unsur
pembentuk struktur dan bunyi bahasa, yang merupakan ciri-ciri pokok dari pentas
tersebut. Penjelasan yang bersifat struktural, baik mengenai bentuk maupun
bunyi bahasa, banyak diwarnai oleh metode puitika Jakobson; sedangkan
penjelasan mengenai bagaimana budaya lokal itu mewarnai bahasa dan pentas
sastra banyak berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf, dalam versinya yang
moderat. Berkaitan dengan hal ini, Sapir (1921: 225)5 menyatakan bahwa setiap bahasa, sebagai alat ekspresi
budaya dan sastra, memiliki kekhasan masing-masing.
Munculnya etnopuitika disebabkan oleh
ketidakpuasan terhadap teori puitika Jakobson dan kekurang-sempurnaan etnografi
wicara ala Hymes. Sebagian besar ahli etnopuitika setuju untuk
memasukkan etnopuitika menjadi bagian dari etnografi wicara. Memang layak juga
dinyatakan bahwa ethnopoetics pada dasarnya merupakan kependekan dari ethnographic
poetics. Dan di sinilah etnopuitika bertemu dan menjadi bagian dari
etnografi wicara. Artinya, pengetahuan lokal yang merupakan prasyarat bagi
penelitian etnopuitika harus dilakukan melalui studi etnografis. Peneliti harus
turun ke lapangan untuk dapat sepenuhnya memahami kerangka serta pernik-pernik
dari pengetahuan lokal tersebut.
Sebagai disiplin
ilmu yang baru, etnopuitika merupakan perpaduan antara linguistik, sastra
lisan, folklor, dan antropologi (Sherzer & Woodbury, 1987)3.
Akibatnya, sebagai acuan teoritis, pendekatan dengan etnopuitika bisa sangat
beragam warna dan penekanannya. Dua hal yang menonjol dalam etnopuitika adalah
perhatiannya terhadap pentas sastra (verbal art performance) dan
pengetahuan lokal (local knowledge).
Menggunakan acuan etnopuitika, peneliti dapat
mencermati struktur teks dan juga seni pengucapan teks tersebut. Pada tataran
kalimat, teks dapat dianalisis dengan metode puitika Jakobson; dan pada tataran
wacana, teks dapat dianalisis dengan metode etnopuitika Hymes. Sedangkan seni
pengucapan teks dapat dianalsis menggunakan metode etnopuitika Tedlock, selama
hal itu tidak menyangkut "warna suara" masing-masing tokoh dalam
seni-pentas.
Koentjaraningrat (2002:190)6, mengungkapkan bahwa nilai budaya daerah tentu saja lebih bersifat
partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa
tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya
masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan
sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara
konkret, manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe
tertentu, misalnya orang Melayu diidentifikasikan sebagai orang-orang yang
santun, lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.
Suku
Melayu di pesisir Timur Sumatera Utara memiliki budaya atau tradisi
yang disebut dengan Syair Nyanyian Anak. Syair ini merupakan syair budi pekerti dan pendidikan yang
telah disadur dari kesusastraan Arab Parsi atau Islam (Waluyo,
1991:131)7.
Pendapat ini diperkuat lagi oleh Sinar
dan Syaifuddin (2002:17)8 yang mengatakan bahwa
hubungan Islam dan Melayu di abad ke-15 adalah masa peng-Islaman di alam
Melayu. Sehingga yang dikatakan Melayu itu adalah beragama Islam, berbahasa
Melayu, dan menjalankan adat resam budaya Melayu. Kemudian lahirlah falsafah
suku Melayu, yakni,”Adat bersendikan hukum syarak dan syarak bersendikan
Kitabullah”. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa syair ini mutlak
mengandung konsep Islam.
Kemudian, Braginsky dalam (Teeuw,
1988:354)9 mengatakan bahwa sastra Melayu klasik dekat dengan teori
estetika Arab yang ditentukan oleh ketergantungan seniman pada teladan yang
agung, yakni semesta sebagai ciptaan Tuhan: Pencipta yang Maha Esa. Ini artinya
Syair ini tergolong ke dalam sastra Melayu Klasik yang mendapat pengaruh
estetika Arab di abad pertengahan, yakni peneladanan seniman pada ciptaan Tuhan
yang Maha Agung. Syair Nyanyian Anak ini adalah tradisi milik masyarakat Melayu.
Syair ini biasa dipakai pada acara atau ritual akikah
untuk
anak yang dilahirkan. Tradisi ini disebut juga pelengkap ritual penabalan nama
seorang anak. Bait-bait syair ini melantunkan nilai-nilai religi yang
mengisahkan tentang sejarah asal usul kejadian umat manusia secara umum sebagai
ciptaan Tuhan semesta alam ketika berada di dalam kandungan atau
rahim setiap ibu.
Akikah berarti
menyembelih kambing pada hari ketujuh kelahiran seseorang anak. Menurut bahasa,
akikah berarti pemotongan. Hukumnya sunah
muakkadah bagi mereka yang mampu, bahkan sebagian ulama menyatakan wajib.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seorang anak yang baru lahir tergadaikan
oleh akikahnya. Maka disembelihkan kambing untuknya pada hari ketujuh, dicukur
rambutnya dan diberi nama” (HR. Ashabussunah). Imam Ahmad dan Tarmidzi meriwayatkan dari Ummu Karaz Al Ka’biyah
bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang akikah. Beliau bersabda, “Bagi anak
laki-laki disembelihkan dua ekor kambing dan bagi anak perempuan disembelihkan
satu ekor. Dan tidak akan membahayakan kamu sekalian, apakah (sembelihan itu)
jantan atau betina.”
II.
Tradisi Akikah
Penulis melakukakan
penelitian lapangan di Desa Lalang,
Kecamatan Medang Deras, Kabupaten
Batubara, Desa Nagur,
Kecamatan Beringin, Kabupaten Serdang
Bedagai, dan Desa Kolang, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan. Ketiga desa tersebut dipilih dengan beberapa alasan, di antaranya:
(1) Desa tersebut mayoritas
dihuni oleh etnis Melayu, sehingga dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari adat
istiadat Melayu sangat kental dan masih dipergunakan oleh masyarakatnya.
(2) Pada ketiga desa ini tempat berdomisilinya kelompok marhaban yang selalu diundang oleh
masyarakat yang hendak melaksanakan pesta perkawinan, akikah, sunat rasul, dll.
(3) Pada ketiga desa ini di saat peneliti mengadakan penelitian sedang ada upacara akikah yang
melaksanakan adat istiadat Melayu terutama dengan mengundang kelompok marhaban.
Bulan September 2013
ditemukan ada salah satu keluarga di Desa Lalang, yaitu di rumah keluarga
pasangan Bapak Ilham dan Ibu Maisyarah yang melaksanakan upacara
akikah atas kelahiran putra pertama mereka, di mana pada upacara ini keluarga
tersebut mengundang kelompok
marhaban.
Kemudian pada bulan yang sama, ditemukan lagi
satu keluarga di Desa Nagur, yaitu di rumah keluarga pasangan Bapak Idris dan Ibu Lia yang melangsungkan upacara akikah untuk
putrinya yang baru lahir. Keluarga
ini juga mengundang kelompok marhaban.
Bulan Oktober 2013, ditemukan lagi satu keluarga di Desa Kolang, yaitu
di rumah keluarga pasangan Bapak Safaruddin dan Ibu Laila, yang mengadakan
upacara akikah untuk anak putri kedua mereka. Keluarga ini juga mengundang
kelompok marhaban.
Untuk memulai
kegiatan penelitian ini, terlebih dahulu peneliti mencari informasi mengenai warga masyarakat yang akan
mengadakan upacara akikah untuk anaknya. Setelah ditelusuri, dengan bantuan dari beberapa sahabat peneliti.
Peneliti kemudian mencari informasi pada ketiga keluarga yang akan melangsungkan upacara akikah tersebut.
Peneliti mengadakan silaturahmi dengan mengunjungi ketiga rumah keluarga yang
akan melangsungkan upacara akikah itu. Kehadiran
peneliti diterima dengan senang hati dan penuh dengan kekeluargaan. Bahkan
peneliti sendiri diundang secara resmi untuk hadir pada upacara tersebut.
Setelah berbicara dengan bertutur silsilah keluarga, akhirnya peneliti berusaha
masuk untuk menanyakan mengenai rencana upacara akikah anak
mereka. Peneliti menanyakan tentang apakah sewaktu acara tersebut menggunakan
adat istiadat Melayu, khususnya apakah ada mengundang kelompok marhaban, juga
peneliti menanyakan kapan hari dan tanggal pelaksanaannya. Setelah memperoleh
semua jawaban atas pertanyaan peneliti.
Berikutnya peneliti bersilaturahmi pula ke rumah ketua kelompok marhaban yang akan mengisi acara
marhaban, barzanji, dan melantunkan Syair Nyanyian Anak pada upacara akikah
di tiga rumah keluarga yang akan
melaksanakannya.
Setelah sampai waktu yang telah ditentukan, peneliti datang untuk
menghadiri undangan ketiga keluarga yang
akan melangsungkan upacara akikah anaknya. Kehadiran peneliti di
sini mulai dari awal acara hingga selesainya acara. Posisi peneliti di sini di
samping sebagai undangan, peneliti juga terus mengamati jalannya upacara
tersebut. Peneliti diberi kesempatan untuk memotret dan merekam jalannya
upacara akikah. Namun dalam
hal ini, peneliti tidak secara langsung menunjukkan bahwa peneliti sedang
melakukan pemotretan dan perekaman. Ini dilakukan karena dikuatirkan para anggota kelompok marhaban merasa terganggu dan merasa grogi apabila mereka tahu dirinya
dipotret dan direkam. Peneliti cukup memotretnya dari kejauhan dengan kamera
digital 15 megabit dan merekam suara telangkai dari pengeras suara atau
mikropon yang ada di rumah tersebut.
Kedua tempat pesta perkawinan ini juga memakai hiburan organ tunggal (keyboard). Jika di kota, biasanya
hiburan keyboard ini ditampilkan mulai pada siang hari sampai
malam hari, akan tetapi di ketiga desa ini hiburan keyboard justru
dimulai pada malam hari hingga sampai pukul 24.00 WIB. Para penontonnya bukan
saja yang diundang, namun datang juga para penonton yang bukan undangan,
khususnya dari kalangan anak muda. Puncak kedatangan undangan justru pada malam hari, yaitu sehabis Magrib.
Tulisan ini mengkaji tentang tradisi
upacara akikah pada masyarakat Melayu di Pesisir Timur Sumatera Utara. Tradisi
akikah dilakukan oleh masyarakat untuk merayakan atas kelahiran seorang anak.
Walaupun dalam agama Islam, dianjurkan upacara akikah ini dilaksanakan tujuh
hari setelah kelahiran anak. Namun, pada masyarakat Melayu umumnya dilaksanakan
setelah anak berusia 40 hari. Atau di saat habis masa nifas ibunya. Sementara
untuk usia tujuh hari, umumnya masyarakat hanya memberikan nama kepada si anak,
walaupun pemberian nama ini belumlah secara resmi.
Pemberian nama atau penabalan nama
secara resminya adalah sewaktu upacara akikah. Pada upacara akikah ini diadakan
pesta atau kenduri dengan memotong kambing, sesuai dengan anjuran agama Islam.
Jika anak laki-laki dua ekor kambing yang disembelih, jika anak perempuan hanya
satu ekor.
Di saat upacara akikah ini
diundanglah kelompok marhaban dan barjanzi. Kelompok ini juga yang akan
membawakan syair nyanyian anak. Syair
ini dibacakan setelah selesai acara tepung tawar dan marhaban serta berjanzi.
Berdasarkan penelitian penulis di
tiga wilayah Melayu Pesisir Timur, yaitu di Desa Lalang, Kecamatan Medang
Deras, Kabupaten Batubara; di Desa Kolang, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten
Asahan; dan di Desa Nagur Kecamatan Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai. Pada
tiga lokasi ini, peneliti mengadakan observasi terhadap tradisi akikah. Di Desa
Lalang, karena yang mengadakan upacara akikah adalah keluarga yang baru
memiliki anak perempuan, maka kelompok marhaban dan barjanzi yang diundang
adalah kelompok perempuan, sementara di dua lokasi lainnya, adalah upacara
akikah untuk anak laki-laki, maka kelompok marhaban dan barjanzinya adalah
kelompok laki-laki.
Syair Nyanyian Anak ini digolongkan sebagai tradisi lisan, karena disampaikan secara lisan. Sedangkan para
penuturnya (kelompok marhaban) semakin lama semakin
berkurang dan hanya dibawakan oleh penutur yang sudah tua. Jika hal ini
dibiarkan tanpa ada langkah-langkah ke arah pelestariannya, maka jelaslah syair
ini akan punah. Situasi inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan
penelitian.
Kondisi di atas, dapat ditemukan dalam masyarakat di
tiga lokasi penelitian.
Pelaksanaan upacara Akikah dengan menampilkan Syair Nyanyian
Anak
telah mengalami penurunan. Menurut informan, tidak banyak kelompok marhaban yang
mampu membawakan syair nyanyian anak. Di sisi lain, banyak juga keluarga yang
tidak mengundang kelompok marhaban, malahan dengan menampilkan hiburan modern,
seperti organ tunggal (keyboard). Hal ini, selain
diakibatkan oleh kurangnya pemahaman para generasi muda terhadap makna dan
fungsi syair itu sendiri, juga pengaruh arus globalisasi yang telah meluluhlantahkan kearifan
lokal
yang dianggap mitos dan digantikan dengan yang berbau modern.
Syair Nyanyian Anak merupakan ekspresi
budaya masyarakat Melayu Pesisir Timur. Bagaimana korelasi antara teks dan konteks, yang
diwujudkan dengan pentas sastra. Selain itu, syair ini mengandung unsur pendidikan untuk mendidik anak-anak agar jangan
durhaka kepada orangtuanya, sehingga hal ini menjadi mitos pengukuhan (myth of concern). Syair biasanya
digunakan untuk melukiskan sebuah cerita yang panjang, nasihat, falsafah,
agama, dan lain-lain (Syarif dan Ahmad, 1993:116)10.
Mengacu
kepada pendapat di atas maka jelaslah, bahwa Syair Nyanyian Anak ini mengandung
falsafah. Falsafah adalah hasil pemikiran kebenaran untuk mencari kebenaran
hidup. Sebagai hasil pemikiran dan karya syair ini tentu mengandung tuntunan,
pandangan hidup tentang kebenaran. Tradisi lisan menurut Pudentia (dalam
Nasution dan Sinar, 2011:1)11 dalam berbagai bentuknya
sangat kompleks dan mengandung, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng
tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan
komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai kepercayaan dan religi serta berbagai
hasil seni lainya.
III.
Pentas
Sastra Lokal
Sebelum dinyanyian syair, kelompok
marhaban membawakan marhaban dan barjanzi. Mereka menyanyikannya dengan cara
berdiri. Di saat itu, ibu si bayi didampingi oleh ayahnya menggendong si bayi
berkeliling mendatangi para personil marhaban. Ada dua orang petugas yang
membawa baki untuk tempat gunting dan satu orang lagi khusus membawa baki yang
di atasnya ada buah kelapa muda yang diukir sebagai tempat rabut bayi yang
dipotong. Di dalam buah kelapa muda itu diisi air dengan beberapa bunga mawar. Setiap
personil yang dihampiri harus memotong sedikit rambut si bayi, lalu
memasukkannya ke dalam buah kelapa muda. Setelah semuanya mendapat giliran,
maka untuk membersihkan rambut si bayi yang belum habis dipotong adalah tugas
bidan atau seorang perempuan tua yang ditunjuk untuk melakukannya.
Setelah itu, tubuh bayi dibersihkan,
lalu diberikan pakaian yang baru. Kedua orangtua si bayi duduk dekat ayunan
atau buaian si bayi. Ayunan bayi ni terbuat dari rotan, kemudian dihiasi dengan
berbagai hiasan warna warni. Bayi dipangku oleh ayahnya. Kemudian dilanjutkan
dengan upacara tepung tawar oleh para sanak keluarga dan undangan lainnya,
sementara kelompok marhaban masih dalam posisi berdiri menyanyikan barjanzi.
Sehabis upacara tepung tawar,
kelompok marhaban pun selesai menyanyikan barjanzi. Dilanjutkan dengan
penabalan nama secara resmi dan diiringi pembacaan doa oleh seorang ustazd.
Selesai penabalan nama dan pembacaan doa, bayi dimasukan ke dalam buaian.
Sebelumnya si bayi diberi ASI dulu oleh si ibunya. Saat si bayi sudah mulai
mengantuk, barulah dia dimasukkan ke dalam buaian.
Di saat bayi dalam buaian, kelompok
marhaban kembali berdiri sembari memegang tali buaian dengan mengayunnya secara
perlahan. Di saat inilah Syair Nyanyian Anak dinyanyikan secara bergiliran oleh
kelompok marhaban. Pada bait pertama dan kedua syair dinyanyikan secara solo,
tetapi pada bait ketiga dan keempat, semua kelompok marhaban menyanyikannya.
Bahkan terkadang undangan dan keluarga juga ikut menyahutinya.
Teks Syair Nyanyian Anak yang
dibawakan oleh kelompok marhaban ini ada sejumlah 80 bait. Teks tersebut tidak
dalam bentuk tertulis, setiap personil kelompok marhaban sudah hafal terhadap
teks-teks tersebut. Dari tiga lokasi penelitian, teks-teks syairnya nyaris
sama, walaupun terkadang ada beberapa kata yang berbeda, khususnya berkaitan
dengan dialek setempat.
Teks syair yang menjadi acuan
peneliti adalah teks syair yang diperoleh pada lokasi upacara di Desa Lalang.
Hal ini dikarenakan, kelompok marhaban ada menuliskan teks syair tersebut dalam
buku tulis biasa berhalaman 40 halaman dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan
jawi, mereka menyebutnya sebagai ‘arab gundul’. Menurut pimpinan kelompok
marhaban, M. Yatim (72 tahun), teks tersebut ditulis oleh orang tua beliau.
Diperkirakan teks itu sudah berumur 85 tahun. Akan tetapi, beberapa anggota
kelompok marhaban ini sudah menuliskannya ke dalam tulisan latin. Teks inilah
yang dibawa saat ada undangan untuk membacakan Syair Nyanyian Anak ini.
Walaupun pada prinsipnya, semua anggota kelompok marhaban sudah hafal teks
syair tersebut. Sehingga sewaktu upacara mengayun si bayi, teks disampaikan
secara lisan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bernard Arps (1992), bahwa teks sastra
tidak harus hadir dan lahir melalui pentas.
Unsur-unsur pentas sastra pada tradisi ini dapat
dilihat, misalnya dari segi kostum kelompok marhaban yang seragam.
Teknik-teknik pembacaan dengan melantunkannya lalu dijawab serentak oleh
anggota kelompok marhaban yang lain. Begitu juga dengan posisi berdiri kelompok
marhaban.
Berikut adalah teks Syair Nyanyian Anak.
1.
|
Dengan
bismillah kami mulai
Alhamdulillah
shalawatnya nabi
Dengan
takdir allah urobbi
Sampailah maksud yang dicintai
|
2.
|
Bismillah
itu mula pertama
Zat dan
sifat ada bersama
Keadaan
zat menyertakan sama
Qidam
dan baqa sedialah nama
|
3.
|
Setelah turun rahim bapakmu
Ke dalam batin rahim ibumu
Empat puluh hari nattefah namamu
Di situ dimulai pantang ibumu
|
4.
|
Setelah
sampai delapan puluh hari
Alkah
namamu pula diberi
Sehingga
sampai seratus dua puluh hari
Alkolah
pula konon dinamai
|
5.
|
Empat bulan sampailah tuan
Sudah menjadi kaki dan tangan
Cukuplah dengan sifat sekalian
Nyawanya lagi belum didatangkan
|
6.
|
Setelah
sampai saat dan waktu
Datanglah
nyawa lalu bersatu
Di
dalam tubuh tempat nyawa itu
Hawa
dan nafsu sudah berlaku
|
7.
|
Dikandungkan
ibumu sembilan bulan
Nasi
dan air tiada tertelan
Memperanakkan
engkau berapa kesakitan
Kadang
bercerai nyawa di badan
|
8.
|
Tatkala
engkau jatuh ke lantai
Dengan
segera bidan mencapai
Sudah
dimandikan lalu dipakai
Tinggal
ibumu lemah gemulai
|
9.
|
Sudah
dipakai lalu diazan atau dikomat
Mintalah
doa supaya selamat
Ingatlah
pesan nabi Muhammad
Di atas
dunia mengerjakan syariat
|
10.
|
Seorang
anak cinta yang lama
Sekarang
sudah kami terima
Seorang
anak diberi nama
Kami
ayunkan bersama-sama
|
11.
|
Emas
dan perak kami ayunkan
Anak
ditaruh di dalam ayunan
Tali
ayunan kami pegangkan
Emas
dan perak kami nyanyikan
|
12.
|
Kusmangat
putraku tuan
Jangan
termamang dalam ayunan
Dipanggil
kami orang sekalian
Ibu
bapakmu minta ayunkan
|
13.
|
Dipanggil
kami orang sekalian
Oleh
ibu bapakmu tuan
Serta
diberi minum dan makan
Menyertakan
syukur kepada tuhan
|
14.
|
Syukur
kepada allah taala
Karena
mendapat intan gemala
Memberi
sedekah beberapa pula
Dengan
sekadar ada segala
|
15.
|
Dipanggil
sekalian kaum kerabat
Serta
sekalian handai sahabat
Segala
jiran kawan berdekat
Semuanya
datang dengan selamat
|
16.
|
Jauh
dan dekat datang sekalian
Besar
dan kecil, laki-laki dan perempuan
Setengahnya
datang ada yang berjalan
Setengahnya
berjalan berpayung awan
|
17.
|
Ingatlah
kami datang bertalu
Mengunjungi
engkau hilir dan ulu
Mengayun
engkau maksud begitu
Karena
niat ibu bapakmu
|
18.
|
Jika
panjang sudah umurmu
Jasa
mereka balas olehmu
Wahai
anakku pikir olehmu
Besarlah
hati ibu bapakmu
|
19.
|
Ayuhai
anak jangan dibantah
Ibumu
memeliharakan terlalu susah
Dialih
ke kiri ke kanan pun basah
Habis
berlumur kencing dan muntah
|
20.
|
Ibu
bapakmu mari dengarkan
Anak
diayun kami nyanyikan
Bersama-sama
kita doakan
Harap
allah minta perkenan
|
21.
|
Ayuhai
anakku sudah bangsawan
Pengajaran
ibumu jangan dilawan
Dipelihara
dari ribut dan topan
Takut
terkena penyakit setan
|
22.
|
Dilabuhkan
tirai semut pun lalu
Pelita
dipasang dalam kelambu
Sembur
dan barut datang bertalu
Minta
jauhkan setan dan hantu
|
23.
|
Kalau
datang petir dan ribut
Ramuan
dibakar engkau dibarut
Di
dalam hati terlalu takut
Memeliharakan
engkau jangan terkejut
|
24.
|
Ada pun
anak masa kecilnya
Harum-haruman
ibu bapaknya
Hingga
sampai masa umurnya
Tujuh
tahun genap bilangannya
|
25.
|
Tujuh
tahun sampai kiraan
Umur
anak muda bangsawan
Inilah
anak jadi perhiasan
Kepada
ibu bapakmu tuan
|
26.
|
Sehingga
sampai umurnya tuan
Sepuluh
tahun cukup bilangan
Ketika
itu menjadi tulan
Atau
seteru menjadi lawan
|
27.
|
Demikianlah
anak kami khabarkan
Ibu
bapakmu minta pikirkan
Carilah
ilmu janganlah segan
Memeliharakan
anak serta pelajaran
|
28.
|
Dipeliharakan
oleh ibu bapakmu
Sehingga
sampai sudah umurmu
Serahkan
mengaji ke hilir ke ulu
Karena
besar niat ibumu
|
29.
|
Jikalau
engkau tamat mengaji
Hati
ibumu besar sekali
Tiada
diberi ke sana sini
Sehingga
kitab mulai dikaji
|
30.
|
Jikalau
engkau pandai berkitab
Bahasa
jawi dengannya arab
Baru ibumu
hatinya tetap
Makan
dan minum barulah sedap
|
31.
|
Kitab
quran dibaca qori
Disuruh
pula pergi ke haji
Pergi
memijak tanah yang suci
Supaya
terbuang kelakuan yang keji
|
32.
|
Jika
besar cahayanya mata
Ajarkan
ilmu agama kita
Jika
ilmu tak ada di kita
Serahkan
kepada alim pendeta
|
33.
|
Demikianlah
anak supaya berilmu
Baik
dan jahat nyata di situ
Dengan
sebab demikian itu
Jadilah
baik sebarang perilaku
|
34.
|
Jikalau
anak tanda bahagia
Di mana
pesan dipegangnya juga
Walaupun
miskin walaupun kaya
Obatnya
juga sehabis daya
|
35.
|
Jika
sudah engkau nan besar
Pengajaran
ibumu hendaklah dengar
Perkataan
bapakmu hendaklah dengar
Itu
menjadi kata nan benar
|
36.
|
Pengajaran
bapakmu diikut-ikut
Engkau
masukan ke dalam perut
Bawa
olehmu pergi menuntut
Mudah
mendapat apa-apa maksud
|
37.
|
Jikalau
menuntut engkau mendapat
Terpujilah
engkau dunia akhirat
Berhimpun
sekalian handai sahabat
Mana
yang jauh bertambah dekat
|
38.
|
Jika
dapat ilmu yang setia
Serta
engkau yakin percaya
Di
dalam akhirat tanah yang mulia
Duduk
di dalam pangkuan aulia
|
39.
|
Jikalau
mendapat ilmu yang teguh
Engkau
amalkan bersungguh-sungguh
Tertutuplah
pintu neraka yang tujuh
Teranglah
jalan seperti suluh
|
40.
|
Jikalau
engkau pandai mengaji
Barulah
engkau bersuka hati
Kepada
tuhan engkau terpuji
Mendapatlah
engkau surga yang tinggi
|
41.
|
Jikalau
tidak demikian peri
Tentulah
anak tidak mengerti
Jadilah
anak buta dan tuli
Baik
dan jahat sama sekali
|
42.
|
Jika
anak tiada pelajaran
Halal
dan haram diserupakan
Bersifat
salah tidak berpengetahuan
Akhirnya
anak menjadi lawan
|
43.
|
Anak
melawan sudahlah pasti
Ibu
bapak tidak peduli
Sebab
tidak kita ajari
Dunia
dan akhirat kita nan rugi
|
44.
|
Betapa
tidak rugi demikian
Dari
kecilnya kita peliharakan
Beberapa
belanja harta dihabiskan
Sudahlah
besar menjadi lawan
|
45.
|
Di
dalam dunia demikian peri
Di
akhirat azab diterima lagi
Pelajaran
ada tidak perduli
Anak
dibiarkan bersuka hati
|
46.
|
Nyata
kerugian ibu dan bapak
Karena
tidak mengajar anak
Sebab
itu janganlah tidak
Ikhtiarkan
sungguh pelajaran anak
|
47.
|
Dengan
sebenarnya pelajaran itu
Bolehlah
baik tingkah dan laku
Jadilah
anak orang nomor satu
Dunia
akhirat boleh membantu
|
48.
|
Anak
demikian jikalau didapat
Laksana
penyakit menjadi obat
Demikianlah
tuan mula ibarat
Maklumlah
tuan karena makrifat
|
49.
|
Wahai
anakku yang setiawan
Engkaulah
ini anak perempuan
Jikalau
engkau ada pertemuan
Suami
itu jangan dilawan
|
50.
|
Barang
siapa melawan suami
Terlalu
sakit masa mau mati
Mukanya
hitam seperti babi
Di
dalam neraka tempat berhenti
|
51.
|
Jikalau
engkau bersuami sudah
Setiap waktu
suamimu disembah
Perkataan
suamimu jangan dibantah
Walaupun
benar walaupun salah
|
52.
|
Jika
ada dosa kesalahan
Pada
suamimu minta maafkan
Jikalau
suamimu tidak memaafkan
Inilah
menjadi dosa berkepanjangan
|
53.
|
Jikalau
anak tiada mengikut
Nazar
ibunya mukanya kerut
Masa
mau mati ia terkejut
Di
dalam quran sudah tersebut
|
54.
|
Wahai
anakku hendaklah ingat
Jangan
diikut iblis laknat
Kerjakan
olehmu amal yang taat
Engkau
jauhkan sekalian maksiat
|
55.
|
Wahai
anakku muda cemerlang
Neraka
itu hangat bukan kepalang
Tersentuh
ke daging sampai ke tulang
Jerit
dan tangis diulang-ulang
|
56.
|
Ayuhai
ibu ayuhai bapak
Demikian
nasihat kami serentak
Harap
perkenan janganlah tidak
Mudahlah
sampai barang kehendak
|
57.
|
Wahai
anakku dalam ayunan
Kami
berpesan engkau ingatkan
Di atas
kepala engkau junjungkan
Di
dalam hati engkau taruhkan
|
58.
|
Kami
mengayun terlalu banyak
Supaya
tidurmu bertambah nyenyak
Engkau
masukan ke dalam otak
Dibawa
berjalan jangan tercampak
|
59.
|
Wahai
anak muda jauhari
Pesanan
kami engkau ingati
Engkau
masukan ke dalam hati
Jangan
ditaruh di ibu kaki
|
60.
|
Wahai
anak muda cemerlang
Engkau
doakan malam dan siang
Sembahyang
itu jangan dibuang
Dosanya
besar bukan kepalang
|
61.
|
Ya
allah malaikul ufrah
Anaknya
ini besarkan tuah
Siang
dan malam makin bertambah
Sehingga
sampai ia bertuah
|
62.
|
Sehingga
itu berhati sudah
Mengayun
anak nazam ditambah
Harap
selamat berhati sudah
Supaya
ibumu janganlah gundah
|
63.
|
Wahai
anak muda kami ayunkan
Engkaulah
ini kami doakan
Umur
yang pendek minta panjangkan
Rezeki yang
halal minta murahkan
|
64.
|
Ya
allah malikul robbi
Limpahkan
makmur sehari-hari
Sehatkan
badan terangkan hati
Anaklah
ini murahkan rezeki
|
65.
|
Ya
allah malikul zabar
Anaklah
ini lekaslah besar
Jauhkan
dari neraka yang mungkar
Dunia
akhirat supaya terbesar
|
66.
|
Ya
allah malikul robbi
Anaklah
ini tetapkan hati
Minta
kurnia pangkat yang tinggi
Di
akhirat boleh engkau terpuji
|
67.
|
Ya
allah malikul rahman
Anaklah
ini tetapkan iman
Amal
ibadat minta kuatkan
Setan
dan iblis minta jauhkan
|
68.
|
Ya
allah malikul manan
Doalah
kami minta perkenan
Siang
dan malam sepanjang zaman
Bala
dan fitnah mohon dijauhkan
|
69.
|
Ya
allah kholikul bakhri
Beri
petunjuk sekalian kami
Iman
dan taat jadikan kami
Dunia
akhirat minta disenangi
|
70.
|
Wahai
anakku segeralah tidur
Lekaslah
besar supaya termasyur
Jika
anakku tidaklah tidur
Ibu
bapakmu menjadi hibur
|
71.
|
Ayuhai
anak ingat olehmu
Harap
dibalas jasa ibumu
Serta
pula jasa bapakmu
Kemudian
pula handai sahabatmu
|
72.
|
Sehingga
ini berarti mudah
Mengayun
anak nazam ditambah
Nazam
dimulai dengan bismillah
Disudahi
pula dengan Alhamdulillah
|
73.
|
Tamatlah
sudah anak diayun
Sanak
saudara yang ada sekalian
Serta
meminta kita doakan
Supaya
tenang anak budiman
|
74.
|
Telah
selesai kami nyanyikan
Kami
meminta serta diselamatkan
Kami bersyair
jangan dimudahkan
Syair
seumur hidup anak ingatkan
|
75.
|
Habislah
nasihat tamatlah kalam
Syair
Fatimah yang punya salam
Salah
perkataan tersebut kalam
Jangan
disimpan di hati dalam
|
76.
|
Tamatlah
syair yang hamba bacakan
Sekadar
inilah yang didapatkan
Entah
ia entah pun bukan
Tiadalah
dapat hamba ceritakan
|
77.
|
Desa
lalang kampung mulia
Di
situlah rumah senantiasa
Ditolong
allah tuhan yang esa
Tamatlah
syair selamat sentosa
|
78.
|
Dari
medan ke bukittinggi
Singgah
bermalam di tebingtinggi
Hamba seorang
bodoh sekali
Sudahlah
nasib badan sendiri
|
79.
|
Makdum
konon nama yang nyata
Mengarang
syair belum biasa
Duduk
di rumah senantiasa
Karena
hamba sudahlah tua
|
80.
|
Jikalau
ada jarum yang patah
Jangan
disimpan di dalam peti
Jikalau
ada perkataan yang salah
Jangan
disimpan di dalam hati
|
Nilai-nilai yang dapat dipetik dari
teks syair tersebut, di antaranya berkaitan dengan mitos pengukuhan (myth of concern). Misalnya
penamaan ketiga terjadi pembuahan di rahim ibu, yaitu /Empat
puluh hari nattefah namamu/ (bait
3). /Setelah sampai delapan puluh hari/,
/Alkah namamu pula diberi/, /Sehingga sampai seratus dua puluh hari/, /Alkolah
pula konon dinamai/ (bait 4). Perjalanan tentang asal kejadian
manusia dalam rahim ibu ini diyakini bahwa kita semua berasal dari tetesan air
mani ayah dan ibu yang bertemu saat terjadi perkawinan. Lalu dengan kekuasaan
Allah terjadilah proses luar biasa di luar akal sehat kita, karena itu semua
merupakan kekuasan Allah semata selanjutnya hingga menjadi bayi.
Allah SWT menempatkan nuthfah
(yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika
terjadi jimak) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang
Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk
menyimpan calon manusia. Dinyatakan dalam firman-Nya sebagai berikut, “Bukankah
Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam
tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan.” (Al-Quran, Al Mursalat:
20-22).
Selanjutnya peristiwa ini juga didukung oleh
hadis, “Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah beku yang
bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah
menjadi mudhghah yakni sepotong
daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal
anak manusia tersebut, Allah SWT kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki
dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk
menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah
ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat,
mendengar, dan meraba. (Tafsir Ath Thabari). Peristiwa dalam tafsir di atas diperkuat dengan hadis Rasulullah Saw yang memperhitungkan
waktu terjadinya proses bayi, Beliau bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya
setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah
selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging
selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan
ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezekinya, ajalnya,
amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh
salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli surga sehingga tidak
ada di antara dia dan surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah
mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka
sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang
beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka
melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir,
lalu ia beramal dengan amalan ahli surga sehingga ia
memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih). Berita Nubuwwah di
atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama
120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari.
Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah,
40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk
segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat
untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas. Peristiwa yang dominan pada
keterangan hadis di atas adalah proses malaikat meniupkan ruh setelah calon
bayi tadi berusia empat bulan (120 hari) setelah memiliki bentuknya. Setelah
memiliki sifat itu ditetapkan empat perkara atas bayi itu oleh Allah. Perkara
itu antara lain, rezekinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia.
IV.
Kearifan
Lokal: sebagai pembentuk karakter
Konsep kearifan lokal pada prinsipnya bertujuan untuk
memperkuat jati diri suatu suku bangsa yang dapat direfleksikan untuk memantapkan
budaya nasional. Tujuan tersebut dicapai antara lain melalui upaya memperkokoh
ketahanan budaya sehingga mampu menangkal penetrasi budaya asing yang bernilai
negatif dan memfasilitasi proses adopsi dan adaptasi budaya asing yang bernilai
positif dan produktif. Di samping itu, diupayakan pula pembangunan moral manusianya
yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas,
disiplin, etos kerja, gotong-royong, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu
dan tanggungjawab. Tujuan tersebut dilaksanakan pula melalui pengarusutamaan
nilai-nilai budaya pada setiap aspek pembangunan. (PP No. 20/2004, 2—3)12.
Hal ini sangat diperlukan mengingat karena masih lemahnya kemampuan bangsa dalam
mengelola keragaman budaya. Gejala tersebut dapat
dilihat dari menguatnya orientasi kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi
menimbulkan konflik sosial dan bahkan disintegrasi bangsa. Fenomena itu
mengkhawatirkan karena Indonesia terdiri atas sekitar 500-an suku bangsa. Masalah ini juga semakin serius akibat dari makin
terbatasnya ruang publik yang dapat diakses dan dikelola bersama masyarakat
multikultur untuk penyaluran aspirasi (PP No. 20/2004, 2)12.
Kearifan lokal atau local
genius merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh sekelompok (etnis)
manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya secara terwujud dalam
ciri-ciri budaya yang dimilikinya. Dengan kata lain, seorang anggota masyarakat
budaya menjadi cerdas berkat pengalaman hidup yang dihayatinya. Ia memiliki
kecerdasan karena proses belajar yang dilakukannya dalam perjalanan pengalaman
hidup (Rahyono, 2009:7—8)13.
Masalah yang
dihadapi saat ini adalah seberapa kuat tradisi lokal yang mengandung kearifan
lokal ketika dihadapkan dengan globalisme yang melanda dunia? Globalisme yang
mengalir deras mengisi setiap sisi kehidupan manusia telah mengakibatkan
kolonialisme dan kapitalisme baru, di mana semua direduksi, dimusnahkan dan
dimaterialkan. Menurut Romo Mudji Sutrisno, globalisme telah menciptakan
kolonialisme kultural, di mana negara-negara maju dengan teknologinya dan
kekuatan ekonomi menjajah negara-negara dengan identitas etnis mereka.
Untuk itu perlu
dilakukan mapping local genius. Mapping local genius dapat dilakukan dengan mengadakan pengkajian
terhadap karya sastra dan cerita lisan (tradisi lisan). Di seluruh kelompok
etnis di nusantara ini, hampir dipastikan terdapat karya-karya sastra dan
tradisi lisan yang dapat digunakan sebagai penyadaran terhadap generasi muda. Untuk itulah sosialisasi tentang kearifan
lokal kepada masyarakat perlu dilakukan. Sehingga transformasi budaya ini
dijadikan suatu gerakan nasional (Sutrisno, 2005:312)14.
Nilai-nilai kearifan
lokal yang dapat diambil dari Syair Nyanyian Anak
pada tradisi upacara akikah tersebut, yaitu sangat kental dengan pesan moral bagi anak. Sehingga pesan-pesan
moral tersebut dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter.
Beberapa nilai yang dapat diungkap dari teks syair di atas, yaitu:
mengingatkan kepada seorang bahwa betapa beratnya beban seorang ibu di saat
mengandung si bayi (bait 6—7). Oleh sebab itu, jangan melawan kepada orang tua,
khususnya ibu (bait 19, 21). Nilai yang cukup fenomena adalah tentang
pentingnya menuntut ilmu (bait 27—48). Bagi anak perempuan juga ada nilai
kearifannya tentang suami jangan dilawan (bait 49—52). Selebihnya merupakan
nilai peringatan mengenai azab dan sengsara, apabila tidak mengerjakan amal
ibadah.
V.
Simpulan
Hakekat atau isi
dari Syair Nyanyian Anak adalah tunjuk ajar yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
luhur agama, budaya, dan norma-norma yang dianut masyarakat. Penyampaian
nilai-nilai tersebut melalui suatu pentas sastra lokal yang hadir dalam upacara
akikah. Syair harus dipahami dan dimengerti dalam konteks sosio-kultural
masyarakat, bukan semata-mata pada pilihan katanya. Untuk tujuan tersebut, ada
sekian perangkat yang harus dipersiapkan agar pemahaman yang dicapai tidak
menimbulkan kesesatan, di antaranya adalah melalui bentuk penyampaiannya yang
dalam hal ini bersifat pentas sastra.
Berdasarkan kondisi
pentas sastra lokal, keberadaan penuturnya sudah sangat mengkuatirkan. Oleh
sebab itu, diperlukan upaya pelestariannya. Sudah tidak banyak lagi dijumpai
kelompok marhaban yang mampu membawakan atau melantunkan Syair Nyanyian Anak
ini.
Penelitian ini berguna bagi para peneliti selanjutnya untuk
mengkaji Syair Nyanyian Anak dari kajian yang berbeda seperti kajian sosiologi,
sejarah, maupun psikologi. Hal ini memungkinkan sebab syair ini adalah
berbentuk anonim, dan menyangkut sejarah Islam masuk ke Indonesia, kemudian
sarat dengan nilai-nilai moral yang ingin diajarkan oleh orang tua kepada
anaknya.
Daftar Pustaka
[1] Hunter, J.
Paul. 1991. The Norton introduction to poetry (fourth edition). New
York/London: W. W. Norton & Company.
2
Jakobson, Roman. 1960 [1987].
Linguistics and Poetics. Dalam Pomorska, K. & Rudy, S. Roman Jakobson,
Language in Literature, pp. 62-94. Cambridge,
Mass., London, England: The
Belknap Press of Harvard University Press.
3
Sherzer, Joel, & Anthony C.
Woodbury (eds.). 1987. Native American Discourse:Poetics and rhetoric.
Cambridge, New York: Cambridge University Press.
4
Arps, Bernard. 1992. Tembang in two traditions: Performance and
interpretation of Javanese literature. Southampton:
Hobbs the
Printers Ltd.
5
Sapir, Edward. 1921. Language: An
introduction to the study of speech. San Diego, New York, London: Harcourt
Brace Jovanovich, Publishers.
6 Koentjaraningrat.
2002. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta : Rineka Cipta.
7
Waluyo, Herman J.
1991. Teori dan Apresiasi Puisi.
Cetakan Kedua. Jakarta: Erlangga.
8
Sinar,
T. Luckman dan Syaifuddin. 2002. Kebdayaan Melayu Sumatera Timur. Medan:
USU Press.
9
Teeuw, A. 1988.
Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
10
Sharief, Zalila dan Jamilah Haji
Ahmad. 1993. Kesusastraan Melayu
Tradisional. Cetakan Pertama. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
11 Nasution, Ikwanuddin dan T. Silvana Sinar. 2011. Mitos Cerita Rakyat. Medan: USU Press.
12 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2004, tentang “Rencana
Kerja Pemerintah”.
13 Rahyono,
F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata.
Jakarta: Wedatama Widyasastra.
14 Sutrisno, F.X. Romo Mudji. 2005. Manusia dan Kebudayaan: dalam Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat, Dalam Perspektif
Sejarah; Depdikbud, tahun 2005, hlm. 312.
Penulis
Sahril
adalah Peneliti Muda pada Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara,
Kemdikbud, lahir di Desa Lalang 22 Oktober 1965. Beliau banyak menulis buku
tentang bahasa, sastra, budaya, dan buku pelajaran muatan lokal, sampai 2014 sudah 71 judul
buku ditulis dan diterbitkan beliau. Pada tahun 2012 diundang untuk mengikuti Book
Fair International di Kuala Lumpur untuk memamerkan bukunya. Pernah
diundang untuk membacakan pusi di TIM Jakarta pada acara Mimbar Penyair Abad 21
tahun 1996. Sahril
aktif juga menulis di beberapa media massa cetak terbitan lokal, Jakarta, dan
Malaysia. Ia juga sering menjadi pembicara sastra di beberapa kegiatan
kesastraan. Februari
2014, menjadi pembicara di Universiti Teknologi Mara Pahang, Malaysia dalam
acara Festival Teater 3 Negara (Malaysia, Indonesia, dan Brunai). Dalam bidang keilmiahan, ia
aktif di Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) semenjak 1994, Sekretaris HISKI
Komisariat Sumatera Utara. Tahun 1995 mengikuti pelatihan peneliti muda di
Malang, Jawa Timur dengan pembimbing James Danandjaja. Sahril aktif juga di Himpaudi
Wilayah Provinsi Sumatera Utara. Semenjak 2012, Sahril juga menjadi tutor nasional
PAUD. Konsultan Bahasa di Penerbit Mitra (Anggota IKAPI) Medan.
terima kasih atas infonya..
BalasHapus