UNGKAPAN ADAT MELAYU
DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN
SUMBER DAYA MANUSIA
Oleh Sahril[*]
(Balai
Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Kemendikbud)
Abstrak
Kebudayaan sesuatu masyarakat itu
sangat erat hubungannya dengan bahasa yang digunakan oleh para penutur. Salah
satu dari bahasa yang dipakai oleh penuturnya itu, adalah ungkapan. Ungkapan
dalam implementasi wacananya mengandung nilai humanis dan dianggap efektif
sebagai ekspresi diri yang menyangkut kebenaran, kebaikan, keindahan
(estetika), solidaritas, dan pencurahan hati bagi masyarakatnya. Penelitian ini
mengkaji bagaimana peran ungkapan adat budaya Melayu dapat menyumbangkan nilai
luhur dan moral untuk pembangunan sumber daya manusia di Sumatera Utara.
Abstract
Culture
a certain that society is very tight the connection with language that is used
by speaker. One of the language that worn by speaker that, expression. Expression
in the word implementation contains humanist value and assumed effective as
self expression that concern truth, kindness, beauty (aesthetics),
solidarity, and heart lavishing for the
society. This watchfulness study how does malay culture custom expression
character can contributes noble value and moral for human resource development
at North Sumatra.
Kata Kunci: Ungkapan dan kearifan leluhur mendukung program
pembangunan
1.
Pendahuluan
Gerak pembangunan di Indonesia baik fisik
maupun non-fisik memerlukan arah dan perencanaan "bottom-up" daripada "top down". Hal ini sejalan dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
yang mendasarkan kenyataan bahwa desa
sesungguhnya merupakan benteng terdepan Pancasila sehingga karenanya
perlu menggalakkan partisipasi aktif serta rasa ikut bertanggung jawab seluruh
lapisan masyarakat termasuk mereka yang mendiami daerah-daerah pedesaan. Dari
sudut pandang budaya, konsep ini cenderung menerima pendapat yang mengatakan
bahwa akar budaya bangsa sebenarnya
terletak di daerah pedesaan bukan di perkotaan. Karenanya, untuk
tercapainya keberhasilan pembangunan perlu memperhitungkan secara tepat peran
dan potensi masyarakat pedesaan melalui penyertaan pemuka adat dan pemimpin
non-formal lainnya yang merupakan panutan masyarakat.
Kebudayaan sesuatu masyarakat itu sangat erat
hubungannya dengan bahasa yang digunakan oleh para penutur. Misalnya. bahasa
Melayu berkaitan erat dengan masyarakat Melayu yang mendukung kebudayaan
Melayu. Dengan demikian, bahasa Melayu mengandung unsur-unsur budaya Melayu
secara umum. Hubungan yang terjalin erat
antara bahasa dan kebudayaan dapat pula tercermin dalam kosakata yang digunakan
oleh sesuatu masyarakat penutur bahasa dalam sistem kekerabatan. Lebih jelas
lagi Wierzbicka (dalam Zein, 2009:13)1
menyatakan bahwa pemindahan
sistem konsep dan sikap dari kebudayaan suatu masyarakat ke dalam bahasa
melalui kosakata merupakan bukti nyata yang terbaik. Contohnya kelompok
kekerabatan yang terdapat di dalam suatu masyarakat pengguna bahasa dapat
dikaji melalui leksikal. Ia bukan hanya dapat digunakan untuk menggambarkan
beberapa aspek kebudayaan, malahan susunan kata di dalam bahasa pun dapat
juga menggambarkan pandangan
atau sikap masyarakat.
Salah satu dari bahasa yang dipakai oleh penuturnya
itu, adalah ungkapan. Ungkapan dalam implementasi wacananya mengandung nilai
humanis dan dianggap efektif sebagai ekspresi diri yang menyangkut kebenaran,
kebaikan, keindahan (estetika), solidaritas, dan pencurahan hati bagi
masyarakatnya. Penggunaan bahasa secara metaforis tidak saja berfungsi sekadar
sebagai medium komunikasi (Gibbs, 1994)2,
tetapi juga sebagai ungkapan yang sarat
nilai-nilai kognitif, budaya apresiatif dan humbleness terhadap lawan bicara.
Penelitian ini memerlukan
beberapa pembatasan ruang lingkup. Pertama, dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara terdapat
beberapa masyarakat etnis budaya. Karenanya untuk awalnya tulisan ini hanya
membatasi pada masyarakat adat budaya
Melayu. Sedangkan untuk masyarakat adat budaya lainnya akan dilaksanakan
pada tahun-tahun mendatang jika diberi
kesempatan lagi. Kedua, masalah budaya secara keseluruhannya, sangat luas dan kompleks yang
mana memerlukan pakar-pakar khsusus dalam bidang ini. Penelitian ini mencoba
mengkaji adat budaya dari sudut
lambang-lambang bahasa, khususnya dari ungkapan dan untaian kata-kata
dalam bahasa Melayu. Seperti telah dimaklumi bahasa merupakan faktor dominan
dari budaya. Ungkapan dan untaian kata oleh penutur bahasa dimaksudkan untuk
mencerminkan sikap, sifat dan cara pandang masyarakat penuturnya, jadi
penggunaannya memperlihatkan adat istiadat dan kebiasaan.
Permasalahan yang ingin dikaji
dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana ungkapan-ungkapan masyarakat
etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut pandang adat budaya dapat mempertinggi nilai luhur?
(2) Sejauhmana peran ungkapan-ungkapan masyarakat etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut padang
adat budaya sebagai sarana
yang paling baik dalam memberikan nilai moral kepada masyarakat?
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk, (1) Mengumpulkan dan merekam ungkapan-ungkapan masyarakat
etnis Melayu Sumatera Utara yang dapat mempertinggi nilai luhur dari sudut pandang adat budaya. (2)
Mengkaji dan mengidentifikasi peran ungkapan-ungkapan masyarakat etnis Melayu
Sumatera Utara dari sudut padang adat budaya sebagai sarana yang paling baik
dalam memberikan nilai moral kepada masyarakat.
2.
Landasan
Teori
Linguistik
tidak dapat dipisahkan dari fakta dan konteks sosial budaya masyarakatnya,
seperti yang dilakukan oleh linguis terkemuka Boas (1911)3,
Sapir (1927)4, dan Whorf (1956)5, yang kemudian terkenal dengan nama
hipotesis Sapir-Whorf, mereka mengedepankan konsep ‘determinism dan relativity-nya’. Kedua linguis terakhir ini dipandang sangat
berjasa dalam kajian ilmu bahasa dan budaya. Menurut mereka, fenomena bahasa
harus dilihat sebagai fenomena relatif yang ditentukan oleh ekologi sekitarnya.
Dengan demikian, cara berpikir etnosentrim, yang menganggap hanya bahasa dan
budayanyalah yang paling benar, mengharapkan orang lain (dari bahasa dan budaya
yang berbeda) untuk mengikuti bahasa dan
budaya mereka dalam wacana keseharian secara moral, tidak akan terjadi lagi.
Berbagai
studi telah dilakukan untuk melihat linguistic
indirectness dari
berbagai perspektif (sosiolinguistik, psikologi sosial, dan ethnolinguistik).
Walaupun tidak ada definisi pasti tentang indirectness
setidak-tidaknya diperoleh kesepakatan umum yang menekankan pada pentingnya
strategi verbal untuk melanggengkan interaksi sosial yang harmonis. Gumpers dan
Roberts (1991)6 mengklaim bahwa retorika
seseorang, secara sangat alamiah, ditentukan pula oleh ekspresi tidak langsung
(indirectness) dan alusi metaforis. Selanjutnya, Brown dan
Levinson (1987)7 menekankan pentingnya
raut muka dalam berkomunikasi sebagai nilai sosial yang positif untuk mengklaim
keberadaan seseorang, ingin dihargai, dan tidak ingin dikucilkan. Oleh karena
itu, aspek sentral dari teori Brown dan Levinson adalah dua model
hasrat/kehendak (to desires), yaitu, kehendak untuk diterima oleh orang lain (positive face) dan kehendak untuk tidak dihalangi/dikucilkan
oleh orang lain (negative face) (Brown dan Levinson, 1987:24).
Dalam konteks
komunikasi, orang Barat cenderung mengkomunikasikan diri, perasaan serta
kemauannya secara langsung (directness), sedangkan
orang Timur cenderung secara tidak langsung (indirectness). Budaya
mengkomunikasikan diri dengan tidak langsung tersebut kemudian dianggap sebagai
pemarkah kesopanan (politeness) yang ditentukan oleh
kesepakatan kolektif suatu masyarakat tertentu. Dengan kata lain, indirectness dalam berkomunikasi diasumsikan identik dengan politeness (Brown dan Levinson, 1987). Walaupun demikian,
teori Brown dan Levinson tidak dianggap selalu mampu menyahuti semua fenomena politeness yang muncul pada masyarakat Timur, Matsumuto
(1989)8 mengkritik bahwa teori Brown dan
Levinson tidak selalu tepat dipergunakan untuk mendekati fenomena indirectness dan directness pada
masyarakat Timur, karena teori tersebut, menekankan pentingnya raut muka.
Sementara itu, masyarakat Timur dalam interaksinya, di samping perlunya raut
wajah juga lebih banyak menekankan pentingnya aspek perilaku serta sosial
psikologis partisipannya.
Malinowski
(dalam Hymes, 1964:4)9
mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik kita dapat menelusuri bagaimana
bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya sosial mental, dan
psikologis; apa hakikat sebenarnya dari bentuk dan makna serta bagaimana
hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam komunikasi cenderung dipandang
sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling mempengaruhi partisipan
dalam suatu pertuturan (Hymes, 1964:5). Sapir dalam (Bonvillain, 1997:49)10 menyatakan bahwa analisis terhadap
kosakata suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial
di mana penutur suatu bahasa bermukim. Hubungan antara kosakata dan nilai
budaya bersifat multidireksional.
Nilai adalah
sesuatu yang menyangkut baik buruk. Pepper (dalam Zein, 2009:18) menyatakan
bahwa batasan nilai mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban,
agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan
orientasi seleksinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat
disebut sebagai nilai. Sistem nilai—termasuk nilai budaya—merupakan pedoman
yang dianut setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap dan bertingkah
laku dan juga menjadi patokan untuk menilai dan mencermati bagaimana individu
dan kelompok bertindak dan berperilaku. Jadi, sistem nilai dapat dikatakan sebagai
norma standar dalam kehidupan bermasyarakat.
Djayasudarma dkk (dalam Zein, 2009:21) mengemukakan bahwa sistem nilai
begitu kuat, meresap, dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga sulit
diganti dan/atau diubah dalam waktu singkat.
Filsafat
orang Indonesia termasuk nilai budaya tersimpan di balik pepatah-petitih, di
balik rumah-rumah adat, di balik
upacara-upacara adat, di balik mitos-mitos tua Sumardjo (dalam
Simorangkir, 1998)11. Jadi dari pendapat ini juga dapat disimpulkan bahwa
bahasa melalui—ungkapan pepatah-petitihnya yang merupakan metafor dalam bahasa itu – merupakan medium
untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung nilai (values).
Metafor dan
peribahasa merupakan bagian dari komunikasi sistem budaya. Di samping itu,
bahasa mengkategorisasi realitas budaya (Duranti, 1997:2512; Foley, 1997:16)13. Bahasa menampakkan sistem klasifikasi
yang dapat digunakan untuk menelusuri praktik-praktik budaya dalam suatu
masyarakat. Model-model budaya dapat dimunculkan secara eksplisit melalui
ungkapan (Bonvillain, 1997:48). Model-model budaya yang dimaksudkan di sini
antara lain mencakup mentalitas kerja,
persepsi rasa solidaritas, sikap, perilaku, etika, dan moral.
Beranjak
dari pendapat dan pandangan para pakar di atas, tulisan ini berusaha mengkaji
ungkapan-ungkapan adat budaya Melayu Sumatera Utara yang dapat menyumbangkan
nilai-nilai luhur dan moral terhadap pembangunan karakter bangsa.
3.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif eksploratif. Pendekatan ini dilakukan untuk dapat mendeskripsikan
atau menggambarkan fenomena akan eksistensi ungkapan-ungkapan masyarakat
etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut pandang adat budaya dapat mempertinggi nilai luhur. Metode eksploratif dilakukan
untuk mendapatkan berbagai data atau informasi yang mampu menjelaskan fenomena ungkapan-ungkapan
masyarakat etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut padang adat budaya sebagai
sarana yang paling baik dalam memberikan nilai moral kepada masyarakat.
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan,
dengan memilih para informan dan narasumber yang berasal daerah yang mayoritas
penduduknya beretnis Melayu, yaitu yang berasal dari Kabupaten Langkat, Kota
Binjai, Kabupaten Deliserdang, Kabupaten Serdangbedagai, Kota Tebingtinggi, dan
Kabupaten Batubara. Pengumpulan data dilakukan dengan
cara wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Data dipilih secara purposive dan bersifat snowball
sampling. Sumber data yang menjadi fokus adalah ungkapan-ungkapan adat budaya
Melayu.
Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Proses yang dilakukan melalui tiga
langkah, yaitu penyeleksian data, pengatagorian data, dan penganalisisan data
berdasarkan teori yang dipilih.
4.
Pembahasan dan Temuan
Masyarakat Melayu adalah salah satu dari delapan
masyarakat etnis budaya "asli" di Provinsi Sumatera Utara. Walaupun
terdapat beberapa perbedaan dalam bentuk corak adat istiadat serta kebiasaan di
antara kelompok masyarakat yang delapan ini, namun terdapat hal-hal mendasar
yang universal: Aspek-aspek di mana adat istiadat dan kebiasaan berpengaruh dan
berperan dalam perwujudan sikap, karakter, respons, cara pandang, dan lainnya
merupakan ciri-ciri yang koresponden. Dari sudut kebahasaan, ungkapan, rasa
bahasa, dan gaya bahasa mendukung pula pemahaman mengenai karakteristik
masyarakat penutur dan pemakai bahasa.
Etika adalah falsafah dan hukum yang membedakan hal
yang baik dan yang buruk dalam kelakuan manusia, sedangkan moral adalah ukuran
baik buruknya tingkah laku yang menyangkut pengontrolan diri, keyakinan diri,
dan kedisplinan tindakan. Ajaran etika dan moral yang menjadi pedoman oleh
suatu suku bangsa tercermin dari berbagai bentuk wacana yang berlaku dan
berterima di kalangan suku bangsa itu. Penggunaan ungkapan adalah salah satu
cara untuk mendidik anggota masyarakat, sebagai alat untuk melegalisasi
pranata-pranata dan lembaga kebudayaan serta dan sebagai alat untuk
pengawasan norma-norma kemasyarakatan
yang seharusnya diikuti dan dipedomani oleh Bascom (dalam
Danandjaya, 1984:12)14. Di
samping etika dan moral, metafor
juga sangat efektif dalam menyampaikan
unsur-unsur pendidikan, kritik, celaan dan nasihat, karena metafor bersifat impersonal
(Taylor, 1931)15.
Mengenai manusia anggota masyarakat Melayu, William
Hunt (dalam Syarfina, 2000:24)16
mengatakan: "A Malay one
who is a Muslim, who habitually speaks Malay, who practices Malay Adat, and who
fulfills certain residence requirement". Jadi masyarakat Melayu
sesungguhnya bukanlah kumpulan manusia yang berlandaskan genealogis tetapi
lebih merupakan suatu "melting pot" asal berbagai suku bangsa
ataupun bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan dengan landasan agama Islam,
bahasa Melayu (dengan berbagai dialek, sosiolek, kronolek, tempolek maupun
idiolek), berpakaian, beradat istiadat serta bertradisi Melayu.
Untuk tercapaianya keberhasilan suatu program
pembangunan khususnya dalam masyarakat ini perlu dipahami apa yang teradat dan
diadatkan dalam masyarakat Melayu yaitu, "Adat yang bersendikan Syarak, Syarak yang bersendikan
Qitabullah". Ini berarti sepanjang suatu program atau konsep
berterima oleh adat istiadat dan kebiasaan serta tidak bertentangan dengan
ajaran perintah dan norma agama (dalam hal ini agama Islam) maka akan kecil
sekali kemungkinannya memperoleh kendala dalam pemberhasilannya.
Dilihat dari dimensi kekayaan alam, bagi masyarakat
Melayu, laut adalah kehidupan, hamparan tempat menuai, dan sumber mencari
nafkah serta harapan masa depan. Masyarakat Melayu selalu menjaga keseimbangan
dan harmonisasi alam tersebut sehingga alam merupakan bagian dari tata
kehidupan mereka. Hal ini terungkap melalui teks-teks petuah amanah Melayu
sebagai berikut,
Tanda orang memegang adat,
alam dijaga, petuah diingat.
Tanda ingat ke hari tua,
laut dijaga bumi dipelihara.
Tanda ingat adat lembaga,
laut dikungkung hutan dijaga
(Zein,
2009: 9—10)
Dalam kaitan
dengan sasaran utama dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji ungkapan-ungkapan
adat budaya Melayu Sumatera Utara yang dapat menyumbangkan nilai-nilai luhur
dan moral terhadap pembangunan karakter bangsa.
4.1 Nilai dan Sikap Orang Melayu
Terhadap Anak
Salah satu nilai luhur dan moral pada ungkapan adat
budaya, di antaranya pandangan orang tua Melayu terhadap anak. Sikap atau
pandangan ini dapat ditelusuri dari seperangkat ungkapan atau untaian kata
dalam bahasa Melayu yang mencerminkan sikap, harapan, peringatan, dan lain
sebagainya. Misalnya, ungkapan "tuah ayam karena kakinya, tuah manusia pada anaknya” menggambarkan kedudukan seorang
anak dalam kehidupan masyarakat Melayu.
Yang dimaksud dengan "anak be(r)tuah"
dalam masyarakat Melayu adalah
anak yang "menjadi
orang", yang setelah nantinya
dewasa menjadi manusia yang sempurna lahir dan batin, selalu mengingat dan
berguna untuk orang tua dan kaum kerabat untuk seterusnya terhadap bangsa dan
negara, serta akan patuh yakin dan taat pada agama dengan melaksanakan semua
perintah agama dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Pembinaan keluarga adalah menuju pada keluarga yang
sejahtera dan sehat serta bahagia lahir dan batin seperti diungkapkan melalui “tuahnya selilit kepala, mujurnya selilit pinggang,
kecilnya menjadi tuah rumah besarnya menjadi tuah negeri”.
Pembinaan seorang anak dalam sebuah keluarga tercermin
dari kasih seorang ibu. Bukanlah bertujuan untuk terlalu memanjakan seseorang
anak yang diyakini sebagai karunia Tuhan YME tetapi semata untuk memperlihatkan
cinta yang mendalam seorang ibu sering mengujarkan kata-kata ‘timangan’
terhadap seorang anak seperti "buah hati",
"buah hati pengarang jantung", "cahaya mata bunda, "intan gemala", "permata bunda", "gunung sayang", dan sebagainya. Hal ini
membuktikan bahwa dalam adat istiadat dan kebiasaan Melayu terdapat seperangkat
acuan yang menuntun manusia dalam pembinaan perilaku sejak masa dalam kandungan
dan buaian hingga masa dewasa.
Pada umumnya orang Melayu meyakini anak sebagai
karunia Allah SWT., yang secara hakikatnya lahir dalam keadaan suci. Karenanya
pula secara hakiki setiap anak dapat "menjadi orang" dengan kunci
keberhasilannya terletak pada pundak orang tua. Ungkapan yang menyebutkan "bagaikan jatuh dari cucuran atap",
"begitu gendang begitu tarinya” menggambarkan adanya keterkaitan
sebab-akibat antara sikap, dan sifat orang tua dengan anak. Orang tua yang
baik, berpendidikan dan bersikap sayang terhadap sesamanya selalu memiliki anak
yang bertuah. Sebaliknya seorang yang pemabuk dan pendusta pada dasarnya adalah
seperti cucuran sifat dan kebiasaan orang tuanya. Dalam konteks norma keluarga kecil
bahagia sentosa (NKKBS), pembinaan orang tua terhadap anak teramat penting
untuk dapat terbinanya generasi penerus yang berguna bagi negara, bangsa dan
agama, demikian pula terhadap keluarga, sanak dan handai-tolan serta lingkungan sendiri.
Keadaan ini menjurus pada suatu kenyataan umum
bahwa keluarga yang besar akan mengakibatkan kurang terbinanya anak secara baik
dan sempurna. Pada umumnya pula dapat berakibat perlakuan orang tua yang seakan
menyia-nyiakan anaknya seperti yang sering tercermin dalam ungkapan pesimistis "membiarkan anak belayar dengan perahu bocor, berjalan di rimba
tidak berintis".
Menurut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Melayu keadaan
"musibah" seperti ini sering mengakibatkan beban bukan hanya pada
orang tua, tetapi juga pada seluruh sanak
keluarga dan masyarakat. Karenanya, diberikanlah peringatan dalam bentuk
ungkapan seperti "kalau anak tidak dipinak, utang bertambah
marwah tercampak, kaum binasa bangsa pun rusak dunia akhirat beban
dibawa".
Keluarga kecil, sehat dan bahagia akan mendukung
keberhasilan pembinaan nilai-nilai luhur dalam diri anak sebagai generasi
penerus harapan bangsa sedini dan seefektif mungkin. Kemantapan pembinaan
nilai-nilai luhur menyebabkan dapat tercapainya keberhasilan dan
keberdayagunaan dalam penanaman dasar kepribadian yang baik dan sempurna.
Menurut adat dan tradisi masyarakat Melayu terdapat seperangkat nilai-nilai luhur yang perlu
selalu ditanamkan dalam diri dan kepribadian seorang anak, yaitu: (a) “Berpijak pada Yang Esa”, yaitu nilai-nilai keagamaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti tercermin dalam ungkapan "bergantung pada Yang Satu, berpegang pada Yang
Esa”. (b) "Hidup berkaum sepakaian”, yang bermakna nilai-nilai
persatuan dan kesatuan dalam kehidupan, dengan mencakup pula nilai-nilai
kegotongroyongan dan rasa senasib sepananggungan. Nilai-nilai ini tercermin
dalam ungkapan seperti; "Ke hulu sama bergalah, ke hilir sama berkayuh,
terendam sama basah, terapung sama timbul, yang kesat sama diampelas, yang
berbongkol sama ditarah". (c) "Hidup Sifat Bersifat", yang bermakna nilai-nilai berbudi pekerti mulia dan
terpuji, beradat budaya, serta pandai bermasyarakat dan membawa diri.
Nilai-nilai ini tercermin dalam berbagai ungkapan antara lain seperti "bila duduk-duduk bersifat, bila tegak-tegak beradat", atau “bila bercakap-cakap berkhasiat, bila diam-diam
makrifat", dan lain-lain sebagainya. (d) “Hidup
menggulut air setimba"
yang mengandung makna nilai-nilai sadar diri, dan bertenggang rasa untuk dapat
diperolehnya sesuatu yang berguna bagi hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Nilai-nilai ini diungkapkan dalam berbagai untaian kata antara lain, "menuang
ketika cair, berbeban selama berdaya”, atau "bila lepas kijang ke rimba, diurut pun sia-sia”,
dan sebagainya.
Pembinaan nilai-nilai hidup yang telah mulai
ditanamkan sedini mungkin mengungkapkan sikap dan corak hidup yang berguna dan
terpuji. Ungkapan yang dicontohkan di atas jelas memperlihatkan pengaruh ajaran
agama Islam yang memberikan pedoman hidup bagi manusia, makhluk Tuhan, memiliki
kepribadian baik, sempurna, jujur dan berguna setelah dewasa kelak.
4.2 Sikap Pandang terhadap Hakikat
Kehidupan Sosial dan Program KB
Masih sering diragukan kesiapan masyarakat Melayu
khususnya dalam berpartisipasi secara aktif serta ikut bertanggung jawab dalam
memberhasilkan pembangunan bangsa. Anggapan ini antara lain bermuara dari
kekurang-lengkapan pengetahuan mengenai kata maupun ungkapan yang tersedia
dalam bahasa Melayu yang mencerminkan dasar-dasar sikap orang Melayu. Memang
benar bahwa bahasa, kata dan ungkapan mencerminkan sikap dan pandangan penutur
bahasa, dalam hal ini pemakai bahasa Melayu. Namun harus diketahui bahwa makna
semantik dari kata maupun untaian kata tidak boleh hanya ditafsirkan dari
bentuk permukaannya (surface structure level) saja tetapi harus dikaji dan ditelusuri
dari bentuk dalamnya (deep structure level). Karena perolehan makna dan
kenyataan yang akurat memerlukan pemahaman kaidah arti sesungguhnya melalui
analisis makna (contextual analysis).
Pihak yang berpandangan bahwa masyarakat Melayu
cenderung beranak banyak, jadi beranggapan kurang siap atau kurang dapat
menerima Gerakan Nasional Keluarga Berencana, misalnya, antara lain disebabkan
penafsiran yang sempit dan kurang mengetahui kelengkapan dari untaian kata
dalam bahasa Melayu seperti "banyak anak banyak rezeki”. Pandangan yang keliru ini semakin
terdukung pula dengan terdapatnya untaian kata lainnya dalam bahasa Melayu
seperti "banyak anak, banyak tempat berteduh",
"banyak anak, senang bertanak", atau “banyak anak,
banyak tempat bertanak”.
Kata atau untaian kata seperti ini sesungguhnya
mengandung suatu falsafah. Penafsiran suatu falsafah apalagi yang terkait
dengan adat dan kebiasaan tidaklah dapat disimpulkan maknanya secara sepintas
tapi haruslah terlebih dahulu mengkajinya secara lebih mendalam.
Sesungguhnya untaian kata seperti "banyak anak banyak rezeki" belumlah lengkap karena seharusnya masih diikuti
dengan kelengkapan lain yang sering terlupa pengujarannya. Bentuk lengkap: "banyak anak banyak utang yang dibawanya, banyak fitnah yang kan menimpa”. Untaian kata ini memperlihatkan ciri sikap orang
Melayu yang dalam memperingatkan sesuatu lebih memilih cara edukatif dalam
bentuk peringatan dan tamsil. Memang dari satu sisi diakui bahwa dengan banyak
anak akan banyak pula yang memperhatikan hidup orang tuanya kelak, namun dari
sisi lain yang lebih berat adalah akan menyebabkan bertambahnya beban “utang dan bekal orang tua”.
Menurut adat dan tradisi masyarakat Melayu yang
dimaksud “utang orang tua terhadap anak” mencakup seperangkat kewajiban dan tanggung jawab
yang cukup banyak dan berat. Sejak lahir, menuju dewasa hingga masa "lepas rumah"
terdapat "utang
orang tua terhadap anak”
antara, lain: (a) "utang belas dengan pelihara", yang bermakna upaya menjadikan
anak kuat dan sehat, baik jasmani maupun rohani". (b) “Utang tunjuk dengan ajar", yang bermakna membekali anak dengan ilmu dan
pengetahuan, dan kemampuan mandiri, (c) "Utang tuang, dengan isi", yakni melengkapi seorang anak
dengan nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama, adat istiadat dan
kebiasaan, demikian pula norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat, serta (d) "Utang bekal dengan pakaian", yakni membekali anak sejak lahir hingga mampu
berdiri sendiri dengan segala macam keperluan hidup, lahiriah dan batiniah.
Kata "bekal"
mencakup penyediaan bekal ilmu
pengetahuan dan keimanan yang teguh dan berkaidah. "Pakaian yang dibekalkan” bukanlah hanya terbatas pada
pakaian lahiriah semata tapi lebih luas maknanya yaitu untuk menjadikan seorang
anak benar-benar seorang manusia yang ber-Tuhan dengan keimanan dan ketakwaan
sebagai pakaiannya. Dengan "bekal” dan "pakaian" yang "tak
lusuh di pelasah" seorang anak akan kelak menjadi
manusia yang bertuah, sempurna lahir dan batin, sehingga berguna bagi agama,
bangsa, negara, dan keluarga.
Dalam keadaan dunia dewasa ini, di mana "utang orang tua" yang menyandang butir-butir ekonomis dan sosial budaya, dan tantangan
hidup semakin tajam serta semakin sempit perlulah diyakini kebenaran Gerakan
Nasional yang sedang digalakkan, untuk masyarakat Melayu sesungguhnya telah
diwariskan oleh para pendahulunya dengan sikap sadar diri, tanggap keadaan,
serta sikap berhati-hati. Pendahulu masyarakat Melayu sesungguhnya telah mengingatkan
tetapi kadangkala terlupakan bahwa
hidup berkeluarga yang harus dibina adalah menjadikan keturunan menjadi "anak bertuah" bukan "anak terbuang" yang hidupnya terlantar, sia-sia, dan dihindari orang lain. Para pendahulu masyarakat Melayu
sebenarnya juga memperingatkan untuk tidak membiarkan nasib seseorang seakan, "kalau untung sabut ia timbul”, kalau “untung batu
ia tenggelam". Dengan demikian diketahui bahwa
sesungguhnya telah membudaya di kalangan orang Melayu untuk tidak mentolerir
berkeluarga besar atau banyak anak seperti tercermin dalam ungkapan, "banyak anak hidup kemak, banyak anak ngap (bernapas) pun sesak, banyak anak dada bengkak. banyak
anak tidur tak nyenyak”. Anak yang diharapkan adalah anak bertuah jadi bukan yang menyebabkan "karena anak rumah berserak"
atau juga tidak yang "sekali beranak durhaka, dunia akhirat badan
celaka".
Selanjutnya adalah merupakan adat isitiadat dan
kebiasaan orang Melayu membina turunannya "menjadi orang” dengan membekalinya dengan
berbagai sifat. "Citra anak Melayu" diupayakan untuk melekat dalam diri dan kepribadian
turunannya yang dikenal sebagai "Sifat atau Pakaian Anak
Melayu".
Sejarah mencatat bahwa terdapat
delapan belas buah butir yang disebut "Sifat/pakaian Delapan Belas", yaitu sebagai berikut:
a.
"Sifat tahu asal
berkejadian" yakni sifat satria, setia dalam
agama, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta kokoh dalam amal ibadah. Sifat ini tercermin dalam ungkapan seperti, “yang agama berkelakuan, yang iman berteguhan, yang sujud berkekalan,
yang amal berkepanjangan".
b. “Sifat hidup memegang
amanah”, yakni sifat satria, setia dan
dapat dipercaya. Tercermin dalam ungkapan seperti, "taat
pada petuah, setia pada sumpah, mati pada janji, melarat pada budi".
c. "Sifat benang”, yakni sifat lurus, jujur, setara kulit dengan isi. Tercermin dalam
ungkapan seperti "sepadan laku dengan
buatnya, sepadan cakap dengan perangainya".
d. "Sifat tahu kelak dengan elak", yakni sifat arif dan bijaksana,
seperti tergambarkan dalam ungkapan "cepat akal laju pikiran,
cepat angan laju buatan".
e. "Sifat yang bersifat",
yakni sifat menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, budaya dan norma-norma dalam masyarakat. Tercermin dalam
ungkapan seperti, "Menjunjung syara’ dengan
adatnya, menjunjung undang dengan tuahnya, menjunjung tahu dengan ilmunya”.
f. “Sifat tahu membayar utang”, yakni sifat membalas dan mengenang budi baik
seseorang, dan apabila berutang cepatlah dibayar.
g. “Sifat tahu kan bodoh diri”, yakni sifat menyadari kekurangan serta
menghargai kelebihan orang lain.
h. “Sifat tahu diri”, yakni sifat sadar hidup di dunia dan di
akhirat kelak, oleh sebab itu harus berbuat baik selama hidup di dunia.
i.
“Sifat hidup
memegang amanah”,
yakni sikap selalu loyalitas.
j.
“Sifat tahan
menentang matahari”, yakni sifat patriotisme.
k. “Sifat menang dalam kalah”, yakni sifat sabar, berlapang dada dan bejiwa
besar.
l.
“sifat tahan
berkering”,
yakni sifat giat dan rajin dalam bekerja.
m. “sifat unjuk dengan beri”, yakni sifat pemurah dan toleran.
n. “sifat tahu kan malu”, yakni sifat tidak mau dipermalukan, namun
tidak mau pula mempermalukan orang lain.
o. “Sifat ingat dengan nikmat”, yakni sifat yang dinamis dan kreatif.
p. ”Sifat pinjam memulangkan", yakni sifat bertanggung jawab.
q. “Sifat hidup meninggalkan”, yakni sifat berwawasan luas dan
berkepribadian untuk menikmati bersama keberuntungan dan rezeki.
r.
“Sifat yang
pucuk” atau disebut juga "Sifat tua",
yakni sifat memegang teguh adat dan kebiasaan
yang diadatkan.
Dahulu kala sifat-sifat ini diturunkan pada penerus dalam bentuk
nasihat dan petuah, umpamanya dalam upacara pernikahan. Entah barangkali karena
ingin cepat dan serba praktis dalam kehidupan dunia modern sekarang ini
sifat-sifat ini sudah jarang diucapkan (demikian pula ungkapan-ungkapan yang
menyertainya), padahal mengandung nilai-nilai luhur dalam pembinaan
berkepribadian kemanusiaan, kekeluargaan, dan kemasyarakatan.
Selain itu pula secara tradisional sejak dahulu telah dijadikan kebiasaan dalam keluarga Melayu
untuk membatasi kelahiran anak. Upaya membatasi kelahiran anak telah lama
dibiasakan dalam kehidupan masyarakat Melayu yang dikenal sebagai “menjarangkan anak”. Yang ditentang oleh adat isitiadat dan kebiasaan masyarakat Melayu
ialah menggugurkan kandungan. Upaya "menjarangkan
anak" tidaklah dipantangkan
asalkan saja sesuai dengan adat isitiadat dan kebiasaan serta tidak
bertentangan atau melanggar ajaran dan norma agama. Yang dipedomani ialah
sejalan dengan "adat yang bersendikan syarak, syarak yang
bersendikan qitabullah”.
Kebiasaan ini jika ditelusuri sesungguhnya masih terdapat hingga
sekarang sampai ke daerah-daerah pedesaan. Hanya sesuai dengan sifat orang
Melayu yang mana hubungan suami istri memalukan bahkan dirasakan aib apabila
dibuka di depan umum. Pengetahuan atau kebijaksanaan ini beroperasional secara
berbisik-bisik. Kebiasaan ini sesungguhnya telah lama membudaya dan
memasyarakat, namun karena dilaksanakan secara tertutup dan sangat terbatas
lingkungannya mengakibatkan kemungkinan salah tanggap bahwa seakan masyarakat
Melayu cenderung memilih berkeluarga besar.
5.
Penutup
Interverensi nilai luar yang
terjadi di tengah masyarakat telah mengubah parameter cara berpikir magis—mistis
masyarakat Melayu ke arah yang lebih realistis (religio-kultural). Oleh karenanya, ungkapan tentu
tidak saja diukur dengan cara-cara lama yang secara historis mengedepankan
keturunan atau anak, tetapi juga dengan cara yang lebih menekankan pada
kemanfaatan humanis. Misalnya, pada zaman dahulu, ungkapan ”banyak anak,
banyak rezeki” semata-mata menekankan
pentingya bagi orang tua meneruskan keturunan atau populasi.
Dewasa ini, keberhasilan orang
tua diukur dari kemampuannya mendidik anaknya menjadi orang yang berguna bagi
bangsa dan negara serta keluarganya sendiri. Ini berarti bahwa, identitas
masyarakat memang tidak saja ditentukan oleh jumlah populasinya, tetapi
bagaimana peranya bagi masyarakat. Sebagaimana menurut Smolicz (1981)17 untuk melihat identitas, maka banyak
faktor yang dapat menjadi indikator penentu identitas seseorang pada masyarakat
ultra modern sekarang ini, yaitu tingkat pendidikan termasuk di dalamnya.
Kehadiran ungkapan-ungkapan pada
masyarakat Melayu Sumatera Utara dapat dijadikan sebagai sarana dalam mendukung
pembangunan, misalnya bagaimana pembangunan dari segi sumber daya manusianya.
6. Rekomendasi
Berdasarkan temuan hasil
penelitian ini, diharapkan kepada Pemerintah untuk kembali melestarikan
konsep-konsep budaya yang dituangkan dalam ungkapan-ungkapan adat dengan cara
menjadikannya sebagai pelajaran muatan lokal, sehingga para generasi muda
Sumatera Utara mengetahui khazanah tradisi leluhurnya yang memiliki kearifan.
Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI
Nomor 39 Tahun 2007 tentang “Pedoman Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan Bidang
Kebudayaan, Keraton dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Daerah”, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 52 Tahun 2007 tentang “Pedoman
Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masayarakat”.
Daftar Pustaka
[*] Peneliti Muda pada Balai Bahasa Provinsi Sumatera
Utara, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kemendikbud RI.
1Zein,
T. Thyrahaya. 2009. “Representasi Ideologi Masyarakat Melayu Serdang dalam
Teks, Situasi, dan Budaya” (Disertasi). Medan: Pascasarjana USU.
3Boas,
F.1911.
Introduction, Handbook of American Indian Languages, Part I. Washington DC: Government
Printing Office.
4Sapir, E. 1927. “The Unconscious Patterning of
Behavior in Societ”. Dalam The
Unconscious; A Symposium. New York: Knopf.
5Whorf, B.L. 1956. Language,
Thought, and Reality, Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed J.B. Carroll, Cambridge, M.A:
MIT Press.
6Gumperz, J.J. dan Celia Roberts.
1991.
“Understanding in Intercultural
Encounters”.
Dalam Jan Blommaert (eds).
Amsterdam: John Benjamins Publishing Co.
7Brown, P.
dan Stephen Levinson. 1987. Politeness: Some Univesals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
10Bonvillian,
Nancy. 1977.
Language, Culture and Communication: The Meaning of Message. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
11Simorangkir, Sumurung. 1998. Kajian
Peribahasa Batak Toba. Medan: Lembaga Penelitian
Universitas Sumatera Utara.
14Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan
lain-lainnya. Jakarta: Grafiti.
16Syarfina, T.
2000. “Sistem Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Bahasa Melayu Deli: Tinjauan
Sosiolinguistik” (Tesis). Medan: Pascasarjana USU.
17Smolicz, J.J. 1981. “Core Values and Cultural
Identity”.
Dalam Ethnic and
Racial Studies. Vol, 4 Number, 3 Juli,
1981.pp.75—90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar