Selasa, 27 Mei 2014

UNGKAPAN ADAT MELAYU DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA






UNGKAPAN ADAT MELAYU
DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA

Oleh Sahril[*]
(Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Kemendikbud)

Abstrak
Kebudayaan sesuatu masyarakat itu sangat erat hubungannya dengan bahasa yang digunakan oleh para penutur. Salah satu dari bahasa yang dipakai oleh penuturnya itu, adalah ungkapan. Ungkapan dalam implementasi wacananya mengandung nilai humanis dan dianggap efektif sebagai ekspresi diri yang menyangkut kebenaran, kebaikan, keindahan (estetika), solidaritas, dan pencurahan hati bagi masyarakatnya. Penelitian ini mengkaji bagaimana peran ungkapan adat budaya Melayu dapat menyumbangkan nilai luhur dan moral untuk pembangunan sumber daya manusia di Sumatera Utara.
Abstract
Culture a certain that society is very tight the connection with language that is used by speaker. One of the language that worn by speaker that, expression. Expression in the word implementation contains humanist value and assumed effective as self expression that concern truth, kindness, beauty (aesthetics), solidarity,  and heart lavishing for the society. This watchfulness study how does malay culture custom expression character can contributes noble value and moral for human resource development at North Sumatra.
Kata Kunci: Ungkapan dan kearifan leluhur mendukung program pembangunan




1.      Pendahuluan

Gerak pembangunan di Indonesia baik fisik maupun non-fisik memerlukan arah dan perencanaan "bottom-up" daripada "top down". Hal ini sejalan dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mendasarkan kenyataan bahwa desa sesungguhnya merupakan benteng terdepan Pancasila sehingga karenanya perlu menggalakkan partisipasi aktif serta rasa ikut bertanggung jawab seluruh lapisan masyarakat termasuk mereka yang mendiami daerah-daerah pedesaan. Dari sudut pandang budaya, konsep ini cenderung menerima pendapat yang mengatakan bahwa akar budaya bangsa sebenarnya terletak di daerah pedesaan bukan di perkotaan. Karenanya, untuk tercapainya keberhasilan pembangunan perlu memperhitungkan secara tepat peran dan potensi masyarakat pedesaan melalui penyertaan pemuka adat dan pemimpin non-formal lainnya yang merupakan panutan masyarakat.
Kebudayaan sesuatu masyarakat itu sangat erat hubungannya dengan bahasa yang digunakan oleh para penutur. Misalnya. bahasa Melayu berkaitan erat dengan masyarakat Melayu yang mendukung kebudayaan Melayu. Dengan demikian, bahasa Melayu mengandung unsur-unsur budaya Melayu secara umum.  Hubungan yang terjalin erat antara bahasa dan kebudayaan dapat pula tercermin dalam kosakata yang digunakan oleh sesuatu masyarakat penutur bahasa dalam sistem kekerabatan. Lebih jelas lagi Wierzbicka (dalam Zein, 2009:13)1 menyatakan bahwa pemindahan sistem konsep dan sikap dari kebudayaan suatu masyarakat ke dalam bahasa melalui kosakata merupakan bukti nyata yang terbaik. Contohnya kelompok kekerabatan yang terdapat di dalam suatu masyarakat pengguna bahasa dapat dikaji melalui leksikal. Ia bukan hanya dapat digunakan untuk menggambarkan beberapa aspek kebudayaan, malahan susunan kata di dalam bahasa pun  dapat  juga  menggambarkan  pandangan  atau  sikap  masyarakat.
Salah satu dari bahasa yang dipakai oleh penuturnya itu, adalah ungkapan. Ungkapan dalam implementasi wacananya mengandung nilai humanis dan dianggap efektif sebagai ekspresi diri yang menyangkut kebenaran, kebaikan, keindahan (estetika), solidaritas, dan pencurahan hati bagi masyarakatnya. Penggunaan bahasa secara metaforis tidak saja berfungsi sekadar sebagai medium komunikasi (Gibbs, 1994)2, tetapi juga sebagai ungkapan  yang sarat nilai-nilai kognitif, budaya apresiatif dan humbleness terhadap lawan bicara.
Penelitian ini memerlukan beberapa pembatasan ruang lingkup. Pertama, dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara terdapat beberapa masyarakat etnis budaya. Karenanya untuk awalnya tulisan ini hanya membatasi pada masyarakat adat budaya Melayu. Sedangkan untuk masyarakat adat budaya lainnya akan dilaksanakan pada tahun-tahun mendatang jika  diberi kesempatan lagi. Kedua, masalah budaya secara keseluruhannya, sangat luas dan kompleks yang mana memerlukan pakar-pakar khsusus dalam bidang ini. Penelitian ini mencoba mengkaji adat budaya dari sudut lambang-lambang bahasa, khususnya dari ungkapan dan untaian kata-kata dalam bahasa Melayu. Seperti telah dimaklumi bahasa merupakan faktor dominan dari budaya. Ungkapan dan untaian kata oleh penutur bahasa dimaksudkan untuk mencerminkan sikap, sifat dan cara pandang masyarakat penuturnya, jadi penggunaannya memperlihatkan adat istiadat dan kebiasaan.
Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana ungkapan-ungkapan masyarakat etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut pandang adat budaya dapat mempertinggi nilai luhur? (2) Sejauhmana peran ungkapan-ungkapan masyarakat etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut padang adat budaya sebagai sarana yang paling baik dalam memberikan nilai moral kepada masyarakat?
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk, (1) Mengumpulkan dan merekam ungkapan-ungkapan masyarakat etnis Melayu Sumatera Utara yang dapat mempertinggi nilai luhur dari sudut pandang adat budaya. (2) Mengkaji dan mengidentifikasi peran ungkapan-ungkapan masyarakat etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut padang adat budaya sebagai sarana yang paling baik dalam memberikan nilai moral kepada masyarakat.
2.      Landasan Teori
Linguistik tidak dapat dipisahkan dari fakta dan konteks sosial budaya masyarakatnya, seperti yang dilakukan oleh linguis terkemuka Boas (1911)3, Sapir (1927)4, dan Whorf (1956)5, yang kemudian terkenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf, mereka mengedepankan konsep ‘determinism dan relativity-nya’. Kedua linguis terakhir ini dipandang sangat berjasa dalam kajian ilmu bahasa dan budaya. Menurut mereka, fenomena bahasa harus dilihat sebagai fenomena relatif yang ditentukan oleh ekologi sekitarnya. Dengan demikian, cara berpikir etnosentrim, yang menganggap hanya bahasa dan budayanyalah yang paling benar, mengharapkan orang lain (dari bahasa dan budaya yang berbeda) untuk  mengikuti bahasa dan budaya mereka dalam wacana keseharian secara moral, tidak  akan terjadi lagi.
Berbagai studi telah dilakukan untuk melihat linguistic indirectness dari berbagai perspektif (sosiolinguistik, psikologi sosial, dan ethnolinguistik). Walaupun tidak ada definisi pasti tentang indirectness setidak-tidaknya diperoleh kesepakatan umum yang menekankan pada pentingnya strategi verbal untuk melanggengkan interaksi sosial yang harmonis. Gumpers dan Roberts (1991)6 mengklaim bahwa retorika seseorang, secara sangat alamiah, ditentukan pula oleh ekspresi tidak langsung (indirectness) dan alusi metaforis. Selanjutnya, Brown dan Levinson (1987)7 menekankan pentingnya raut muka dalam berkomunikasi sebagai nilai sosial yang positif untuk mengklaim keberadaan seseorang, ingin dihargai, dan tidak ingin dikucilkan. Oleh karena itu, aspek sentral dari teori Brown dan Levinson adalah dua model hasrat/kehendak (to desires), yaitu, kehendak untuk diterima oleh orang lain (positive face) dan kehendak untuk tidak dihalangi/dikucilkan oleh orang lain (negative face) (Brown dan Levinson, 1987:24).
Dalam konteks komunikasi, orang Barat cenderung mengkomunikasikan diri, perasaan serta kemauannya secara langsung (directness), sedangkan orang Timur cenderung secara tidak langsung (indirectness). Budaya mengkomunikasikan diri dengan tidak langsung tersebut kemudian dianggap sebagai pemarkah kesopanan (politeness) yang ditentukan oleh kesepakatan kolektif suatu masyarakat tertentu. Dengan kata lain, indirectness dalam berkomunikasi diasumsikan identik dengan politeness (Brown dan Levinson, 1987). Walaupun demikian, teori Brown dan Levinson tidak dianggap selalu mampu menyahuti semua fenomena politeness yang muncul pada masyarakat Timur, Matsumuto (1989)8 mengkritik bahwa teori Brown dan Levinson tidak selalu tepat dipergunakan untuk mendekati fenomena indirectness dan directness pada masyarakat Timur, karena teori tersebut, menekankan pentingnya raut muka. Sementara itu, masyarakat Timur dalam interaksinya, di samping perlunya raut wajah juga lebih banyak menekankan pentingnya aspek perilaku serta sosial psikologis partisipannya.
Malinowski (dalam Hymes, 1964:4)9 mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya sosial mental, dan psikologis; apa hakikat sebenarnya dari bentuk dan makna serta bagaimana hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam komunikasi cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling mempengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan (Hymes, 1964:5). Sapir dalam (Bonvillain, 1997:49)10 menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial di mana penutur suatu bahasa bermukim. Hubungan antara kosakata dan nilai budaya bersifat multidireksional.
Nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik buruk. Pepper (dalam Zein, 2009:18) menyatakan bahwa batasan nilai mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi seleksinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Sistem nilai—termasuk nilai budaya—merupakan pedoman yang dianut setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap dan bertingkah laku dan juga menjadi patokan untuk menilai dan mencermati bagaimana individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. Jadi, sistem nilai dapat dikatakan sebagai norma standar dalam kehidupan bermasyarakat.  Djayasudarma dkk (dalam Zein, 2009:21) mengemukakan bahwa sistem nilai begitu kuat, meresap, dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga sulit diganti dan/atau diubah dalam waktu singkat.          
Filsafat orang Indonesia termasuk nilai budaya tersimpan di balik pepatah-petitih, di balik rumah-rumah adat, di balik  upacara-upacara adat, di balik mitos-mitos tua Sumardjo (dalam Simorangkir, 1998)11. Jadi dari pendapat ini juga dapat disimpulkan bahwa bahasa melalui—ungkapan pepatah-petitihnya yang merupakan  metafor dalam bahasa itu – merupakan medium untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung nilai (values).
Metafor dan peribahasa merupakan bagian dari komunikasi sistem budaya. Di samping itu, bahasa mengkategorisasi realitas budaya (Duranti, 1997:2512; Foley, 1997:16)13. Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk menelusuri praktik-praktik budaya dalam suatu masyarakat. Model-model budaya dapat dimunculkan secara eksplisit melalui ungkapan (Bonvillain, 1997:48). Model-model budaya yang dimaksudkan di sini antara lain  mencakup mentalitas kerja, persepsi rasa solidaritas, sikap, perilaku, etika, dan moral.
Beranjak dari pendapat dan pandangan para pakar di atas, tulisan ini berusaha mengkaji ungkapan-ungkapan adat budaya Melayu Sumatera Utara yang dapat menyumbangkan nilai-nilai luhur dan moral terhadap pembangunan karakter bangsa.
3.      Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif eksploratif. Pendekatan ini dilakukan untuk dapat mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena akan eksistensi ungkapan-ungkapan masyarakat etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut pandang adat budaya dapat mempertinggi nilai luhur. Metode eksploratif dilakukan untuk mendapatkan berbagai data atau informasi yang mampu menjelaskan fenomena ungkapan-ungkapan masyarakat etnis Melayu Sumatera Utara dari sudut padang adat budaya sebagai sarana yang paling baik dalam memberikan nilai moral kepada masyarakat.
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan, dengan memilih para informan dan narasumber yang berasal daerah yang mayoritas penduduknya beretnis Melayu, yaitu yang berasal dari Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kabupaten Deliserdang, Kabupaten Serdangbedagai, Kota Tebingtinggi, dan Kabupaten Batubara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Sumber data yang menjadi fokus adalah ungkapan-ungkapan adat budaya Melayu.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Proses yang dilakukan melalui tiga langkah, yaitu penyeleksian data, pengatagorian data, dan penganalisisan data berdasarkan teori yang dipilih.
4.      Pembahasan dan Temuan
Masyarakat Melayu adalah salah satu dari delapan masyarakat etnis budaya "asli" di Provinsi Sumatera Utara. Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam bentuk corak adat istiadat serta kebiasaan di antara kelompok masyarakat yang delapan ini, namun terdapat hal-hal mendasar yang universal: Aspek-aspek di mana adat istiadat dan kebiasaan berpengaruh dan berperan dalam perwujudan sikap, karakter, respons, cara pandang, dan lainnya merupakan ciri-ciri yang koresponden. Dari sudut kebahasaan, ungkapan, rasa bahasa, dan gaya bahasa mendukung pula pemahaman mengenai karakteristik masyarakat penutur dan pemakai bahasa.
Etika adalah falsafah dan hukum yang membedakan hal yang baik dan yang buruk dalam kelakuan manusia, sedangkan moral adalah ukuran baik buruknya tingkah laku yang menyangkut pengontrolan diri, keyakinan diri, dan kedisplinan tindakan. Ajaran etika dan moral yang menjadi pedoman oleh suatu suku bangsa tercermin dari berbagai bentuk wacana yang berlaku dan berterima di kalangan suku bangsa itu. Penggunaan ungkapan adalah salah satu cara untuk mendidik anggota masyarakat, sebagai alat untuk melegalisasi pranata-pranata dan lembaga kebudayaan serta dan sebagai alat untuk pengawasan  norma-norma kemasyarakatan yang seharusnya diikuti dan dipedomani oleh Bascom (dalam Danandjaya, 1984:12)14. Di samping  etika dan moral, metafor juga  sangat efektif dalam menyampaikan unsur-unsur pendidikan, kritik, celaan dan nasihat, karena metafor bersifat impersonal (Taylor, 1931)15.
Mengenai manusia anggota masyarakat Melayu, William Hunt (dalam Syarfina, 2000:24)16 mengatakan: "A Malay one who is a Muslim, who habitually speaks Malay, who practices Malay Adat, and who fulfills certain residence requirement". Jadi masyarakat Melayu sesungguhnya bukanlah kumpulan manusia yang berlandaskan genealogis tetapi lebih merupakan suatu "melting pot" asal berbagai suku bangsa ataupun bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan dengan landasan agama Islam, bahasa Melayu (dengan berbagai dialek, sosiolek, kronolek, tempolek maupun idiolek), berpakaian, beradat istiadat serta bertradisi Melayu.
Untuk tercapaianya keberhasilan suatu program pembangunan khususnya dalam masyarakat ini perlu dipahami apa yang teradat dan diadatkan dalam masyarakat Melayu yaitu, "Adat yang bersendikan Syarak, Syarak yang bersendikan Qitabullah". Ini berarti sepanjang suatu program atau konsep berterima oleh adat istiadat dan kebiasaan serta tidak bertentangan dengan ajaran perintah dan norma agama (dalam hal ini agama Islam) maka akan kecil sekali kemungkinannya memperoleh kendala dalam pemberhasilannya.
Dilihat dari dimensi kekayaan alam, bagi masyarakat Melayu, laut adalah kehidupan, hamparan tempat menuai, dan sumber mencari nafkah serta harapan masa depan. Masyarakat Melayu selalu menjaga keseimbangan dan harmonisasi alam tersebut sehingga alam merupakan bagian dari tata kehidupan mereka. Hal ini terungkap melalui teks-teks petuah amanah Melayu sebagai berikut,
Tanda orang memegang adat,
alam dijaga, petuah diingat.
Tanda ingat ke hari tua,
 laut dijaga bumi dipelihara.
Tanda ingat adat lembaga,
laut dikungkung hutan dijaga
            (Zein, 2009: 9—10)
 Dalam kaitan dengan sasaran utama dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji ungkapan-ungkapan adat budaya Melayu Sumatera Utara yang dapat menyumbangkan nilai-nilai luhur dan moral terhadap pembangunan karakter bangsa.
4.1  Nilai dan Sikap Orang Melayu Terhadap Anak
Salah satu nilai luhur dan moral pada ungkapan adat budaya, di antaranya pandangan orang tua Melayu terhadap anak. Sikap atau pandangan ini dapat ditelusuri dari seperangkat ungkapan atau untaian kata dalam bahasa Melayu yang mencerminkan sikap, harapan, peringatan, dan lain sebagainya. Misalnya, ungkapan "tuah ayam karena kakinya, tuah manusia pada anaknya menggambarkan kedudukan seorang anak dalam kehidupan masyarakat Melayu.
Yang dimaksud dengan "anak be(r)tuah" dalam masyarakat Melayu adalah anak yang "menjadi orang", yang setelah nantinya dewasa menjadi manusia yang sempurna lahir dan batin, selalu mengingat dan berguna untuk orang tua dan kaum kerabat untuk seterusnya terhadap bangsa dan negara, serta akan patuh yakin dan taat pada agama dengan melaksanakan semua perintah agama dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Pembinaan keluarga adalah menuju pada keluarga yang sejahtera dan sehat serta bahagia lahir dan batin seperti diungkapkan melalui tuahnya selilit kepala, mujurnya selilit pinggang, kecilnya menjadi tuah rumah besarnya menjadi tuah negeri.
Pembinaan seorang anak dalam sebuah keluarga tercermin dari kasih seorang ibu. Bukanlah bertujuan untuk terlalu memanjakan seseorang anak yang diyakini sebagai karunia Tuhan YME tetapi semata untuk memperlihatkan cinta yang mendalam seorang ibu sering mengujarkan kata-kata ‘timangan’ terhadap seorang anak seperti "buah hati", "buah hati pengarang jantung", "cahaya mata bunda, "intan gemala", "permata bunda", "gunung sayang", dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa dalam adat istiadat dan kebiasaan Melayu terdapat seperangkat acuan yang menuntun manusia dalam pembinaan perilaku sejak masa dalam kandungan dan buaian hingga masa dewasa.
Pada umumnya orang Melayu meyakini anak sebagai karunia Allah SWT., yang secara hakikatnya lahir dalam keadaan suci. Karenanya pula secara hakiki setiap anak dapat "menjadi orang" dengan kunci keberhasilannya terletak pada pundak orang tua. Ungkapan yang menyebutkan "bagaikan jatuh dari cucuran atap", "begitu gendang begitu tarinya menggambarkan adanya keterkaitan sebab-akibat antara sikap, dan sifat orang tua dengan anak. Orang tua yang baik, berpendidikan dan bersikap sayang terhadap sesamanya selalu memiliki anak yang bertuah. Sebaliknya seorang yang pemabuk dan pendusta pada dasarnya adalah seperti cucuran sifat dan kebiasaan orang tuanya. Dalam konteks norma keluarga kecil bahagia sentosa (NKKBS), pembinaan orang tua terhadap anak teramat penting untuk dapat terbinanya generasi penerus yang berguna bagi negara, bangsa dan agama, demikian pula terhadap keluarga, sanak dan handai-tolan serta lingkungan sendiri.
Keadaan ini menjurus pada suatu kenyataan umum bahwa keluarga yang besar akan mengakibatkan kurang terbinanya anak secara baik dan sempurna. Pada umumnya pula dapat berakibat perlakuan orang tua yang seakan menyia-nyiakan anaknya seperti yang sering tercermin dalam ungkapan pesimistis "membiarkan anak belayar dengan perahu bocor, berjalan di rimba tidak berintis". Menurut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Melayu keadaan "musibah" seperti ini sering mengakibatkan beban bukan hanya pada orang tua, tetapi juga pada seluruh sanak keluarga dan masyarakat. Karenanya, diberikanlah peringatan dalam bentuk ungkapan seperti "kalau anak tidak dipinak, utang bertambah marwah tercampak, kaum binasa bangsa pun rusak dunia akhirat beban dibawa".
Keluarga kecil, sehat dan bahagia akan mendukung keberhasilan pembinaan nilai-nilai luhur dalam diri anak sebagai generasi penerus harapan bangsa sedini dan seefektif mungkin. Kemantapan pembinaan nilai-nilai luhur menyebabkan dapat tercapainya keberhasilan dan keberdayagunaan dalam penanaman dasar kepribadian yang baik dan sempurna. Menurut adat dan tradisi masyarakat Melayu terdapat seperangkat nilai-nilai luhur yang perlu selalu ditanamkan dalam diri dan kepribadian seorang anak, yaitu: (a) “Berpijak pada Yang Esa”, yaitu nilai-nilai keagamaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti tercermin dalam ungkapan "bergantung pada Yang Satu, berpegang pada Yang Esa”. (b) "Hidup berkaum sepakaian”, yang bermakna nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam kehidupan, dengan mencakup pula nilai-nilai kegotongroyongan dan rasa senasib sepananggungan. Nilai-nilai ini tercermin dalam ungkapan seperti; "Ke hulu sama bergalah, ke hilir sama berkayuh, terendam sama basah, terapung sama timbul, yang kesat sama diampelas, yang berbongkol sama ditarah". (c) "Hidup Sifat Bersifat", yang bermakna nilai-nilai berbudi pekerti mulia dan terpuji, beradat budaya, serta pandai bermasyarakat dan membawa diri. Nilai-nilai ini tercermin dalam berbagai ungkapan antara lain seperti "bila duduk-duduk bersifat, bila tegak-tegak beradat", atau bila bercakap-cakap berkhasiat, bila diam-diam makrifat", dan lain-lain sebagainya. (d) “Hidup menggulut air setimba" yang mengandung makna nilai-nilai sadar diri, dan bertenggang rasa untuk dapat diperolehnya sesuatu yang berguna bagi hidup di dunia dan di akhirat kelak. Nilai-nilai ini diungkapkan dalam berbagai untaian kata antara lain, "menuang ketika cair, berbeban selama berdaya”, atau "bila lepas kijang ke rimba, diurut pun sia-sia, dan sebagainya.
Pembinaan nilai-nilai hidup yang telah mulai ditanamkan sedini mungkin mengungkapkan sikap dan corak hidup yang berguna dan terpuji. Ungkapan yang dicontohkan di atas jelas memperlihatkan pengaruh ajaran agama Islam yang memberikan pedoman hidup bagi manusia, makhluk Tuhan, memiliki kepribadian baik, sempurna, jujur dan berguna setelah dewasa kelak.
4.2  Sikap Pandang terhadap Hakikat Kehidupan Sosial dan Program KB
Masih sering diragukan kesiapan masyarakat Melayu khususnya dalam berpartisipasi secara aktif serta ikut bertanggung jawab dalam memberhasilkan pembangunan bangsa. Anggapan ini antara lain bermuara dari kekurang-lengkapan pengetahuan mengenai kata maupun ungkapan yang tersedia dalam bahasa Melayu yang mencerminkan dasar-dasar sikap orang Melayu. Memang benar bahwa bahasa, kata dan ungkapan mencerminkan sikap dan pandangan penutur bahasa, dalam hal ini pemakai bahasa Melayu. Namun harus diketahui bahwa makna semantik dari kata maupun untaian kata tidak boleh hanya ditafsirkan dari bentuk permukaannya (surface structure level) saja tetapi harus dikaji dan ditelusuri dari bentuk dalamnya (deep structure level). Karena perolehan makna dan kenyataan yang akurat memerlukan pemahaman kaidah arti sesungguhnya melalui analisis makna (contextual analysis).
Pihak yang berpandangan bahwa masyarakat Melayu cenderung beranak banyak, jadi beranggapan kurang siap atau kurang dapat menerima Gerakan Nasional Keluarga Berencana, misalnya, antara lain disebabkan penafsiran yang sempit dan kurang mengetahui kelengkapan dari untaian kata dalam bahasa Melayu seperti "banyak anak banyak rezeki”. Pandangan yang keliru ini semakin terdukung pula dengan terdapatnya untaian kata lainnya dalam bahasa Melayu seperti "banyak anak, banyak tempat berteduh", "banyak anak, senang bertanak", atau “banyak anak, banyak tempat bertanak.
Kata atau untaian kata seperti ini sesungguhnya mengandung suatu falsafah. Penafsiran suatu falsafah apalagi yang terkait dengan adat dan kebiasaan tidaklah dapat disimpulkan maknanya secara sepintas tapi haruslah terlebih dahulu mengkajinya secara lebih mendalam.
Sesungguhnya untaian kata seperti "banyak anak banyak rezeki" belumlah lengkap karena seharusnya masih diikuti dengan kelengkapan lain yang sering terlupa pengujarannya. Bentuk lengkap: "banyak anak banyak utang yang dibawanya, banyak fitnah yang kan menimpa”. Untaian kata ini memperlihatkan ciri sikap orang Melayu yang dalam memperingatkan sesuatu lebih memilih cara edukatif dalam bentuk peringatan dan tamsil. Memang dari satu sisi diakui bahwa dengan banyak anak akan banyak pula yang memperhatikan hidup orang tuanya kelak, namun dari sisi lain yang lebih berat adalah akan menyebabkan bertambahnya beban utang dan bekal orang tua”.
Menurut adat dan tradisi masyarakat Melayu yang dimaksud utang orang tua terhadap anak mencakup seperangkat kewajiban dan tanggung jawab yang cukup banyak dan berat. Sejak lahir, menuju dewasa hingga masa "lepas rumah" terdapat "utang orang tua terhadap anak” antara, lain: (a) "utang belas dengan pelihara", yang bermakna upaya menjadikan anak kuat dan sehat, baik jasmani maupun rohani". (b) Utang tunjuk dengan ajar", yang bermakna membekali anak dengan ilmu dan pengetahuan, dan kemampuan mandiri, (c) "Utang tuang, dengan isi", yakni melengkapi seorang anak dengan nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama, adat istiadat dan kebiasaan, demikian pula norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat, serta (d) "Utang bekal dengan pakaian", yakni membekali anak sejak lahir hingga mampu berdiri sendiri dengan segala macam keperluan hidup, lahiriah dan batiniah. Kata "bekal" mencakup penyediaan bekal ilmu pengetahuan dan keimanan yang teguh dan berkaidah. "Pakaian yang dibekalkan bukanlah hanya terbatas pada pakaian lahiriah semata tapi lebih luas maknanya yaitu untuk menjadikan seorang anak benar-benar seorang manusia yang ber-Tuhan dengan keimanan dan ketakwaan sebagai pakaiannya. Dengan "bekal” dan "pakaian" yang "tak lusuh di pelasah" seorang anak akan kelak menjadi manusia yang bertuah, sempurna lahir dan batin, sehingga berguna bagi agama, bangsa, negara, dan keluarga.
Dalam keadaan dunia dewasa ini, di mana "utang orang tua" yang menyandang butir-butir ekonomis dan sosial budaya, dan tantangan hidup semakin tajam serta semakin sempit perlulah diyakini kebenaran Gerakan Nasional yang sedang digalakkan, untuk masyarakat Melayu sesungguhnya telah diwariskan oleh para pendahulunya dengan sikap sadar diri, tanggap keadaan, serta sikap berhati-hati. Pendahulu masyarakat Melayu sesungguhnya telah mengingatkan tetapi kadangkala terlupakan bahwa hidup berkeluarga yang harus dibina adalah menjadikan keturunan menjadi "anak bertuah" bukan "anak terbuang" yang hidupnya terlantar, sia-sia, dan dihindari orang lain. Para pendahulu masyarakat Melayu sebenarnya juga memperingatkan untuk tidak membiarkan nasib seseorang seakan, "kalau untung sabut ia timbul”, kalau “untung batu ia tenggelam". Dengan demikian diketahui bahwa sesungguhnya telah membudaya di kalangan orang Melayu untuk tidak mentolerir berkeluarga besar atau banyak anak seperti tercermin dalam ungkapan, "banyak anak hidup kemak, banyak anak ngap (bernapas) pun sesak, banyak anak dada bengkak. banyak anak tidur tak nyenyak”. Anak yang diharapkan adalah anak bertuah jadi bukan yang menyebabkan "karena anak rumah berserak" atau juga tidak yang "sekali beranak durhaka, dunia akhirat badan celaka".
Selanjutnya adalah merupakan adat isitiadat dan kebiasaan orang Melayu membina turunannya "menjadi orang dengan membekalinya dengan berbagai sifat. "Citra anak Melayu" diupayakan untuk melekat dalam diri dan kepribadian turunannya yang dikenal sebagai "Sifat atau Pakaian Anak Melayu". Sejarah mencatat bahwa terdapat delapan belas buah butir yang disebut "Sifat/pakaian Delapan Belas", yaitu sebagai berikut:
a.      "Sifat tahu asal berkejadian" yakni sifat satria, setia dalam agama, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kokoh dalam amal ibadah. Sifat ini tercermin dalam ungkapan seperti, yang agama berkelakuan, yang iman berteguhan, yang sujud berkekalan, yang amal berkepanjangan".
b.      Sifat hidup memegang amanah”, yakni sifat satria, setia dan dapat dipercaya. Tercermin dalam ungkapan seperti, "taat pada petuah, setia pada sumpah, mati pada janji, melarat pada budi".
c.       "Sifat benang”, yakni sifat lurus, jujur, setara kulit dengan isi. Tercermin dalam ungkapan seperti "sepadan laku dengan buatnya, sepadan cakap dengan perangainya".
d.      "Sifat tahu kelak dengan elak", yakni sifat arif dan bijaksana, seperti tergambarkan dalam ungkapan "cepat akal laju pikiran, cepat angan laju buatan".
e.       "Sifat yang bersifat", yakni sifat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, budaya dan norma-norma dalam masyarakat. Tercermin dalam ungkapan seperti, "Menjunjung syara’ dengan adatnya, menjunjung undang dengan tuahnya, menjunjung tahu dengan ilmunya”.
f.       Sifat tahu membayar utang”, yakni sifat membalas dan mengenang budi baik seseorang, dan apabila berutang cepatlah dibayar.
g.      Sifat tahu kan bodoh diri”, yakni sifat menyadari kekurangan serta menghargai kelebihan orang lain.
h.      Sifat tahu diri”, yakni sifat sadar hidup di dunia dan di akhirat kelak, oleh sebab itu harus berbuat baik selama hidup di dunia.
i.        Sifat hidup memegang amanah”, yakni sikap selalu loyalitas.
j.        Sifat tahan menentang matahari”, yakni sifat patriotisme.
k.      Sifat menang dalam kalah”, yakni sifat sabar, berlapang dada dan bejiwa besar.
l.        sifat tahan berkering”, yakni sifat giat dan rajin dalam bekerja.
m.    sifat unjuk dengan beri”, yakni sifat pemurah dan toleran.
n.      sifat tahu kan malu”, yakni sifat tidak mau dipermalukan, namun tidak mau pula mempermalukan orang lain.
o.      Sifat ingat dengan nikmat”, yakni sifat yang dinamis dan kreatif.
p.      Sifat pinjam memulangkan", yakni sifat bertanggung jawab.
q.      Sifat hidup meninggalkan”, yakni sifat berwawasan luas dan berkepribadian untuk menikmati bersama keberuntungan dan rezeki.
r.        Sifat yang pucukatau disebut juga "Sifat tua", yakni sifat memegang teguh adat dan kebiasaan yang diadatkan.
Dahulu kala sifat-sifat ini diturunkan pada penerus dalam bentuk nasihat dan petuah, umpamanya dalam upacara pernikahan. Entah barangkali karena ingin cepat dan serba praktis dalam kehidupan dunia modern sekarang ini sifat-sifat ini sudah jarang diucapkan (demikian pula ungkapan-ungkapan yang menyertainya), padahal mengandung nilai-nilai luhur dalam pembinaan berkepribadian kemanusiaan, kekeluargaan, dan kemasyarakatan.
Selain itu pula secara tradisional sejak dahulu telah dijadikan kebiasaan dalam keluarga Melayu untuk membatasi kelahiran anak. Upaya membatasi kelahiran anak telah lama dibiasakan dalam kehidupan masyarakat Melayu yang dikenal sebagai “menjarangkan anak”. Yang ditentang oleh adat isitiadat dan kebiasaan masyarakat Melayu ialah menggugurkan kandungan. Upaya "menjarangkan anak" tidaklah dipantangkan asalkan saja sesuai dengan adat isitiadat dan kebiasaan serta tidak bertentangan atau melanggar ajaran dan norma agama. Yang dipedomani ialah sejalan dengan "adat yang bersendikan syarak, syarak yang bersendikan qitabullah”.
Kebiasaan ini jika ditelusuri sesungguhnya masih terdapat hingga sekarang sampai ke daerah-daerah pedesaan. Hanya sesuai dengan sifat orang Melayu yang mana hubungan suami istri memalukan bahkan dirasakan aib apabila dibuka di depan umum. Pengetahuan atau kebijaksanaan ini beroperasional secara berbisik-bisik. Kebiasaan ini sesungguhnya telah lama membudaya dan memasyarakat, namun karena dilaksanakan secara tertutup dan sangat terbatas lingkungannya mengakibatkan kemungkinan salah tanggap bahwa seakan masyarakat Melayu cenderung memilih berkeluarga besar.
5.      Penutup
Interverensi nilai luar yang terjadi di tengah masyarakat telah mengubah parameter cara berpikir magis—mistis masyarakat Melayu ke arah yang lebih realistis (religio-kultural). Oleh karenanya, ungkapan tentu tidak saja diukur dengan cara-cara lama yang secara historis mengedepankan keturunan atau anak, tetapi juga dengan cara yang lebih menekankan pada kemanfaatan humanis. Misalnya, pada zaman dahulu,  ungkapan ”banyak anak, banyak rezeki” semata-mata menekankan pentingya bagi orang tua meneruskan keturunan atau populasi.
Dewasa ini, keberhasilan orang tua diukur dari kemampuannya mendidik anaknya menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara serta keluarganya sendiri. Ini berarti bahwa, identitas masyarakat memang tidak saja ditentukan oleh jumlah populasinya, tetapi bagaimana peranya bagi masyarakat. Sebagaimana menurut Smolicz (1981)17 untuk melihat identitas, maka banyak faktor yang dapat menjadi indikator penentu identitas seseorang pada masyarakat ultra modern sekarang ini, yaitu tingkat pendidikan termasuk di dalamnya.
Kehadiran ungkapan-ungkapan pada masyarakat Melayu Sumatera Utara dapat dijadikan sebagai sarana dalam mendukung pembangunan, misalnya bagaimana pembangunan dari segi sumber daya manusianya.
6.      Rekomendasi
Berdasarkan temuan hasil penelitian ini, diharapkan kepada Pemerintah untuk kembali melestarikan konsep-konsep budaya yang dituangkan dalam ungkapan-ungkapan adat dengan cara menjadikannya sebagai pelajaran muatan lokal, sehingga para generasi muda Sumatera Utara mengetahui khazanah tradisi leluhurnya yang memiliki kearifan.
Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang “Pedoman Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah”, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 52 Tahun 2007 tentang “Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masayarakat”.

Daftar Pustaka


[*] Peneliti Muda pada Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kemendikbud RI.


1Zein, T. Thyrahaya. 2009. “Representasi Ideologi Masyarakat Melayu Serdang dalam Teks, Situasi, dan Budaya” (Disertasi). Medan: Pascasarjana USU.
2Gibb, R.W. 1994. The Poetics of Mind.Cambridge. Cambridge University Press.
3Boas, F.1911. Introduction, Handbook of American Indian Languages, Part I. Washington DC: Government Printing Office.
4Sapir, E. 1927. “The Unconscious Patterning of Behavior in Societ”. Dalam The Unconscious; A Symposium. New York: Knopf.
5Whorf, B.L. 1956. Language, Thought, and Reality, Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed J.B. Carroll, Cambridge, M.A: MIT Press.
6Gumperz, J.J. dan Celia Roberts. 1991. “Understanding in Intercultural Encounters”. Dalam Jan Blommaert (eds). Amsterdam: John Benjamins Publishing Co.
7Brown, P. dan Stephen  Levinson. 1987. Politeness: Some Univesals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
8Matsumoto, Y. 1989. Poleteness and Conversational. Universals: Observation from Japan.
9Hymes, Dell. 1964. Language in Culture and Society. New York: Harmper & Row Published.
10Bonvillian, Nancy. 1977. Language, Culture and Communication: The Meaning of Message. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
11Simorangkir, Sumurung. 1998. Kajian Peribahasa Batak Toba. Medan: Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara.
12Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Antropology. Cambridge: Cambridge University Press.
13Foley, William A.1997. Antrophological Linguistics: An Introduction. New York: Blackwell.
14Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lainnya. Jakarta: Grafiti.
15Taylor, A. 1931. The Proverb. Cambridge: Harvard University Press.
16Syarfina, T. 2000. “Sistem Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Bahasa Melayu Deli: Tinjauan Sosiolinguistik” (Tesis). Medan: Pascasarjana USU.
17Smolicz, J.J. 1981. “Core Values and Cultural Identity”. Dalam Ethnic and Racial Studies. Vol, 4 Number, 3 Juli, 1981.pp.75—90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar